Untitled Image

Menggilas Sejarah Kota Depok

22 Juli 2019 14:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Gapura Selamat Datang di Depok. (Foto: bennythegreat.wordpress.com)
zoom-in-whitePerbesar
Gapura Selamat Datang di Depok. (Foto: bennythegreat.wordpress.com)
ADVERTISEMENT
Menelusuri sejarah Kota Depok bukan perkara sulit. Penanda lahir dan berkembangnya kota itu ada di sekitar jalan protokol. Tapi soal menikmatinya perkara lain, kondisinya tak lagi utuh, terbengkalai, dan beberapa tak terurus.
ADVERTISEMENT
Jika kita memasuki Kota Depok dari Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Maka kita akan disambut oleh Kampung Pondok Cina. Mampirlah sejenak ke Margo City Mall yang berdampingan dengan The Margo Hotel Depok.
Tepat di belakang hotel sebuah penutup lahan berbahan seng mengelilingi bangunan tua. Itulah (yang tersisa dari) Rumah Pondok Cina.
Rumah Pondok Cina ini tadinya terdiri atas beberapa bagian. Teras dan ruang depan dibangun dengan gaya Eropa. Bagian tengah ke belakang gaya itu dipertahankan dengan menggunakan atap genteng. Tapi yang tersisa di belakang hotel itu kini hanya bagian teras dan ruang depan saja.
Rumah ini menjadi bagian penting ketika Cornelis Chastelein membangun pertanian di atas tanah yang terletak antara Batavia dengan Buitenzorg pada 1705. Tanah itu berjarak 5 kilometer ke arah selatan dari Rumah Pondok Cina.
ADVERTISEMENT
Rumah tua di Pondok Cina, tampak dari halaman depan Margo City, Depok, Jawa Barat, Rabu (25/1/2017).(Mikhael Gewati)
Orang-orang Cina dari Batavia biasa berdagang di pertanian itu. Tapi Chastelein melarang mereka tinggal dan menginap. Mereka lantas menyewa pondokan untuk menginap di sekitar tempat itu.
Rumah Pondok Cina sendiri dibeli oleh Lauw Tek Tjiong, kemudian diwariskan kepada anaknya Lauw Cheng Shiang.
Setelah mampir ke rumah Pondok Cina, teruslah berjalan ke selatan, melewati tiga lampu pengatur jalan raya. Lalu menengoklah ke kiri hingga sampai ke Jalan Pemuda, itulah kawasan Depok Lama.
Sederet rumah di sepanjang Jalan Pemuda merupakan tanah bekas milik Chastelein. Beberapa bangunan kolonial masih tersisa, ada yang dipakai sebagai sekolah, kantor, maupun tempat tinggal.
Dulu Chastelein mengelola pertanian di sekitar daerah ini dengan mengerahkan 200 budak asal Sulawesi, Bali, Timor, dan lainnya. Depok yang tadinya hanya sebuah kampung menjadi sibuk. Budak dan warga hidup berbaur.
Sumber foto : depoktren.com
Ketika meninggal pada 28 Juni 1714, Chastelein memerdekakan seluruh budaknya. Sebagian yang memeluk Kristen mendapat waris tanah, lainnya hidup berbaur dengan warga sekitar.
ADVERTISEMENT
Orang-orang Eropa pun kemudian berdatangan untuk bermukim di kawasan itu. Depok lantas menjadi kosmopolitan.
Bukan hanya Chastelein yang menghidupkan Depok kala itu. Di sisi timur, di pinggir Jalan Raya Bogor, sebuah bangunan bergaya Indies tampak termakan zaman di belakang menara pemancar radio milik RRI.
Rumah itu dulu milik janda Gubernur Jenderal VOC, Adrianna Johanna Bake. Arsitek J. Smith merancang bangunan itu. Ia memadukan kemegahan gaya arsitektur Louis XV dengan gaya tropis yang memiliki atap menjorok dan lebar.
Selain itu ornamen heraldik dari pahatan kayu menunjukkan bentuk bunga sebagai lambang keluarga. Rumah Adriana ini diyakini merupakan cikal pertama rumah berarsitektur Indies pertama.
Keberadaan rumah ini merupakan pembuka sisi Depok yang masih belantara di antara kampung Betawi. Rumah ini menjadi persinggahan para orang Belanda yang hendak pergi ke Buitenzorg dari Batavia atau sebaliknya.
Rumah tua Cimanggis (Foto: Rizki Mubarok/kumparan)
Kuasa Johanna meliputi tanah berhektar-hektar di sekitar rumah itu. Perkembangan ekonomi membuatnya membangun Pasar Cimanggis (sekarang Pasar Pal) yang berjarak sekitar satu kilometer.
ADVERTISEMENT
Berharap keindahan atas bangunan ini bakal menuai kekecewaan. Hampir separuh atap rumah ini hancur karena tak dipelihara.
Tiga titik bangunan sejarah Kota Depok ini kini menjadi lokasi strategis. Rumah Pondok Cina menjadi bagian dari pusat bisnis. Bekas pemukiman Chastelein menjadi lokasi pendidikan, pemukiman, dan kantor.
Sedang Rumah Cimanggis berada di pinggir Jalan Raya Bogor. Rumah ini sempat terancam digusur demi pembangunan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Walau selamat tapi kondisinya masih mengenaskan.
Tapi nasib ketiganya sama, tergilas oleh waktu, tak dipelihara, dan dilupakan perannya.
Pos peristirahatan Cimanggis, kini disebut Pasar PAL. (Foto: Dok.Depok Heritage Community)
Nilai dan perjalanan bangunan itu tak pernah menjadi pertimbangan atas kebijakan apapun. Misal saja, tiga bangunan itu sudah meletakkan dasar bagi Depok sebagai kota kosmopolitan. Chastelein dan Adriana membawa orang-orang dari luar Depok untuk hadir dan kemudian hidup berdampingan.
ADVERTISEMENT
Depok adalah kota plural yang bebas. Tapi tiba-tiba saja muncul belakangan Rancangan Perda Penyelenggaraan Kota Religius (PRK). Aturan ini justru menjadi batas kebebasan dan keberagaman.
Itu baru satu contoh, masih banyak aturan atau kebijakan aneh lain dari pemerintah kota terkait tata kota, pengembangan kota, dan lainnya.
Seorang rekan-- pegiat sejarah-- pernah berkata, “Bangunan tua itu diperlakukan sebatas romantika saja. Mereka tidak pernah memandang soal proses dan nilainya, maka jadilah Depok!”
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten