Filosofi Zona Merah dalam Kehidupan Sosial

Asep Abdurrohman
Pendidik dan Penulis Kehidupan
Konten dari Pengguna
22 Juni 2021 13:58 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Abdurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Zona merah sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat. Semenjak pandemi global menerjang dunia akhir Desember 2019 dan awal Januari 2020, Zona merah acap kali terdengar dan tertulis di berbagai media. Masyarakat di pedesaan pun sudah familiar dengan kata-kata itu. Sudah seperti santapan sehari-hari saja.
ADVERTISEMENT
Meski demikian, zona merah, hemat penulis mengacu kepada tempat tertentu yang tidak boleh di kunjungi atau di diami. Hubungannya dengan era pandemi ini, tidak lain menunjukkan kepada sesuatu tempat yang tidak boleh ada kegiatan di dalamnya.
http://selisik.id
Isyarat ini, bukan semata-mata zona merah dalam istilah pandemi global saja, namun di samping itu jika ditarik dalam konteks kehidupan sehari-hari, terdapat relevansi dan urgensi yang patut direnungkan oleh kita sebagai makhluk sosial dan beragama.
Zona merah VS Zona Hitam
Dalam kehidupan sosial dan agama, zona merah sering kali diidentikkan dengan zona hitam. Zona hitam dan merah sama-sama mengacu kepada perbuatan yang dilarang dalam agama. Perbuatan yang dilarang dalam agama mengacu kepada perintah dan larangan.
ADVERTISEMENT
Perintah dan larangan menurut Imam Asy-Syatibi dalam karyanya al-i’tishom, mengacu kepada segala bentuk hukum yang terkait dengan perbuatan dan ucapan manusia. Menurutnya, terdapat tiga bagian. Pertama, hukum yang terkait dengan perintah. Ini berarti hukum yang menyangkut masalah wajib dan sunnah. Kedua, hukum yang terkait dengan larangan. Ini artinya, sesuatu yang dibenci, atau haram untuk dikerjakan. Ketiga, hukum yang terkait dengan pilihan. Maksudnya, hukum yang menjelaskan persoalan pilihan atau mubah.
Mengacu pendapat Imam Asy-Syatibi di atas, mempunyai dampak yang luar biasa terhadap rambu-rambu dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam seluk-beluk kehidupan sosial. Zona merah dalam pergaulan sosial, misalnya, umat beragama dilarang mengunjungi tempat-tempat bermaksiat yang akan menimbulkan jejak hitam di hati.
Jejak hitam di hati, bukan saja akan menimbulkan kotoran batin, tetapi dampaknya akan masuk ke segala arah. Mulai dari kehidupan yang diliputi tidak tenteram, aktivitas yang kurang terkontrol, peluang di depan mata lepas begitu saja, keluarga kurang terurus, pergaulan kurang menghasilkan daya tarik kemanusian sampai kepada kenikmatan beribadah mahdah yang jauh dari rasa nikmat.
ADVERTISEMENT
Ini tidak lain, lantaran manusia melanggar ketentuan perintah dan larangan. Jika ditinggalkan atau dikerjakan akan melahirkan jejak kotoran batin atau menentramkan hati. Kotoran batin, tidak akan hilang jika bukan dengan taubat nasuha sebagai obatnya. Menurut Syekh Muhammad Amin al-Kurdi “Taubat Nasuha” diartikan kembalinya seorang hamba dengan lahir dan batinnya atas pekerjaan yang dilarang dan tidak akan mengulangnya kembali.
Manusia yang bertaubat sepenuh hati, maka tidak akan mengulang kembali apa yang menjadi ketentuan agama itu. Setiap hari, ia akan mencoba menapaki jalan baru yang sesuai dengan perintah dan larangan tersebut. Di sisi lain, ia juga harus memilih, jika terus menerus masuk ke dalam zona merah atau zona hitam, apakah ia tetap mukmin atau justru keluar dari orang mukmin.
ADVERTISEMENT
Ini tentu pilihan yang berat dan tidak semua manusia bisa mengendalikan pilihan itu. Apalagi di era sekarang ini. Pilihan beragama memang terkadang menjadi bulan-bulanan pilihan, jika dikaitkan dengan gaya kehidupan yang semakin hedonis dan berbau duka nestapa dalam meniti karier. Baru-baru ini, misalnya, ada seorang selebritis yang sudah selesai melaksanakan salat tahajud, tidak diduga malah keluar dari agama Islam. Kasus ini, sungguh ironis memang, selepas mendekat kepada Tuhan lewat salat tahajud, bukannya malah meningkat iman dan takwanya. Sebaliknya, malah kembali ke zona merah alias zona hitam, yaitu keluar dari agama Islam yang merupakan agama fitrah manusia.
Dok. Pribadi.
Zona gelap, yang dalam bahasa agama penuh gelimang dosa, maka lawannya adalah cahaya. Muhammad Quraish Shihab menjelaskan dalam bukunya mukjizat al-Qur’an, bahwa lawan dari kata “al-Kufr” dan “al-Iman” dua-duanya terulang masing-masing 17 kali.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks itu, sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syatibi adalah pilihan hukum yang berat. Jika memilih, yang seharusnya tidak dipilih, maka dampaknya luar biasa harus memilih kembali kepada jalan kegelapan, sebagaimana disinggung dalam QS. al-Baqarah ayat 257.
Lalu Hendak Bagaimana
Manusia sebagai makhluk sosial, tidak dapat dipungkiri mempunyai kecendrungan besar bergaul dengan sesamanya. Manusia secara sosiologis tidak dapat hidup sendirian, melainkan ia harus ada dalam kontak sosial. Kontak sosial, minimal bercakap-cakap dengan tetangga sebelah atau lebih jauhnya menyeburkan diri ke dalam komunitas sosial yang mendidiknya untuk bersosialisasi dengan makhluk sosial.
Dok. Pribadi.
Pergaulan sosial, di satu sisi menghubungkan jiwa manusia yang mempunyai sifat dasar ingin berkelompok dan bersosialisasi. Tetapi di sisi lain, tidak sedikit pengaruh pergaulan dapat membawa manusia terjerumus ke dalam zona merah atau zona hitam. Seperti kasus selebritis Nania Idol, yang mengaku taat salat wajib hingga sunnah, mempertanyakan adanya Yesus saat menjalani salat tahajud.
ADVERTISEMENT
Tidak lama setelah pintu kamarnya diketuk tiga kali dan bertemu dengan seorang yang tampan. Sebelumnya, ia Nania kedatangan temannya dan ketika pulang al-Kitab yang dibawa oleh temannya itu ketinggalan di rumah Nania (suara.com, 21 Juni 2021).
Kejadian itu, mengingatkan kita pada sebuah hadis Nabi Muhammad Saw bahwa “setiap manusia yang dilahirkan itu dalam keadaan fitrah, orangtuanya yang akan membuat dia Yahudi, Nasrani, dan Majusi.” Pada kasus ini, yang perlu kita pahami lingkungan pergaulan memegang peran penting dalam mengubah agama, seperti pada kasus Nania di atas.
Dalam hadits Rasullah Saw, “Permisalan teman yang baik dan teman yang buruk adalah ibarat seorang penjual minyak wangi dan seorang pandai besi....” hadits ini memberikan isyarat bahwa teman pergaulan memberikan warna keyakinan. Pada kasus yang lebih jauh, teman yang baik mampu mengarahkan ke jalan cahaya dan menjauhkan ke jalan kegelapan.
ADVERTISEMENT
Agama yang demikian agung tersebut, sudah seharusnya menjadi kompas dalam kehidupan sehari-hari, agar jalan kehidupan tidak masuk ke dalam zona merah atau zona gelap. Dalam sekala yang lebih luas, untuk menjaga cahaya itu, sebaiknya kita selalu terhubung dengan teman dan komunitas atau kelompok sosial yang selalu menghidupkan cahaya itu.
Maka di mana pun kita berada, kita akan terkoneksi dengan pancaran sinyal cahaya kebenaran, yang mengarahkan agar tidak boleh jauh dengan-Nya. Jika satu langkah saja menjauh dari-Nya, niscaya cahaya dan sinyal itu tidak akan sampai kepada kita dan kita dipastikan berada dalam kegelapan, alias zona merah atau zona hitam. Semoga bermanfaat. wallahu a’lam.
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang