Haji: Pemberontakan hingga Diplomasi Kemerdekaan

Konten dari Pengguna
17 Agustus 2019 22:45 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aryo Bhawono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Para pemberontak petani Banten dalam peristiwa ‘Geger Cilegon’ yang ditangkap VOC, tahun 1888. Foto: KITLV Collection
zoom-in-whitePerbesar
Para pemberontak petani Banten dalam peristiwa ‘Geger Cilegon’ yang ditangkap VOC, tahun 1888. Foto: KITLV Collection
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemerintah Hindia Belanda tak pernah luput memperhatikan gerak-gerik Haji Abdul Karim sejak kiai itu kembali ke kampung halamannya di Lampuyang, Banten, pada 1872. Pesantren yang dibangunnya terkenal dalam sekejap. Banyak santri berguru dan pejabat pribumi pun berduyun-duyun meminta restunya.
ADVERTISEMENT
Ada kekhawatiran yang dipendam pemerintah Hindia Belanda di balik melejitnya ketenaran itu. Khotbah, janji, dan ramalan yang dibuat Abdul Karim selalu ditunggu-tunggu warga hingga santri. Isinya ramalan hari kiamat, kedatangan Mahdi, dan jihad. Jika dibiarkan maka akan memantik huru-hara.
Snouck Hurgronje mencatat, murid-murid Kiai Agung menanti seruan untuk memberontak.
“...setiap malam, beratus-ratus orang ingin diselamatkan berduyun-duyun ke tempat tinggalnya, untuk belajar zikir dari dia, untuk mencium tangannya dan untuk menanyakan apakah saatnya sudah hampir tiba, serta untuk berapa lama lagi pemerintah kafir masih akan berkuasa?”
Catatan Snouck itu ternukil dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888 yang ditulis Sartono Kartodirdjo. Kiai Agung tak tercatat terlibat langsung dalam pemberontakan itu. Tetapi perannya sangat penting dalam mengobarkan semangat memberontak.
Rombongan Haji asal Banten hendak menuju Mekkah. Foto: KITLV Collection
Pemerintah Hindia Belanda kala itu memberikan pengawasan pada para haji. Paling tidak ada dua kategori haji, yakni mereka yang sekadar menunaikan ibadah ke Makkah, lalu pulang dan yang bermukim, lalu belajar. Kelompok haji yang bermukim ini disebut dengan Jawah, merekalah yang harus diawasi karena berpotensi menebar benih huru-hara.
ADVERTISEMENT
Kiai Agung masuk dalam kategori ini. Selama di Makkah ia berguru pada Syekh Ahmad Khotib al Syambasi yang duduk sebagai pengajar di Masjidil Haram.
Ia meninggalkan Banten sebelum pemberontakan pecah. Kiai Agung menggantikan peran gurunya di tanah suci. Tetapi Sartono mencatat doktrin yang ditanam Kiai Agung ini memiliki peran besar memantik pemberontakan petani. Apalagi penggagas pemberontakan itu merupakan salah satu muridnya, Haji Wasid.
Pemberontakan itu sendiri tumpas sekejap setelah tentara dari Batavia didatangkan. Namun peran Haji Jawah tak pernah lepas dari pengamatan pemerintah Hindia Belanda. Larangan penggunaan pakaian haji di Banten dan penangkapan serta pelarangan pembentukan tarekat marak dilakukan di tempat lain.
Pengawasan haji ini membutuhkan kerja keras. Jumlah haji asal nusantara tercatat tinggi rata-rata jumlahnya mencapai 1.600-an pada 1850-1860. Jumlah ini meningkat menjadi 2.600 haji pada 1870, dan 4.600 haji pada 1880.
Pamflet maskapai haji masa Hindia Belanda. Foto: KITLV Collection
Banten sendiri memiliki persentase jemaah haji paling tinggi jika dibandingkan jumlah penduduknya, yakni 4.073 haji atau 0,72 persen dari jumlah penduduk kala itu.
ADVERTISEMENT
Jejak haji dalam perjalanan pemberontakan petani Banten sangat kental dibandingkan dengan pemberontakan lain. Ide untuk membentuk dar Islam sangat kuat dan terjalin dengan baik sebagai pemersatu kesamaan nasib. Pemberontakan bukan lagi meletus karena kesamaan wilayah tetapi kesamaan nasib.
Peran haji dalam sejarah Indonesia tidak hanya soal pemberontakan saja. Ketika Proklamasi Republik Indonesia dibacakan Soekarno Hatta, para haji penetap (mukim) memberikan dukungan terbuka. Sekitar 300 mukim menggelar pertemuan pada 27 September 1945 dan mendukung berdirinya republik.
Belanda yang berkuasa melalui NICA di tanah air sendiri berusaha merayu dengan mempermudah fasilitas perjalanan haji. Belanda menggandeng tiga perusahaan maskapai kapal dengan nama Kongsi Tiga, yakni Rotterdamse Lloyd, Stoomvaart Maatschappij Nederland, dan Stoomvaart Maatschappij Oceaan untuk menangani perjalanan haji.
ADVERTISEMENT
Tapi segala rayuan ini kurang laku untuk menarik dukungan. Justru sejumlah mahasiswa Indonesia di Mesir, melalui organisasi Perkumpulan Indonesia, mendatangi Makkah dan menyebarkan pamflet kemerdekaan Indonesia. Pamflet ini berisi permintaan dukungan bagi perjuangan kemerdekaan.
H Agus Salim, Ketua Delegasi Republik Indonesia, bersama H. Rasyidi menyampaikan terima kasih bangsa Indonesia kepada Hasan Al-Banna (Mursyid Am Al-Ikhwan Al-Muslimun)yang kuat sekali menyokong perjuangan kemerdekaan Indonesia. Sumber gambar: Hassan, M.Z. via Republika.com
“Banyak mukim yang bergabung dengan organisasi ini dan mengampanyekan perjuangan Kemerdekaan Indonesia,” tulis Ismail Hokky Goksoy dalam makalah Dutch Policy towards the Indonesian Haj, 1946-1949.
Hasilnya pada 1946, sebanyak 70 persen para mukim di Arab Saudi mengembalikan paspor Belanda mereka di perwakilan Jeddah. Mereka tak lagi mau mengaku sebagai bagian dari Belanda.
Haji pun memiliki peran besar dalam perjalanan republik ini. Tak hanya memberontak pada Belanda tetapi membentuk kekuatan perlawanan di saat Indonesia masih belia.
ADVERTISEMENT