news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Hak Jawab dari 'Misoginis' Abad Ini

AS Laksana
Seorang sastrawan, pengarang, kritikus sastra, dan wartawan yang aktif menulis cerita pendek di media cetak nasional
Konten dari Pengguna
5 Oktober 2020 10:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AS Laksana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kredit foto: ShutterStock
zoom-in-whitePerbesar
Kredit foto: ShutterStock
ADVERTISEMENT
Sebuah perubahan revolusioner rupanya bisa terjadi tanpa disadari oleh pembuat perubahan itu. Saya mengalaminya. Pada suatu hari saya tidur karena mata saya mengantuk dan ketika bangun saya sudah berubah menjadi misoginis, persis Gregor Samsa berubah menjadi serangga besar. Ini perubahan kilat—sebuah revolusi dengan kecepatan yang mempesona—sebab satu hari sebelum tanda pangkat itu muncul atau pekan sebelumnya atau bulan sebelumnya saya masih baik-baik saja. Saya tahu terjadinya perubahan kilat ini dari teman-teman yang menghubungi saya. Mereka menyampaikan kesedihan, berusaha menghibur saya, dan mengirimkan gambar-gambar tangkapan layar. Norman Erikson begitu giat menyerang dan serangannya membuat sejumlah orang lain, beberapa saya kenal baik, membenci saya.
ADVERTISEMENT
Orang menjadikan dirinya misoginis, pembenci hewan, pembenci tetangga, dan sebagainya melalui tindakan dan ujaran. Ujaran, baik lisan maupun tulisan, adalah tindakan juga; kita bisa menyebutnya tindakan verbal. Tindakan fisik dan verbal bersumber dari keyakinan atau dari pemikiran atau dari mindset. Perubahan terhadap mindset, apalagi perubahan kilat, biasanya sulit terjadi, kecuali orang itu berupaya keras untuk mengubahnya. Mungkin bisa juga karena ketidaksengajaan: Seseorang tertimpa beringin roboh dan otaknya bergeser mendadak. Orang yang mula-mula rajin ke gereja, misalnya, atau patuh kepada kedua orang tua, atau suka mendoakan orang lain, bisa tiba-tiba menjadi suka menampar atau mencaci maki orang tanpa alasan karena otaknya tiba-tiba bergeser.
Kita menjadi sedih pada orang yang suka meracau, entah itu di rumahnya sendiri, atau di jalanan, terlebih lagi di media sosial. Media sosial adalah sebuah teknologi mutakhir, memerlukan kecerdasan saintifik untuk menciptakannya, sayang jika ia digunakan hanya untuk meracau.
ADVERTISEMENT
Mengenai tuduhan misoginis dan lain-lain (Norman Erikson melengkapi tuduhan dengan tanda pangkat homofobik), beberapa teman menyarankan tidak usah ditanggapi, meskipun mereka sedih. Beberapa lagi menyarankan agar saya menggunakan hak jawab. "Sampean sudah dinistakan di belakang punggung, kebencian menjalar ke mana-mana, sampean punya hak jawab."
Baiklah, dengan menghormati teman-teman yang menyarankan tidak usah ditanggapi, saya mengikuti saran kedua, menggunakan hak jawab. Dari gambar-gambar tangkapan layar yang saya terima, saya dicap misoginis karena menulis status Facebook seperti ini:
ADVERTISEMENT
Tidak jarang kita mendengar adanya perempuan yang menjadi korban pelecehan hingga kekerasan seksual, yang dilakukan oleh para predator. Di lain pihak, undang-undang yang digunakan saat ini belum mampu melindungi dan berpihak kepada perempuan yang menjadi korban berbagai tindak kekerasan. Sampai kini undang-undang yang lebih baik masih terus diperjuangkan dengan susah payah, baik oleh para aktivis perempuan maupun oleh kaum laki-laki yang mendukungnya. Kelas online, meski bukan jalan untuk mengakhiri ancaman kekerasan terhadap perempuan, mungkin dapat meminimalisir risiko tersebut. Saya pikir karena itu pulalah jumlah perempuan yang belajar di kelas online saya selalu lebih banyak ketimbang lelaki.
Saya berterima kasih kepada teman-teman yang memahami maksud saya, di antaranya adalah mereka yang komentar-komentarnya saya kutip untuk tulisan ini. Saya juga berterima kasih kepada mereka yang menafsirkannya secara berkebalikan; bagaimanapun, mereka memberi saya pengetahuan penting.***
ADVERTISEMENT