Menakar Klaim PGRI Terhadap POP Kemendikbud

Asep Rudi Nurjaman
Dosen UPI Kampus di Cibiru, Ketua Yayasan Bintang Cendikia Al Muhyidin
Konten dari Pengguna
8 Agustus 2020 10:25 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Rudi Nurjaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi program pendidikan Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi program pendidikan Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Bukan Mas Nadiem kalau tidak melakukan gebrakan dalam memajukan pendidikan di Indonesia. Setiap kebijakannya selalu tegas meski syarat kontroversial. Jiwa muda dan semangat juang yang tinggi semoga tidak membutakan mata dan mentulikan telinga untuk selalu membuka telinga atas saran dan masukan dari masyarakat yang punya kepedulian terhadap masa depan pendidikan di Indonesia. Terutama masukan dan saran dari salah satu organisasi terbesar dan tertua di Indonesia yaitu PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia).
ADVERTISEMENT
Sebagai jiwa yang memiliki latar belakang pengusaha sukses dengan ide bisnis online nya, Nadiem cukup mahir dalam
mengelola konflik dan selalu melangkah dengan penuh optimis sehingga apapun yang menjadi perbedaan terhadap sikap kontroversialnya dalam menggulirkan kebijakan selalu dihadapi dengan senyuman dan telinga dingin.
Mas Nadiem adalah orang yang paling beruntung karena memiliki kesempatan untuk menjadi Menteri di era kepemimpinan Presiden Jokowi jilid-2. Padahal Indonesia memiliki banyak tenaga Dosen, Profesor Pendidikan, dan Guru Besar Pendidikan yang tentunya dari segi akademik memiliki integritas, kapasitas dan kualitas untuk mengelola pendidikan Indonesia. Begitulah politik terkadang apa yang seharusnya baik menurut teori tetapi di lapangan yang terjadi bisa berbeda.
Jika karena keberhasilannya dalam mengelola bisnis online menjadi ukuran bahwa Mas Nadiem akan mampu membangun dan memajukan pendidikan Indonesia sungguh sangat ironi politik di Indonesia ini. Sebagai orang nomor satu yang menangani dunia pendidikan dan tentunya akan diminta pertanggungjawaban kepada masyarakat Indoensia serta di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, maka sikap bijaksana dan rendah hati harus ditunjukan oleh Mas Menteri. Dengan langkah PGRI mengundurkan diri dari POP harus segera disikapi dan dipertimbangkan oleh Pemerintah karena hal tersebut akan berdampak terhadap roda pemerintahan dalam melaksanakan program-program pendidikan yang digulirkan melalui kebijakan Pemerintah.
ADVERTISEMENT
Seperti yang dikutip penulis dari PR (25 Juli 2020), Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Unifah Rosyidi menyatakan bahwa PGRI tidak bergabung dalam Program Organisasi Penggerak (POP) yang diinisiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Ada beberapa alasan yang disampaikan terkait pengunduran diri PGRI dari POP, di antaranya: Pertama, alokasi anggaran untuk POP yang mencapai setengah triliun lebih rupiah itu bermanfaat apabila untuk membantu siswa, guru atau honorer. Kedua, terkait pertanggungjawaban penggunaan anggaran harus lebih hati-hati dan harus berdasarkan standar akuntansi pemerintah. Ketiga, kriteria pemilihan dan penetapan peserta program organisasi penggerak tidak jelas.
PGRI yang seharusnya menjadi mitra strategis pemerintah dan pemerintah daerah kini menjadi rival dalam perbedaan pendapat terhadap kebijakan POP yang digulirkan pemerintah. Semestinya, pemerintah harus mempertimbangkan klaim PGRI sebagai organisasi guru tertua yang sangat berpengalaman dalam mengatasi persoalan terkait sistem pendidikan di Indonesia. Bukan malah sebaliknya, kebijakan yang digulirkan tidak mendapat dukungan dari PGRI sebagi organisasi yang menyampaikan aspirasi para guru di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Prioritas Arah Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Indonesia dianggap masih belum mengalami kemajuan yang signifikan. Bahkan banyak penelitian yang menyampaikan SDM Indonesia belum mampu mengimbangi perkembangan zaman. Jumlah pengangguran tiap tahunnya terus meningkat, bukan lagi lulusan SD/MI, SMP/MTs, SMA/SMK bahkan banyak juga lulusan sarjana yang menganggur. Miris melihat dan mendengarnya jika di lapangan ada seorang lulusan sarjana yang menjadi sopir Gojek Online. Jika untuk menjadi sopir Gojek yang harus memiliki kemampuan berkendara motor dengan safety, buat apa harus sekolah tinggi-tinggi.
Bukan maksud untuk merendahkan profesi sopir Gojek online namun dari segi profesionalitas bidang pekerjaan tersebut tidak cocok dan tidak layak untuk para penerus bangsa yang dicetak sebagai ilmuan dan terpelajar. Mari kita kembali kepada tujuan pendidikan Indonesia yang secara umum untuk mengantarkan masyarakat Indonesia mencapai hidup yang sejahtera selain berakhlak dan bermartabat. Prioritas arah pendidikan Indonesia saat ini harus memanusiakan manusia.
ADVERTISEMENT
Komitmen Merdeka Belajar
Gebrakan untuk menggaungkan “Merdeka Belajar” harus benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Jika sistem pendidikan dirasakan masih menyulitkan masyarakat, perencanaan pendidikan yang tidak jelas, proses pendidikan dipandang sederhana dan mudah, bentuk evaluasi pendidikan yang tidak mampu mengukur keberhasilan proses pendidikan, dan lebih bahaya lagi jika pendidikan hanya dipandang sebagai proses mencerdaskan manusia. Padahal pendidikan itu sendiri mencakup segala aspek kehidupan manusia. Ilmu dan pengalaman selama proses pendidikan harus mampu menjadi bekal manusia dalam menjalani kehidupan dan berkehidupan sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan.
Berbeda pendapat itu hal biasa, tetapi salah dalam mengambil kebijakan akan menjadi awal kehancuran khususnya untuk masa depan pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia adalah tanggung jawab seluruh warga masyarakat Indonesia. Apa yang dilakukan oleh Negara-negara lain yang dipandang maju dalam mengelola pendidikan belum tentu semua itu baik untuk diterapkan di Indonesi. Indoensia harus bisa menjadi Negara yang berbeda dan tidak selalu harus mengekor kepada model pendidikan di Negara luar. Indonesia adalah Indonesia dengan keragaman dan kebhinekaan sebagai kekayaan Bangsa Indonesia.
ADVERTISEMENT
Asep Rudi Nurjaman_Dosen Kampus UPI Cibiru