Siapa Cawapres Jokowi?

Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Konten dari Pengguna
23 Juli 2018 12:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arya Fernandes tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Presiden RI Joko Widodo (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden RI Joko Widodo (Foto: ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)
ADVERTISEMENT
Teka-teki seputar nama cawapres Joko Widodo hingga kini masih menjadi misteri. Meskipun sudah muncul sejumlah nama yang digadang-gadang akan menjadi cawapres, namun hingga kini belum ada nama yang pasti. Politik yang dinamis dan kontestasi di internal partai koalisi yang kuat serta tingkat penerimaan publik—menyebabkan nama cawapres Jokowi ada yang menguat dan ada yang melemah.
ADVERTISEMENT
Bagaimana kebutuhan Jokowi terkait cawapres saat ini? Kenapa meskipun sudah mengantongi dukungan yang maksimal, Jokowi masih menunda deklrasi pencapresan? Bagaimana kontestasi antar-capres? Dan isu apakah yang diprediksi akan menguat?
Penentuan cawapres Jokowi saya kira dipengaruhi oleh beberapa kebutuhan utama. Pertama, kebutuhan elektoral untuk mencari cawapres yang mampu mengamankan dukungan kepada Jokowi dan meminimalkan penurunan dukungan akibat isu-isu negatif.
Posisi cawapres menjadi penting agar Jokowi dan calonnya dapat berbagi peran dalam merespons isu-isu dalam kampanye mendatang—yang bisa saja akan menurunkan pilihan kepada petahana.
Posisi cawapres juga menjadi penting mengingat tingkat kompetisi antara Prabowo dan Jokowi diprediksi akan ketat. Persaingan yang ketat tersebut terjadi karena tiga hal, yaitu selisih suara Jokowi dan Prabowo pada pemilu 2014 yang tidak terpaut jauh sekitar 5% dan posisi elektoral Jokowi yang masih belum sepenuhnya aman meskipun sudah berada di atas angka 55%.
ADVERTISEMENT
Sejumlah hasil survei yang dilansir oleh beberapa lembaga survei menunjukkan tingkat elektabilitas Jokowi berada pada kisaran 55-60% dan Prabowo Subianto di kisaran 25-30%.
Presiden Jokowi (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Presiden Jokowi (Foto: Cornelius Bintang/kumparan)
Tingkat kompetisi antar-calon juga dapat dilihat dari potensi perubahan dukungan pemilih. Belum kuatnya dukungan pemilih partai kepada calon berpotensi menyebabkan terjadinya migrasi suara antar-calon—yang dapat merubah peta kekuatan calon.
Kedua, kebutuhan soliditas partai koalisi pendukung. Jokowi perlu memastikan soliditas koalisi ini agar tidak terdapat migrasi dukungan partai ke calon lain. Bagi Jokowi, sepertinya lebih menguntungkan bila pemilu mendatang hanya diikuti oleh dua pasangan calon.
Tujuannya agar meminalkan terjadinya peralihan suara dari petahana ke kandidat alternatif. Tapi bila melihat peta dukungan partai saat tulisan ini ditulis, sepertinya cukup kesulitan membuat Poros Ketiga.
ADVERTISEMENT
Ketiga, kebutuhan menangkal isu negatif. Isu-isu negatif bisa terjadi dalam dua aspek, yaitu aspek politik identitas dan aspek ekonomi. Serangan isu berbasis identitas diprediksi akan tetap menjadi salah satu isu dalam kampanye pemilu nasional mendatang.
Bagi Jokowi meskipun isu berbasis identitas tidak banyak memberi pengaruh terhadap penurunan suara Jokowi dalam pemilu pada tahun sebelumnya, namun konteks politik di 2019 berbeda dengan sebelumnya.
Hal itu terjadi karena adanya efek pilkada serentak pada 2018 dan perilaku pemilih yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Masifnya gerakan tagar #2019GantiPresiden bisa saja akan menjadi ancaman baru bagi Jokowi bila tidak dikelola secara matang.
Sementara, isu negatif terkait ekonomi bisa terjadi pada aspek posisi utang luar negeri, isu tenaga kerja asing dan isu kinerja ekonomi pemerintah.
ADVERTISEMENT
Peluang
Tidak mudah menjawab siapakah yang akan berpeluang menjadi cawapres Jokowi pada pemilu mendatang. Hingga tulisan ini ditulis, nama-nama cawapres Jokowi masih sulit diakses—bahkan oleh partai koalisi. Jokowi masih menutup rapat siapa nama yang akan dicalonkan. Saya kira, dibandingkan periode pertama, pada periode kedua, Jokowi lebih punya kekuatan dalam mendesain arah kebijakan dan koalisi politik.
Selain karena dukungan di parlemen mengalami penguatan, kinerja dan dukungan publik kepada Jokowi juga mengalami penguatan dari tahun ke tahun sejak pertama kali dilantik pada 2014. Dukungan di parlemen dan kepercayaan publik yang tinggi menjadi kekuatan kuat bagi Jokowi untuk lebih independen dalam menentukan cawapres.
Saya kira penentuan cawapres akan tergantung soal pola relasi dengan Jokowi dengan calon. Faktor chemistry personal, kredibilitas, dan loyalitas cawapres akan menjadi penentu utama posisi cawapres Jokowi.
ADVERTISEMENT
Chemistry dapat dilihat, seberapa sering calon tersebut berinteraksi dengan Jokowi, seberapa diterima calon dan seberapa mampu mengaktualisasikan visi dan misi Jokowi. Sementara kredibilitas menyoal rekam jejak, kemampuan, pengalaman dan lainnya.
Strategi
Masih tertutupnya nama cawapres Jokowi saya kira dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, strategi elektoral untuk mengantisipasi terjadinya peralihan dukungan partai menjelang waktu pendaftaran pasangan calon presiden/wakil presiden.
Dalam kondisi normal, bila Jokowi berhasil menjaga dukungan partai koalisi, diprediksi pemilu presiden hanya akan diikuti oleh dua pasangan capres/cawapres. Kedua, strategi elektoral untuk mengantisipasi adanya manuver kandidat lain dalam merespons nama cawapres Jokowi.
Bila pengumuman cawapres Jokowi dilakukan pada hari-hari terakhir menjelang pendaftaran, menyebabkan calon lain tidak punya waktu untuk melakukan konsolidasi dan manuver politik.
ADVERTISEMENT
Siapa cawapres Jokowi akan bergantung soal kebutuhan elektoral Jokowi: apakah ingin mengantisipasi isu berbasis politik identitas, atau isu berbasis ekonomi.