Panduan Membuat Benda Seni dari Sampah Masyarakat

AS Laksana
Seorang sastrawan, pengarang, kritikus sastra, dan wartawan yang aktif menulis cerita pendek di media cetak nasional
Konten dari Pengguna
27 Januari 2017 16:21 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AS Laksana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Garbage (Foto: Pixabay)
Pada akhir 1970-an, sebelum Pak Harto memerintahkan tentara untuk melakukan operasi Penembakan Misterius (Petrus), rumah masa kecil saya di Semarang sering menjadi tempat berkumpul para gali. Ayah saya menyukai keramaian, saya menikmati cerita-cerita mereka.
ADVERTISEMENT
Hanya satu kali mereka membuat saya kurang senang, ialah pada suatu malam ketika mereka mabuk-mabuk dan memasak anjing piaraan saya untuk merayakan satu orang yang baru bebas dari penjara. Sedih sekali kehilangan anjing piaraan, tetapi saya bisa memaafkan mereka.
Bagaimanapun, mereka orang-orang yang menyenangkan dan selalu memiliki cerita-cerita menyenangkan: tentang pertarungan gali antarkampung, tentang para pentolan yang tak mempan dibacok, dan tentang bagaimana mereka mendapatkan kesaktian.
Ada tetangga yang menyebut mereka sampah masyarakat. Saya baru pertama kali mendengar istilah itu dan senang mengulang-ulangnya dalam hati: “Sampah masyarakat ... sampah masyarakat...."
Rasa takjub pada cerita-cerita yang dituturkan oleh para sampah masyarakat itu membuat saya diam-diam menetapkan cita-cita luhur untuk menjadi orang sakti. Itu sebabnya buku-buku pertama yang saya beli adalah buku-buku terbitan Surabaya, di antaranya bagaimana menguasai jurus ampuh Bruce Lee, bagaimana memindahkan benda-benda dengan pandangan mata, dan mahir berbahasa Inggris sistem 24 jam.
ADVERTISEMENT
Tanpa kesaktian, tidak mungkin kita menguasai bahasa Inggris dengan sistem 24 jam. Teman-teman saya yang kurang sakti telah membuktikan kegagalan mereka. Sampai sekarang mereka tidak kunjung mahir berbahasa Inggris meskipun umur sudah mendekati sistem 50 tahun.
Ada satu buku lainnya pada masa itu yang paling saya andalkan, ialah teknik membakar kertas dengan ludah. Itu buku sangat penting. Jika anda bisa membakar kertas dengan meludahinya, anda bisa juga membakar kepala negara yang sewenang-wenang dengan cara yang sama.
Tentu saja anda perlu berpura-pura ramah kepadanya. Lalu anda sodorkan tangan untuk menyalaminya sambil menanyakan, “Apa kabar, Pak? Kelihatannya anda baik-baik saja.” Ia akan tersenyum dan anda meludahinya pada saat ia tersenyum. Ia terbakar.
ADVERTISEMENT
Itu cita-cita mulia ketika saya kelas tiga SD dan bertetangga dengan lelaki tua pemuja Bung Karno.
Pada waktu saya kelas empat, guru prakarya menjelaskan bahwa kita bisa membuat barang-barang kerajinan dari benalu, koran bekas, dan sampah. Kemudian ia memberi tugas membuat prakarya dengan salah satu dari tiga bahan yang ia sebutkan itu.
Saya memilih membuat prakarya dari bahan sampah dan, dengan ingatan terhadap istilah sampah masyarakat, saya membeli buku Membuat Barang Kerajinan dari Sampah Organik.
Sebetulnya yang saya cari adalah bagaimana membuat benda seni dari sampah masyarakat. Buku itu tidak ada. Namun sampah organik terdengar sama memukaunya dengan sampah masyarakat, maka saya beli buku itu.
Sekarang saya tahu bahwa saya membeli buku yang keliru. Sampah masyarakat tergolong anorganik--mereka adalah gerombolan dengan kedunguan yang tak bisa mengalami pelapukan.
ADVERTISEMENT
Baiklah, sebagai selingan, karena tulisan ini bakalan panjang sekali, saya akan mengajukan kuis dulu. Pertanyaannya: Siapakah yang disebut sampah masyarakat?
Silakan anda menjawab yang mana saja, atau menambahkan jawaban-jawaban anda sendiri. Saya pikir negeri ini tidak akan kekurangan bandot untuk sekadar menambah jawaban sampai Z.
ADVERTISEMENT
Saya tidak memasukkan para gali yang sering berkumpul di rumah saya ke dalam daftar jawaban. Dalam dunia masa kecil saya, mereka adalah orang-orang yang menyenangkan.
Penembakan Misterius membuat saya kesepian; saya kehilangan para pencerita yang hampir setiap malam menuturkan banyak adegan yang sampai hari ini terus hidup di benak saya.