Strategi Bertahan Partai Keadilan Sejahtera

Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
Konten dari Pengguna
7 Mei 2018 9:05 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arya Fernandes tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumlah pendukung dari Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO / Bay Ismoyo)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pendukung dari Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO / Bay Ismoyo)
ADVERTISEMENT
Tak terbiasa mengelola konflik di internal partai, menyebabkan PKS kesulitan menghadapi manuver politik Fahri Hamzah. Kini, sang Presiden, Sohibul Iman, harus menghadapi laporan dugaan pencemaran nama baik. Beberapa waktu lalu, ia dilaporkan Fahri Hamzah ke Polda Metro Jaya.
ADVERTISEMENT
Sebelumnya, upaya PKS untuk mendongkel kursi Wakil Ketua DPR yang dijabat Fahri sekaligus memecatnya dari keanggotaan partai, mentah di Pengadilan banding. Majelis hakim banding pada 7 November 2017 memutuskan pemecatan Fahri tidak sah, dan PKS didenda membayar sebesar Rp 30 miliar. Belum pulih dari sejumlah kasus korupsi yang mendera sejumlah partai baik di pusat, maupun daerah, PKS kini kesulitan menghadapi Fahri Hamzah seorang. Bagaimanakah akhir dari konflik antar-elit PKS ini?
Konflik antar-kader tak seharusnya berlarut-larut bila PKS berhasil mencari jalan tengah yang terbaik. Jalur negosiasi, musyawarah dan islah harus ditempuh. Harus ada pihak yang mengalah, baik Fahri maupun elite struktural PKS. Apalagi Fahri Hamzah adalah aset penting bagi PKS. Pada pemilu 2014 lalu, ia berada di nomor 33 dari 560 anggota DPR se-Indonesia.
ADVERTISEMENT
Strategi negosiasi dengan Fahri harus dipersiapkan betul oleh PKS. Apalagi Fahri bukan kader kacangan dalam PKS. Ia adalah salah satu pendiri PKS. Perlu negosiator ulung dan berkelas untuk melunakkan Fahri. Bila tidak, usaha negosiasi tentu akan mentah lagi. Pada sisi lainnya, Fahri tentu juga harus memahami prosedur dan mekanisme partai dalam penyelesaian konflik internal.
Pemilu 2019
Sohibul Iman berkunjung ke kumparan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sohibul Iman berkunjung ke kumparan. (Foto: Aditia Noviansyah/kumparan)
Tahun 2019, akan menjadi pertaruhan penting bagi PKS dan kepemimpinan Sohibul Iman. Di tengah pusaran korupsi yang membelit sejumlah partai pada 2012-2014, pada Pemilu 2014, PKS relatif masih bisa bertahan sebagai partai papan tengah, meskipun kehilangan sebesar 1,09% suara dibandingkan pemilu sebelumnya.
Dibandingkan tiga pemilu sebelumnya, pemilu 2014 adalah prestasi yang tidak mengembirakan bagi PKS. Sejak Pemilu 1999 sampai 2009, suara PKS selalu mengalami tren kenaikan. Pada Pemilu 1999, ketika masih bernama Partai Keadilan, PKS mendapatkan 1,36% suara sah secara nasional dan naik menjadi 7,34% pada Pemilu 2004, lalu naik lagi menjadi 7,88% pada Pemilu 2009. Pada pemilu 2014, suara PKS turun menjadi 6,79%.
ADVERTISEMENT
Tentu tak ada pihak yang bisa disalahkan dari penuruan suara PKS. PKS perlu berbenah bila ingin tetap bertahan di kisaran 6-7% suara. Sebagai orang luar PKS, saya melihat, PKS kehilangan idealisme yang ia perjuangkan sejak awal berdiri partai, yakni integritas dan moralitas politik. Dua hal inilah yang menjelaskan kenaikan suara PKS sejak 1999 sampai 2009. Bila ingin bertahan, PKS harus menerjemahkan nilai integritas dan moralitas dalam program dan kebijakan partai secara nasional.
Dulu, saat sumberdaya dan logistik politik PKS belum banyak, PKS berhasil mendapatkan suara yang cukup signifikan. Sekarang setelah kader bertambah, dan PKS memiliki kemampuan dalam mengakses sumber-sumber pendanaan politik baru, PKS kesulitan menjaga integritas politik. Sejumlah kasus besar mengganggu pemilih PKS, terutama kasus-kasus korupsi—seperti yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Presiden PKS dan Gatot Pujo Nugroho, mantan Gubernur Sumatera Utara.
ADVERTISEMENT
Dulu, pendanaan partai disumbangkan secara ikhlas dari kantong-kantong pribadi partai. Kegiatan-kegiatan partai dilakukan secara tenang, tidak ada intrik-intrik kotor di internal. Dan proses rekrutmen politik berjalan dengan sangat baik dan ketat. Kini, saya tidak tahu bagaimana PKS menjaga integritas kadernya dalam berpolitik. Padahal integritas dan moralitas politiklah yang menyebabkan PKS bisa bertahan dalam kerasnya pertarungan politik di Indonesia.
Yang Hilang dari PKS
Pendukung Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO / Bay Ismoyo)
zoom-in-whitePerbesar
Pendukung Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO / Bay Ismoyo)
Dalam tiga tahun terakhir, PKS menghadapi sejumlah tantangan internal yang menurut saya harus segera dicari jalan keluarnya. Pertama, PKS kehilangan inovasi politik. Secara internal tidak banyak inovasi politik yang berhasil ditampilkan oleh PKS. Dulu, di Senayan, kader-kader PKS cukup banyak yang vokal, menjadi koboi Senayan yang disegani. Serta diburu oleh banyak wartawan karena menjadi inisiator sejumlah kebijakan penting.
ADVERTISEMENT
Kedua, PKS tidak memiliki strategi jangka panjang untuk menjaga basis pemilihnya di sejumlah provinsi. PKS misalnya kehilangan sejumlah kursi di beberapa daerah yang menjadi basis politik PKS pada pemilu 2009. Sebagai contoh dapat dilihat dari empat provinsi di bawah ini. Yakni, di DPRD DKI Jakarta, kursi PKS menurun dari 18 kursi (Pemilu 2009) menjadi 11 kursi (Pemilu 2014); Sumatera Utara turun dari 11 kursi menjadi 9 kursi dan Jawa Barat dari 13 menjadi 12 kursi. Di Banten, kursi PKS turun dari 11 kursi menjadi 8 kursi.
Ketiga, PKS kehilangan momentum politik untuk mengajukan kader internal dalam putaran Pilkada serentak sejak 2015 terutama di basis-basis partai. Padahal pada Pilkada sebelumnya calon-calon dari PKS hampir selalu diperhitungkan partai politik atau koalisi partai. Beberapa daerah itu misalnya Sumatera Utara, Banten, dan DKI Jakarta.
ADVERTISEMENT
Pada Pilkada 2013, kader PKS Gatot Pujo Nugroho yang berpasangan dengan Teuku Erry Nuradi berhasil menang dengan perolehan suara 32.05%. Pada Pilkada 2018, PKS tidak mampu mencalonkan kader internal di Sumatera Utara. Di DKI Jakarta, sejak Pilkada 2007, PKS selalu menjadi kontestan. Pada Pilkada 2007, PKS yang mengusung Adang Daradjatun yang berhasil mendapatkan suara 42,13%, meskipun kalah dengan Fauzi Bowo yang mendapatkan suara sebesar 57,87%. Pada Pilkada DKI 2012, meskipun kalah, PKS tetap menjadi kontestan dengan mendukung Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini. Pada Pilkada DKI Jakarta, lalu, PKS harus menerima tawaran Gerindra dengan mendukung Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Di Pilkada Banten 2006, PKS mendukung Zulkieflimansyah-Marissa Haque dan pada Pilkada 2011 mendukung Jazuli Juwaini-Makmun Muzzaki. Di Pilkada Banten 2017, PKS tak berkutik. Kader PKS tak diperhitungkan dalam pencalonan Pilkada. Sementara di Jawa Barat, meskipun Ahmad Heryawan, elite PKS yang berhasil menjadi Gubernur petahana dalam 2 periode, namun calon yang diusung PKS (Sudrajat-Saikhu) sepertinya sangat susah untuk menang dalam Pilkada 27 Juni 2018 mendatang.
ADVERTISEMENT
Keempat, PKS kehilangan isu dan brand. Dalam tiga tahun terakhir, tidak ada isu kuat yang berhasil disuarakan oleh PKS. Padahal, dalam tiga pemilu sebelumnya, isu berbasis program dan kebijakan, seperti isu antikorupsi dan pemerintahan bersih yang disuarakan PKS, berhasil menarik perhatian pemilih. Sekarang nyaris tidak ada isu berbasis program yang muncul dari internal PKS. Menjelang pemilu 2019, PKS mengunakan isu #2019GantiPresiden. Dari sisi brand, pada tiga pemilu sebelumnya, brand sebagai partai anak muda, perkotaan dan intelektual adalah tiga brand utama PKS. Sekarang brand tersebut sepertinya tidak berhasil dipertahankan dengan baik.
Sejumlah pendukung dari Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO / Juni Kriswanto)
zoom-in-whitePerbesar
Sejumlah pendukung dari Partai Keadilan Sejahtera. (Foto: AFP PHOTO / Juni Kriswanto)
Di tengah keras dan ketatnya pertarungan politik di Pemilu 2019 nanti, PKS harus kembali pada khittahnya, yakni partai dengan integritas dan moralitas politik yang tinggi. Bila tidak, PKS akan hanya jadi kenangan.
ADVERTISEMENT