Membaca Kehendak Covid-19 dalam Konteks Pembelajaran

Asep Abdurrohman
Pendidik dan Penulis Kehidupan
Konten dari Pengguna
18 Juni 2021 13:28 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Abdurrohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Dok. Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Dok. Pribadi.
ADVERTISEMENT
Sudah hampir 18 bulan Covid-19 melanda dunia. Korbannya tidak palah-pilih, siapa saja yang tidak mengindahkan protokol kesehatan, maka akan berpotensi terkena Virus tersebut. Berbagai negara di dunia disibukkan dengan virus-19 ini. Menurut salah satu sumber, jumlah negara yang sudah menjadi korban virus ini sudah lebih dari 200 negara, termasuk negara Indonesia yang kita cintai ini.
ADVERTISEMENT
Di negara kepulauan Indonesia ini, masyarakat sudah hampir mencapai klimaks merasakan tingkat kebosanan yang mengkerangkeng berbagai macam aktivitas keseharian. Mulai dari aktivitas ekonomi, politik, budaya, seni, pertambangan, pertanian dan pendidikan mengalami dampak yang tidak terduga sebelumnya.
Pendidikan yang sedari awal berada di pundak sekolah, kini pendidikan sepenuhnya hampir berada dalam pengawasan keluarga. Sangat kontras memang, pendidikan yang terjadi selama ini lebih banyak dibebankan kepada pihak sekolah sepenuhnya, tiba-tiba dengan ada pandemi Covid-19, pendidikan ada dalam pengawasan keluarga.
Keluarga Jadi Pilar Utama Pendidikan
Dalam agama, pendidikan anak ada dalam genggaman keluarga. Namun, seiring dengan perubahan cara pandang, pelan tapi pasti, pendidikan hampir sepenuhnya berada di tangan sekolah. Cara pandang ini, menjadi jungkir balik ketika Covid-19 memaksa pendidikan anak ada dalam pengawasan keluarga.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, banyak keluarga yang tidak siap dengan kondisi ini. Alih-alih anaknya yang sekolah, malah orangtua yang kerepotan. Bagaimana tidak, keluarga yang awalnya santai-santai saja, kini harus mendapingi anak belajar online. Belajar online, sebagaimana yang kita tahu, memang membutuhkan perhatian penuh dari orangtua.
Apalagi bagi anak tingkat sekolah dasar, orangtuanya harus sering mengontrol fasilitas belajar. Bagi anak yang ada di daerah perkotaan, tidak terlalu banyak kerepotan harus mengatur fasilitas belajar. Maklum, orangtua di perkotaan sudah banyak melek teknologi informasi. Tetapi, bagaimana dengan orangtua yanga ada di desa. Jangankan memikirkan fasilitas belajar, untuk menutupi biaya hidup sehari-hari saja sangat kerepotan, alias sangat berat.
Banyak orangtua yang mengalami stres berat mengahadapi anaknya belajar online. Begitu juga, banyak anak yang stres dengan cara pembelajaran online. Di sisi lain, pihak sekolah pun mengalami hal sama. Guru-guru harus kerja ekstra, apalagi murid-muridnya banyak belum memiliki HP, laptop dan perangkat belajar lainnya.
ADVERTISEMENT
Selama belajar online, hampir bisa dikatakan tidak efektif bagi anak didik. Meskipun orangtuanya mempunyai fasilitas lengkap untuk belajar online, tetap saja banyak anak-anak di saat jam belajar banyak yang bermain di luar rumah. Ini bisa dilihat dari lingkungan tempat tinggal penulis. Banyak anak-anak yang bermain dengan teman-temannya.
Ada yang bermain sepatu roda, bermain galasin, petak umpet, sepeda dan berbagai permainan lainnya. Kondisi tersebut, berdampak kepada tetangga yang sedang WFH. Maklum, di tempat penulis ada di lingkungan perumahan sederhana. Secara otomatis tetangga yang kerjanya di kantor, sekarang harus dilakukan di rumah.
Pada saat yang sama, anak-anak bermain di luar. Sementara di lain pihak, banyak tetangga yang sedang WFH berbasis daring. Ini tentu sangat mengganggu tetangga yang sedang WFH dengan suara dan jeritan anak-anak yang asyik bermain bersama temannya. Apalagi anak-anak tingkat sekolah dasar yang suaranya masih cempreng. Suaranya seringkali terekam ketika para tetangga melakukan WFH, terlebih, penulis sendiri seringkali kesulitan konsentrasi ketika sedang mengajar online.
ADVERTISEMENT
Keadaan ini, memang tidak bisa disalahkan serta-merta kepada orangtuanya. Maklum saja, orangtuanya masih harus kerja meninggalkan anaknya. Sementara, anaknya diawasi oleh neneknya ketika sedang belajar. Ada yang dititipkan kepada tetangganya untuk menemani belajar.
Ada yang belajar kelompok sesama teman sekolahnya, dan lain sebagainya. Pengawasan yang bukan dari orangtuanya sendiri ketika belajar online, sudah dapat dipastikan tidak sama dengan komitmen pengawasan dari orangtuanya.
Situasi ini, pada satu kondisi mendorong terjadinya konflik antar orangtua. Konflik ini terjadi berawal dari ekspektasi orangtua yang ingin anaknya ditemani mengerjakan PR dari sekolah. Sementara orangtua yang diberikan amanah tidak sepenuhnya melaksanakan keinginan dari orangtua anak itu, karena masih harus mengerjakan tugas lain. Secara otomatis, pintu konflik terbuka lebar. Dan ujung-ujungnya tidak menitipkan lagi kepada tetangga itu, karena kapok seperti kejadian kemarin.
ADVERTISEMENT
Ini lain cerita, jika pemerintah betul-betul menanggung beban masyarakat untuk tetap di rumah, namun itulah realitanya, pemerintah belum mampu menjamin masyarakatnya ketika memberikan kebijakan harus tetap di rumah demi menjaga kesetabilan negara dari amukan Virus-19.
Tetapi, selaku bagian dari masyarakat, penulis sadar betul bahwa pemerintah sangat berat jika harus menanggung biaya hidup masyarakat selama pandemi. Terlebih negara sudah banyak hutang, yang jumlahnya sudah ribuan triliun itu.
Pihak yang direpotkan bukan hanya, orangtua saja, namun bagi sekolah dan pemerintah pun mengalami hal sama. Pihak sekolah, sudah maklum, menjadi pihak yang harus bertanggung jawab di samping pemerintah. Sekolah, harus mengatur strategi bagaimana mengatur guru-gurunya agar mempunyai semangat mengajar di tengah ancaman terpapar Covid-19.
ADVERTISEMENT
Tidak sedikit, orangtua yang tidak mampu membeli HP dan laptop untuk belajar, gurunya terpaksa harus datang ke rumah muridnya. Kerja seperti ini, tentu membutuhkan keikhlasan tinggi, meskipun guru bergaji kecil khususnya untuk guru swasta. Ada lagi, guru yang harus rela didatangin murid yang datang bersama orantuanya untuk menanyakan soal belajar anaknya.
Keadaan ini, pada gilirannya berdampak ada kenyamanan keluarga sang guru, bahkan membuat guru tersebut harus mengalami keributan kecil dengan keluarganya. Dalam kontek lain, ada juga sekolah yang memberlakukan pola pembelajarannya kerjasama dengan paguyuban orangtua murid. Di mana, paguyuban menjadi media sekolah untuk memberikan tugas-tugas belajar kepada orangtua siswa yang lainnya.
Lalu harus Bagaimana
Pola pembelajaran di masa pandemi, memang mengharuskan menggunakan pembelajaran online. Pembelajaran seperti ini, mengharuskan semua pihak harus bekerja sama dengan baik. Bagi pihak pemerintah, tentu harus memfasilitasi berbagai kebutuhan.
ADVERTISEMENT
Mulai dari kebutuhan kuota belajar gratis, pengadaan HP, pengadaan laptop, wifi, melatih tenaga pendidik tentang blended learning, membolehkan pemakaian dana BOS untuk biaya oprasional pembelajaran, tayangan pendidikan lewat TV, sampai pada kebijakan segera membuka Pembelajaran Tatap Muka (PTM).
Bagi sekolah, setali tiga uang, sama-sama mempunyai beban besar. Bagaimana sekolah harus melakukan evaluasi KBM, menyakinkan guru-guru tetap semangat mengajar, mengaji guru-guru meskipun keadaan ekonomi dalam keadaan minus, mencari peluang lain yang memungkinkan kelancaran KBM dan berbagai usaha lainnya untuk proses KBM yang bisa memberikan kelancaran. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah tetap bersandar kepada Tuhan agar dalam mengambil kebijakan dan arahan diberikan kekuatan, baik kekuatan mental maupun kekuatan spritual.
Begitu juga bagi orangtua siswa, harus bisa bersinergi dengan sekolah untuk sama-sama menguatkan mental dan motivasi kepada anak-anaknya agar apapun yang terjadi dalam mengelola kebijakan pendidikan di masa pandemi bisa diterima dengan lapang dada. Selama kebijakan itu tidak mengkerdilkan kemanusiaan yang asasi. Semoga pandemi global cepat berlalu dan meninggalkan para korbannya dalam keadaan pulih kembali dari derita yang pernah diidapnya. Aamiin.Wallahu a'lam.
ADVERTISEMENT
Penulis adalah Dosen Universitas Muhammadiyah Tangerang