Antisipasi 'Lost Generation'

Asep Totoh
Guru SMK Bakti Nusantara 666, Dosen Masoem University, Guru SMP Pasundan Rancaekek
Konten dari Pengguna
14 Februari 2021 6:32 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi COVID-19. Foto: Dado Ruvic/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi COVID-19. Foto: Dado Ruvic/Reuters
ADVERTISEMENT
SEJAK kasus pertama COVID-19 ditemukan pada awal Maret 2020 lalu, dampak sangat luar bisa terasa bagi dunia pendidikan kita. Kegiatan belajar mengajar di sekolah tidak berjalan normal dan terpaksa dilakukan dengan cara virtual. Bahkan, sebagian sekolah di wilayah terpencil yang tidak terdapat akses internet, sebagian mereka tidak bisa melakukan kegiatan belajar mengajar.
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 yang hampir setahun di Tanah Air ini, memang sangat berdampak cukup besar juga pada sektor pendidikan. Banyak pihak menilai jika ketidaksigapan dan ketidakmampuan dalam menata pendidikan di era pandemi saat ini, dianggap sangat berbahaya.
Yang sangat dikhawatirkan saat ini adalah hilangnya generasi unggul Indonesia lantaran ketidakmampuan dalam menanganinya. Banyak para pakar menyatakan jika akibat sistem pendidikan yang tidak siap dan tidak sigap dalam menghadapi pandemi COVID-19, membuat Indonesia akan lost generation.
Istilah lost generation awalnya ditujukan untuk kelompok sosial yang mengalami kebingungan dan kehilangan arah pada awal pasca Perang Dunia I. Sekarang, istilah ini, kerap terdengar digunakan di masa pandemi COVID-19.
Alasan utama adalah jika pendidikan anak-anak yang sedang tumbuh kembang tidak terfasilitasi dengan baik, fenomena 'lost generation' benar-benar akan menjadi kenyataan.. Sejumlah efek negatif alias dampak buruk yang dapat terjadi ketika siswa terlalu lama belajar secara daring (online) di rumah. Salah satunya, siswa dapat putus sekolah karena pembelajaran daring dianggap tidak maksimal.
ADVERTISEMENT
Dampak negatif lainnya adalah pencapaian belajar siswa menurun karena pembelajaran jarak jauh tidak optimal dalam pencapaian belajar siswa. Saat ini terjadi kesenjangan kualitas antara yang punya akses ke teknologi dan yang tidak makin besar. PJJ secara daring, jelas menghadirkan persoalan bagi peserta didik. Selain soal jaringan internet, tidak sedikit peserta didik dari keluarga miskin juga belum memiliki ponsel atau laptop.
Bukankah, pemerintah telah memproyeksikan program menyongsong generasi emas 2045. Peta jalan menuju terwujudnya generasi emas tepat pada saat bangsa Indonesia merayakan hari ulang tahun kemerdekaan (HUT) ke-100 RI yang tengah dirancang. Pada 2045 itulah negeri tercinta akan menikmati bonus demografi. Generasi emas usia produktif yang berkarakter, berkompeten, dan berliterasi tinggi berlimpah.
ADVERTISEMENT
Fenomenanya jika tantangan sosial ekonomi masih menjadi ancaman bagaimana potensi generasi muda dari “bonus” ini justru tidak termanfaatkan. Kekecewaan dan keterpinggiran karena tingginya ketimpangan ekonomi, minimnya kesempatan kerja, rendahnya kualitas pendidikan dan daya saing, bisa memberikan tekanan psikologis yang mendorong mereka membebani struktur masyarakat dengan rendahnya produktivitas dan tingginya konsumsi (Harmadi 2015, Hayes & Setyonaluri, 2015).
Seakan ingin menjawab tantangan ini, pemerintah pun telah mengevaluasi dan menerbitkan panduan tentang PTM. Namun, karena pandemi COVID-19 belum menunjukkan tanda-tanda melandai, semua pihak harus menempatkan kesehatan dan keselamatan jiwa peserta didik menjadi prioritas.
Kondisi nyata jelas berbeda ketika sekolah dilakukan dengan pembelajaran tatap muka, dan bersamaan dengan efektivitas PPKM skala mikro sampai dengan tanggal 22 Februari mendatang maka harus dievaluasi pula dampak dari lemahnya sektor pendidikan. Sebab, jelas mengakibatkan anak-anak terancam dan masih ada yang tidak mendapatkan fasilitas dan layanan pendidikan dengan baik.
ADVERTISEMENT
Walaupun metode daring menjadi solusi untuk pendidikan kognitif (otak), namun bagaimana sisi afektif (kejiwaan), dan sisi keterampilan (skill) maka efektivitas metode daring dipertanyakan dan perlu dikaji ulang. Misalnya saja pola pembelajaran yang berbeda bagi anak-anak atau peserta didik SMK yang menuntut kegiatan pembelajaran praktik karena berbasis keterampilan (skill).
Kerinduan dan keinginan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) dengan protokol kesehatan (prokes) yang ketat pun menjadi opsi yang diperbincangkan masyarakat dengan membandingkan pasar-pasar atau mal yang boleh buka.
Ilustrasi Lost Generation Akibat PJJ, Foto; Shutterstock
Sangat penting juga peran orang tua dan sekolah, para orang tua harus dapat bermitra dengan guru untuk menyukseskan pendidikan anak. Selain harus memiliki seperangkat pengetahuan tentang mendidik dan mengasuh anak-anak, para orang tua harus mengondisikan rumah layaknya sekolah.
ADVERTISEMENT
Mari peduli dengan pendidikan buah hatinya, semangat ‘rumahku sekolahku' (baitiy madrasatiy) akan menjadikan anak-anak penuh semangat, tidak mengalami kejenuhan dan memiliki solusi dalam kesulitan belajarnya.
Masalahnya terbesar adalah ketidaksiapan sebagian orang tua menggantikan posisi guru dalam proses belajar mengajar anak. Bahkan, pada awal pandemi, banyak orang tua tertekan dan mengalami kejenuhan. Mereka tertekan karena tidak siap mendampingi pendidikan anak-anak seiring adanya kebijakan belajar dari rumah (BDR).
Kondisi nyata saat ini, jika keluarga atau orang tua ada yang tidak well educated, maka kebijakan PJJ atau belajar di rumah menghadirkan masalah. Kendala selanjutnya, bukan hanya kesiapan mendidik dan mengasuh anak, namun mereka juga memiliki keterbatasan sarana penunjang PJJ.
Pandemi COVID-19 nyata adanya dan menjadi sunnatullah yang tidak bisa dihindari, dan sebagai insan beragama ikhtiar dan tawakal harus tetap dilakukan untuk menyelematkan generasi mendatang dari konsekuensi yang mengerikan bagi anak-anak jika pandemi ini terus berlarut.
ADVERTISEMENT
** Asep Totoh - Dosen Ma'soem University, Kepala HRD Yayasan Pendidikan Bakti Nusantara 666 Cileunyi Kab. Bandung.