Sapardi, Pagi Tadi…

AS Laksana
Seorang sastrawan, pengarang, kritikus sastra, dan wartawan yang aktif menulis cerita pendek di media cetak nasional
Konten dari Pengguna
25 Juli 2020 12:19 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari AS Laksana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sapardi Djoko Damono. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sapardi Djoko Damono. Ilustrator: Indra Fauzi/kumparan
ADVERTISEMENT
Jarak antara rumah kami hanya sepelemparan batu dan sore itu kami pulang berdua dengan taksi dan saya menanyakan kepadanya, dalam bahasa Jawa, kenapa ia ngeyel sekali. Sapardi menjawab, dalam bahasa Jawa juga, dalam nada bangga yang membuatnya terdengar seperti bocah: Saya lahir bulan Sapar.
ADVERTISEMENT
Sapar adalah bulan kedua dalam kalender Jawa. Ibunya, Sapariah, lahir di bulan itu juga. “Menurut orang Jawa, mereka yang lahir di bulan Sapar memiliki watak pemberani dan keras kepala,” katanya. Saya tidak tahu apakah memang seperti itu watak setiap orang yang lahir di bulan Sapar; saya pikir ia mengarang.
“Saya lahir Desember,” kata saya, “tepat pada tanggal kelahiran Yesus. Menurut keyakinan banyak orang, siapa pun yang lahir pada 25 Desember memiliki watak keras kepala juga. Ia tidak takut disalib.”
Saya jelas mengarang.
Hari itu kami baru saja merampungkan rapat terakhir penjurian sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta. Rapat berlangsung alot dan Sapardi betul-betul ulet dalam mempertahankan pilihannya. Pada puncak persilangan pendapat, saya berdiri dari tempat duduk dengan tangan kanan terayun ke meja—agak keras—dan meja berbunyi. Sapardi melakukan gerakan yang sama. Meja berbunyi lagi.
ADVERTISEMENT
Kami tidak sedang menentukan pemenang; kami hanya mencari satu naskah lagi untuk menggenapi tempat yang masih lowong dalam kategori “unggulan” dan ada dua yang kami pertimbangkan. Panitia menjadi tegang oleh meja yang berbunyi dua kali. Hanya Anton Kurnia, satu juri lain, yang tetap tenang di tempat duduknya. Mungkin ia tahu dalam situasi seperti itu suaranya akan menjadi penentu: Ia hanya perlu menyepakati pilihan Sapardi atau mendukung pilihan saya dan rapat berakhir.
Dan memang begitu. Anton menetapkan pilihannya dan rapat berakhir dan kami bersepakat bahwa semua naskah pilihan dewan juri adalah hasil keputusan bersama. Kami tidak akan diam-diam saling lempar kesalahan sekiranya ada suara sumbang terhadap satu atau mungkin semua hasil pilihan juri. Selanjutnya, Anton pulang ke Bandung; saya bersama Sapardi menumpang taksi dari TIM menuju Ciputat dan di perempatan Lebak Bulus saya menanyakan kenapa ia ngeyel sekali.
ADVERTISEMENT
***
Sedikitnya tiga kali kami berada dalam situasi seperti itu. Jadi, rasa-rasanya cukup alasan bagi saya untuk mempercayai pengakuannya sendiri bahwa ia memang keras kepala, terutama di dalam mempertahankan pendirian. Sisi lainnya adalah ia datang pada waktu yang tepat, dan membawakan tawaran yang tepat, ke dalam sastra Indonesia—ini tentang Sapardi dan buku pertamanya, DukaMu Abadi.
Kumpulan puisi itu, yang terbit pada 1969 berkat bantuan pelukis Jeihan Sukmantoro, kawan baiknya di SMA Negeri 2 Surakarta, dianggap membawa kembali perpuisian Indonesia ke jalur lirisisme, sebuah gaya yang cemerlang di tangan Amir Hamzah, dan menemukan ledakan berikutnya pada Chairil Anwar, dan dijauhi orang pada tahun-tahun yang mencekam ketika para seniman terseret ke dalam pergolakan politik yang berujung pada kengerian 1965.
ADVERTISEMENT
Goenawan Mohamad menyambut terbitnya kumpulan puisi pertama Sapardi dengan satu telaah panjang di majalah Horison berjudul “Nyanyi Sunyi Kedua” dan kita bisa menemukan di dalam tulisan itu catatannya tentang mana puisi-puisi yang lemah dan mana bagian yang orisinil Sapardi, tetapi secara keseluruhan tulisan itu adalah sambutan hangat terhadap “DukaMu Abadi”.
“Dalam DukaMu Abadi,” tulis Goenawan, “Sapardi Djoko Damono telah menyatukan diri dengan lirik: ia pun telah membebaskan diri dari desakan pengaruh sajak-sajak ‘berjoang’ waktu lampau. Ia tak lagi bicara tentang ‘para pelaut yang tabah’ yang ‘telah berjanji kepada Sejarah/untuk pantang menyerah’, atau tentang rakyat ‘yang sedang gemuruh bergerak/dalam teriakan-teriakan, dengan tangan-tangan terkepal’, seperti yang kita dapatkan dalam dua sajaknya yang sumbang di masa lalu.”
ADVERTISEMENT
Judul telaah itu sendiri menyiratkan rasa bahagia atas kembalinya “Amir Hamzah” ke dalam perpuisian kita: Nyanyi Sunyi, kita tahu, adalah judul salah satu kumpulan sajak Amir Hamzah.
Sebelum “DukaMu Abadi”, Sapardi, melalui terjemahannya atas tulisan Albert Camus “Seniman dan Dunia”, disiarkan di majalah Horison, Agustus 1968, seperti ingin mengingatkan siapa saja, termasuk dirinya sendiri, bagaimana sebaiknya bersikap setelah tahun-tahun yang penuh teriakan, setelah orang sibuk menjejali puisi dengan kata “berjoang” dan gestur kepalan tangan:
“Salah satu godaan bagi seniman adalah membayangkan bahwa dirinya hanya sendiri, dan hanya bisa meneriakkan kebenaran serta terdengar ke mana-mana apabila ia berteriak lebih keras dari siapa saja. Itu tak benar. Kita harus menemukan cara bagaimana mengerjakan sesuatu dengan baik, tidak dengan berteriak terlampau keras atau berbisik terlampau lirih. Tugas kita, dalam menghadapi oppresi, adalah membukakan pikiran-pikiran tertutup, mengetengahkan bersama buruk dan baik dalam manusia agar kita bisa bersama mengetahuinya. Hanya dengan cara ini seni bisa menganggap dirinya benar dan menyatakan bahwa dirinya bukanlah musuh manusia.”
ADVERTISEMENT
***
Sapardi mengaku mulai senang menulis puisi karena membaca Rendra, penyair yang sekampung halaman dengannya; ia menyukai Balada Orang-Orang Tercinta; ia menyukai kesederhanaan dalam bahasa puisi Rendra; dan ketika ia sendiri menulis puisi, ia juga menuliskannya dalam bahasa yang sederhana. Bertahun-tahun nanti, ketika para pengamat menyebut bahwa sajak-sajak balada Rendra dipengaruhi oleh balada-balada Federico Garcia Lorca, yang banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1950-an, Sapardi membelanya: “Bukan Lorca. Akar balada-balada Rendra adalah tradisi pewayangan.” Bentuk penghormatannya yang lain kepada Rendra bisa kita dapati dalam bukunya yang berisi enam belas esai tentang puisi Indonesia periode 1945 hingga 1999; ia memberi judul buku itu Sihir Rendra: Permainan Makna (1999).
Satu lagi penyair yang ia sukai pada masa remajanya adalah T.S. Eliot dan ia menjadikan drama-puisi karya penyair Inggris-Amerika ini, Murder in the Cathedral, sebagai pokok bahasan dalam skripsinya untuk menamatkan studi Sastra Barat (sekarang sastra Inggris) di Universitas Gadjah Mada. Fase berikutnya adalah pergaulan yang makin luas dengan karya-karya sastra dari Barat dan Timur.
ADVERTISEMENT
Dan ia tetap menulis puisi-puisinya dalam bahasa yang sederhana, sebagaimana Rendra, tetapi ia bukan orang yang cakap menuliskan larik-larik bernada tinggi. Ia pernah melakukannya, dalam dua puisi yang dimuat di Basis, Januari 1966, berjudul “Doa Para Pelaut yang Tabah” dan “Doa di Tengah Massa”—yang disebut sumbang oleh Goenawan. Dan ia menginsafi itu. Ia seorang guru, begitulah ia merumuskan dirinya bertahun-tahun kemudian, dan darma sehari-harinya adalah menularkan kecintaan terhadap sastra kepada orang banyak.
Teknik berpuisi dan kesederhanaan berbahasa yang dipilihnya mendekatkan Sapardi pada aliran imajisme, sebuah gerakan dalam perpuisian Inggris dan Amerika di awal abad kedua puluh, dengan Ezra Pound dan T.E. Hulme sebagai penganjur pertamanya. Lahir sebagai reaksi terhadap romantisisme, imajisme menekankan pada kesederhanaan, kejernihan, dan ketepatan berekspresi melalui penggunaan imaji-imaji visual konkret.
ADVERTISEMENT
Dengan ciri-ciri semacam itu dalam puisi-puisi DukaMu Abadi, Sapardi memulai petualangan yang akan dijalaninya sepanjang hidup. Ia gemar keluyuran sejak kecil. Ayahnya, Sadyoko, adalah abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta yang menjadi pegawai negeri sipil Jawatan Pekerjaan Umum setelah menikah. Ketika ayahnya membawa keluarganya berpindah rumah di daerah pinggiran Solo, Sapardi harus berhadapan dengan situasi baru, ialah kesunyian. Tidak ada listrik, tidak ada pertunjukan wayang kulit, tidak ada teman-teman keluyuran; tetapi ia butuh keluyuran dan ia melakukannya dengan cara lain: dengan buku-buku.
Kita bisa mendapati jejak pergaulannya dengan buku-buku itu, dengan para penyair yang ia baca, di dalam puisi-puisi yang ia tulis. Ada jejak haiku, yang memang dijadikan salah satu kiblat—selain puisi Yunani kuno—oleh para penganjur imajisme, di dalam puisi-puisi pendeknya. Ada jejak puisi-puisi klasik Cina. Ada jejak modernisme Barat. Dan dengan semua itu, ia melahirkan puisi Sapardi.
ADVERTISEMENT
“Penulis bagus mencuri, penulis jelek meminjam,” katanya, menggemakan pernyataan penyair yang disukainya sejak ia muda, T.S. Eliot.
Dengan puisi-puisi imajisnya, Sapardi adalah “the master of simplicity”. Ia merawat simplicity dengan membangun persahabatan dengan benda-benda, dengan gejala-gejala alam, dengan kejadian sehari-hari yang luput dari perhatian orang, dan ia bisa menulis tentang mereka seperti ia menceritakan sahabat-sahabat karib. Ia juga mengakrabi mitologi, sebab hanya dengan jalan itu ia bisa membongkarnya. Untuk hal-hal semacam ini, kita bisa mengatakan bahwa, di dalam kesederhanaannya, ia cerdik dan penuh siasat, dan sebetulnya itu tidak hanya dalam berpuisi, tetapi juga dalam hidup sehari-hari. Pada suatu hari ia terjatuh di rumah dan harus dirawat di rumah sakit karena patah kaki. Ia harus menggunakan tongkat sampai kakinya betul-betul pulih, dan ia tetap menggunakan tongkat itu meskipun kakinya sudah pulih.
ADVERTISEMENT
Sampean dadi atlet golf saiki, Mas?” tanya saya.
“Lho, ini senjata ampuh,” katanya. Ia suka berjalan-jalan di mal; ini olahraga yang paling mungkin ia lakukan. Berjalan dengan tongkat di tangannya, ia akan membuat orang-orang yang lalu-lalang di mal lebih awas terhadap dirinya; orang-orang yang dari belakang tidak akan menabraknya dan yang dari depan akan sigap memberikan jalan lapang kepadanya.
Dalam berpuisi, ia berpegang pada prinsip bahwa seorang penyair tidak bisa berkarya dengan cara mencontek, bahkan kalaupun itu mencontek dirinya sendiri. Karena itulah, baginya, kepenyairan harus dijalani dengan siasat, agar tidak mengulang-ulang satu cara, bahkan kalaupun itu cara yang berhasil melambungkan namanya, agar tidak mencontek diri terus-menerus. Tidak semua siasat literernya berhasil, tetapi ia orang yang enteng saja dalam menyikapi kepenyairan.
ADVERTISEMENT
Pada upayanya yang berhasil, kita bisa menjumpai bagaimana ia secara piawai memulai puisinya dari peristiwa sehari-hari dan tiba-tiba membawa kita kepada ujung yang tak terduga, melalui kelokan halus pada frase-frasenya atau pergeseran perspektif yang tak kentara. Kita bisa mendapati hal itu pada puisi di bawah ini, yang termuat di dalam kumpulan Perahu Kertas (1983).
ADVERTISEMENT
Saya membayangkan sebuah proses yang simpel di dalam penciptaan puisi tersebut. Pada suatu hari, mungkin tiba-tiba Sapardi mengajukan pertanyaan iseng kepada dirinya sendiri: “Apa jadinya jika GM mendapat kabar saya meninggal?”
Goenawan Mohamad, kepada siapa puisi itu dipersembahkan, adalah sahabat dekatnya, sesama penyair, dan seorang wartawan, dan, dalam puisi itu, Sapardi memilih menempatkan GM sebagai wartawan. Lalu ia memulainya dengan sebuah peristiwa yang banyak terjadi, seorang lelaki terlanggar motor sewaktu menyeberang, dengan waktu kejadian pagi tadi.
Waktu berjalan dan informasi-informasi baru ditambahkan seiring dengan berjalannya waktu; proses ini lazim kita jumpai di dalam dunia kewartawanan, dunia yang digeluti GM. Beberapa jam setelah kejadian, pada siang tadi, kita mendapat kabar bahwa yang terlanggar motor itu adalah “sahabatmu” dan ia membentur aspal dan, sore tadi, ketika informasi-informasi sudah lebih komplet, kita tahu bahwa lelaki itu meninggal.
ADVERTISEMENT
Lalu sore tadi bergeser menjadi malam ini dan kita disodori pemandangan pedih, dengan ironi, tentang “kau” yang “ingin sekali bercerita padaku tentang peristiwa itu”—sebuah keinginan yang tak mungkin. Kematian seorang sahabat adalah peristiwa besar—sesuatu yang sangat intim dan emosional—dan kita tak bisa menceritakannya kepada sahabat kita, sebab ia kini tak ada.
***
Pada hari ayahnya dimakamkan, Bawuk, nama panggilan si bungsu dari tiga bersaudara dan anak satu-satunya dari perkawinan Sapardi dengan Sonya Sondakh, berkata kepada wartawan yang bertanya apa pesan terakhir ayahnya: “Sekolah. Pokoknya harus terus belajar dan sekolah.”
Itu pesan dari orang yang mengisi hampir seluruh waktunya untuk belajar, di samping mengajar. Dan terus belajar, bagi Sapardi sendiri, adalah cara terbaik untuk menyiasati kehidupan yang ia jalani. Ia memilih masuk Sastra Barat selepas SMA. Itu sebuah siasat, sebuah cara melingkar untuk mencintai sastra Indonesia. “Bahasa Indonesia masih muda, karya sastranya belum banyak. Saya pikir dengan masuk sastra Barat saya bisa melakukan lebih banyak untuk sastra Indonesia,” katanya.
ADVERTISEMENT
Dan ia membuktikan apa yang ia katakan. Ia memperkaya kesastraan Indonesia tidak hanya dengan karya-karyanya, tetapi juga dengan kerja penerjemahan yang ia lakukan. Ia telah menerjemahkan karya-karya sastra—puisi, cerpen, novel, naskah drama—dari berbagai khazanah (Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Australia), termasuk di dalamnya adalah dongeng-dongeng untuk anak. Ia melakukannya untuk orang banyak agar mendapatkan kesempatan lebih luas untuk menikmati karya-karya bermutu, juga untuk dirinya sendiri.
Ia senang menerjemahkan sebab di dalam menerjemahkan ia sekaligus belajar menulis. Ia senang menulis dan belakangan berencana menerbitkan satu buku tiap bulan. “Duitnya tidak ada,” katanya. Pernyataan itu berlaku baik untuk menerjemahkan maupun untuk menulis, apalagi ia menulis puisi. Tetapi ia tetap menulis sebab menulis memberinya rasa bahagia.
ADVERTISEMENT
Dan, 25 tahun setelah DukaMu Abadi, menulis memberinya satu lagi selain rasa bahagia, ialah dicintai. Mungkin ia penulis Indonesia yang paling dicintai orang banyak, terutama setelah terbitnya kumpulan puisi Hujan Bulan Juni (1994), dan lebih khusus lagi karena dua puisi dalam kumpulan itu, “Aku Ingin” dan “Hujan Bulan Juni”, mampu merangkul hati anak-anak muda. Sapardi bagi kesastraan Indonesia adalah Hemingway bagi kesastraan Amerika. Hemingway bukan pengarang fiksi terkuat Amerika, tetapi ia sangat dicintai dibanding para penulis lainnya: Pada karya-karya Hemingway, fiksi Amerika melepaskan diri dari bayang-bayang fiksi Inggris, dan orang Amerika akhirnya bisa mengatakan beginilah orang Amerika bercerita. Pada Sapardi, kita mendapati puisi yang membuka diri kepada khalayak luas: Puisinya mudah didekati karena ia menyampaikannya sesuatu yang terasa dekat dan dalam bahasa yang sederhana.
ADVERTISEMENT
Dalam sajak-sajaknya yang paling diingat orang, ia seperti mewakili perasaan-perasaan yang tak mampu menemukan cara mengungkapkan diri.
***
Lalu tiba waktu. Minggu, 19 Juli 2020, pada usia 80 tahun lebih empat bulan, ia meninggalkan dunia, menyusul dua orang yang sudah berangkat lebih dulu, dua orang yang ia cintai. Wardiningsih, istri yang memberinya dua anak, Rasti Suryandani dan Rizki Henriko, sudah mendahului setahun sebelumnya. Rizki, nama yang kita jumpai dalam “Gonggong Anjing” dan “Puisi Cat Air untuk Rizki”, meninggal 17 Februari tahun ini.
Ia masih sempat menikmati teh sebelum berangkat. Ia seperti ingin menghadapi kematian dengan cara biasa-biasa saja, seperti ia menghadapi peristiwa sehari-hari, seperti ia membukakan pintu rumah bagi tamu yang datang kepadanya: Ia menerima siapa saja yang datang ke rumahnya.
ADVERTISEMENT
Saya berharap ia tak selalu membukakan pintu. Saya ingin ia menolak ketika yang datang kepadanya adalah kematian. Ketika mendapat kabar ia masuk rumah sakit, saya menenteramkan diri: Ia keras kepala, ia pasti sehat lagi. Saya berharap semuanya berlangsung seperti November tahun lalu, ia pulang dari rumah sakit setelah transfusi darah dan saya akan datang ke rumahnya jika kesempatan sudah memungkinkan. Pandemi membuat gerak kita tidak leluasa.
Tapi ia membukakan pintu dan saya tidak akan lagi mendengar suaranya di telepon: “Kok kamu sombong, lama sekali tidak main ke rumah, aku di rumah sakit pun kamu tidak menjenguk,” atau “Ini ada buku-buku baru, ambillah ke rumah malam ini,” atau “Sip!”
Ia menyukai percakapan dan tidak suka didatangi hanya sebentar. Bahkan pada November lalu, ketika ia baru dua hari pulang dari rumah sakit, saya tetap tidak bisa pulang cepat saat mengunjunginya. Ia sedang menghadapi laptopnya di kamar ketika saya tiba; itu pemandangan yang membuat saya bahagia dan dengan gerak refleks saya memeluknya dan mencium keningnya karena ia dalam posisi duduk. “Aku nduwe kopi enak,” katanya. Kami kemudian bercakap-cakap di ruang tamu—sampai pukul dua belas malam. Saya menikmati dua cangkir kopi dan martabak manis. Ia minum teh dan kelihatannya ingin sekali minum kopi.
ADVERTISEMENT
Pukul dua belas sebenarnya masih terlalu sore untuk pamit pulang. Kami lebih sering bercakap-cakap hingga pukul tiga pagi, bicara ngalor-ngidul, dan saya senang mendengar pernyataannya yang ceplas-ceplos. Ia, misalnya, bisa dengan enteng mengatakan, “Memang otaknya lempung, kok,” ketika saya suatu saat menyampaikan tentang seseorang yang, menurut saya, mutu tulisannya makin anjlok.
Namun kami juga punya rencana-rencana. Kami pernah berniat membuat kelas penulisan bersama. Kami pernah, dalam salah satu pembicaraan di rumahnya sekian tahun lalu, punya gagasan mengusulkan HB Jassin sebagai pahlawan nasional. “Sip,” katanya, “Jassin itu besar jasanya. Sastra Indonesia mungkin satu-satunya disiplin ilmu yang kita tidak harus menyeberang ke luar negeri untuk menjadi doktor. Itu berkat ketekunan Jassin mendokumentasikan segala bahan tentang sastra Indonesia.”
ADVERTISEMENT
Kami belum pernah menjalankan satu pun dari rencana kami berdua dan sekarang saya tak bisa lagi mendengar suaranya.***