55 Teknik Mengatasi Kemarahan

AS Laksana
Seorang sastrawan, pengarang, kritikus sastra, dan wartawan yang aktif menulis cerita pendek di media cetak nasional
Konten dari Pengguna
19 Januari 2017 19:48 WIB
comment
15
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AS Laksana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap medali biasanya menyimpan cerita menarik tentang upaya gigih seseorang untuk mendapatkannya. Saya akan menyampaikan tentang medali yang saya terima baru-baru ini.
ADVERTISEMENT
Jujur saja, saya seorang pemberang. Itu masalah terbesar saya, sebab, menurut seorang terapis, kemarahan adalah akar bagi segala macam penyakit, baik fisik maupun emosi.
Explosion Illustration (Foto: http://www.clker.com/)
Dan Anda tahu bagaimana rasanya menghadapi orang dungu? Itu masalah besar bagi seorang pemberang, apalagi sebelum saya membaca buku How to Manage Your Anger: 55 Proven Techniques that Unusually Work.
Dari 55 teknik di buku itu, berikut adalah yang paling lunak dan sangat menghibur:
“Jika Anda marah dalam keadaan berdiri, duduklah. Jika masih tetap marah, berbaringlah. Jika masih tetap marah, pergilah cuci muka. Jika masih marah juga, mandilah. Masih marah juga? Kenakan pakaian terbaik dan keluarlah, cari hawa segar, temukan seseorang yang bisa Anda ajak bercakap-cakap dan bergurau. Jika orang itu terlalu bodoh sebagai teman bercakap-cakap, ikat ia pada sebatang pohon lalu tendangi, pukuli, dan maki-maki sampai kemarahan Anda reda.
ADVERTISEMENT
“Belum reda juga? Berarti Anda setengah hati melakukannya. Kerjakan sepenuh hati. Ia tidak akan memahami apa yang terjadi padanya sebab ia bodoh.”
Saya melakukannya bulan lalu, mengikuti secara tertib semua prosedur dan kemudian pergi ke taman. Ada lelaki sedang duduk pada akar sebatang pohon. Saya mendekatinya dan berjongkok dan mengajaknya bercakap-cakap tentang pemilihan gubernur DKI—topik yang setiap hari diuber oleh domba-domba kelas rendah.
“Kau akan memilih Agus Yudhoyono atau Ahok atau Anies Baswedan pada pilkada nanti?” tanya saya.
“Ya,” jawabnya.
“Kok ya?”
“Saya memang akan memilih.”
“Maksud saya, kau akan mencoblos Agus... atau Ahok... atau Anies pada saat pilkada?”
“Sudah tentu pada saat pilkada, dong. Tidak ada orang mencoblos pada hari lebaran.”
ADVERTISEMENT
Saya mencoba bersabar.
Facepalm (Foto: giphy.com)
“Begini..., siapa yang akan kaupilih ... Agus Yudhoyono atau Ahok atau Anies Baswedan?”
Ia kelihatan berpikir keras. Saya menunggu jawabannya—sampai kelaparan.
Akhirnya saya keluar dari taman untuk makan bakso. Karena belum begitu kenyang, saya makan lagi soto ayam. Sudah hampir kenyang, tetapi saya pikir perlu tambah sedikit lagi. Lalu saya makan lagi pecel Madiun, lalu sate Madura, marmut Madagaskar, dan semen Padang. Untuk makanan penutup, saya memilih rawon setan, sambel iblis, popok wewe, dan satu orang pengamen.
Lima jam kemudian saya kembali ke taman; ia masih berpikir keras.
“Jadi siapa yang akan kaupilih?” tanya saya.
Ia meminta saya menunggu satu jam lagi. Saya membaringkan tubuh di bangku beton. Satu jam kemudian ia menjawab, “Saya tidak jadi memilih.”
ADVERTISEMENT
Cukup sudah urusan dengan si dungu ini. Selanjutnya, saya lakukan tindakan persis seperti yang disarankan oleh si penulis buku. Kemarahan saya mereda lima belas menit kemudian dan dengan perasaan damai saya meninggalkan taman. Tetapi rupanya ada yang melaporkan tindakan saya.
Dua hari setelah itu tiga orang berseragam datang ke rumah dan membawa saya pergi. Saya menanyakan apa kesalahan saya, dengan sikap takzim seolah-olah seumur hidup saya hanya menggunakan waktu untuk bertani dan mengaji.
“Kami hanya menjalankan perintah,” kata salah satu dari mereka.
“Tidak menanyakan alasannya kenapa menangkap saya?” tanya saya.
“Kami hanya menjalankan perintah. Titik.”
Saya yakin orang-orang ini bodoh juga, tetapi saya tidak berani memukuli dan mencaci maki mereka. Untung mereka membawa saya ke istana presiden, saya pikir ke markas Kopassus.
ADVERTISEMENT
Singkat cerita, Pak Presiden mengalungkan medali ke leher saya. Ia mengakui sulit sekali membuat warga negara menjadi cerdas. Karena itu ia berterima kasih atas tindakan saya yang menurutnya efektif untuk memberantas kebodohan.
“Jika Pak Presiden mau,” kata saya saat kami bersalaman, “saya sanggup lebih ganas lagi. Saya masih punya 54 teknik lainnya.”