Keteladanan Pemimpin

Asep Totoh
Guru SMK Bakti Nusantara 666, Dosen Masoem University, Guru SMP Pasundan Rancaekek
Konten dari Pengguna
20 Oktober 2020 6:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
PILKADA 2020 akan memberikan jawaban siapa pun yang "ditakdirkan terpilih" nanti sebagai pemimpin daerah adalah pemimpin berkualitas, saat pandemi COVID-19 melanda dunia dan seluruh daerah di Indonesia maka para pemimpin pun akan terseleksi.
ADVERTISEMENT
Menjadi pertanyaan utama adalah Karakteristik, Kualitas dan Keteladanan Pemimpin nanti yang "ditakdirkan" terpilih. Apakah sesuai dengan harapan para pemilihnya dan membuktikan janji-janjinya semasa kampanye?
Mengutip seorang novelis Brasil, Paulo Coelho turut mengungkapkan sebuah misteri dalam kepemimpinan. Ia menyatakan bahwa kriteria seseorang agar dapat menjadi pemimpin bagi masyarakat ialah, "mereka sudah harus selesai dengan diri sendiri". Ia melanjutkan bahwa seseorang yang ingin menjadi pemimpin harus selesai dengan dirinya sendiri dalam hal materi, sosial dan afektif.
Orang yang telah selesai secara materi cenderung akan jauh dari praktik yang hanya ingin mencari keuntungan pribadi dan memperkaya kelompok atau golongan sendiri, mereka akan terhindar dari perilaku koruptif dan akan memusatkan konsentrasi pada upaya menyelamatkan rakyatnya. Jika seorang telah selesai secara sosial, ia tidak akan anti terhadap kritik. Mereka menjalankan kepemimpinan dengan tulus dan mengabdi sepenuh hati bagi kepentingan banyak orang.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya pemimpin yang telah selesai secara sosial, tidak membutuhkan pujian, sanjungan, pengakuan, penghormatan atau ingin dikenal orang ketika menjalankan tugas sebagai pemimpin. Dengan demikian mereka akan lebih terbuka terhadap kritikan bahkan hinaan yang dilayangkan oleh kawan maupun lawan kepadanya. Kemudian pemimpin yang telah terpenuhi kebutuhan sosialnya akan melahirkan pemimpin yang lebih rendah hati. Pemimpin yang telah selesai secara afektif pun akan menjalankan kepemimpinan sebagai sebuah tanggungjawab. Oleh karena urusan mencintai dan dicintai serta segala urusan lain yang berkaitan dengan perasaan (sense) tidak lagi menjadi dorongan utama baginya. Ia melaksanakan tugasnya dengan penuh pengorbanan bahkan mengorbankan keluarga maupun orang yang dicintainya demi kepentingan umum (bersama).
Ilustrasi Pemimpin; Foto Shutterstock
Jika membaca dan mengutip kembali kisahnya Khalifah Umar Bin Khatab, bagaimana saat itu menjelang wafat khaliafah Abu Bakar ash-Shiddiq meminta para sahabat untuk memilih calon penggantinya nanti. Pilihan pun jatuh kepada Umar Bin Khatab, sedangkan beliau meminta untuk tidak mau jadi khalifah dan jangan memilihnya.
ADVERTISEMENT
Hari itu adalah hari pengangkatannya sebagai khalifah, menggantikan Abu Bakar ash-Shiddiq yang telah wafat. Wajah Umar bin Khattab terlihat murung, ekspresinya menggambarkan seseorang yang terkena musibah dan menanggung beban amat berat. Tidak terlihat wajah kegembiraan terkait terpilihnya beliau sebagai khalifah dan Itu terlihat dari pidatonya.
Sungguh luar biasa kisah itu selain tidak ada yang lebih membebani pikiran Umar selain bagaimana melaksanakan amanah kepemimpinan ini dan mempertanggungjawabkannya di hadapan Allah kelak. Suatu pemandangan yang tidak biasa kita lihat bahwa ada seseorang yang terpilih menjadi penguasa, namun merasa ketakutan dan bersedih. Kondisi sebaliknya justru yang sering kita lihat saat ini, seseorang yang terpilih sebagai penguasa terlihat sangat senang dan merasa bersyukur atas keterpilihannya.
ADVERTISEMENT
Sesungguhnya amanah kepemimpinan adalah sesuatu yang sangat berat.
Senyatanya bukankah tanggung jawab seorang pimpinan terhadap rakyatnya adalah menjamin semua urusan individu rakyatnya terpelihara dengan baik. Umar bin Khattab sangat khawatir jika sampai ada keledai yang terjatuh di jalanan akibat jalan yang berlubang. Karena itu, ia segera memperbaikinya.
Keadilan dan kesederhanaan adalah hal yang melekat pada sosok kepemimpinan Umar bin Khatab. Di saat penguasa lain tinggal di istana dengan singgasana dan kehidupan yang mewah, Umar hidup di rumah sederhana di antara gang-gang kecil dengan pakaian sederhana.
Umar pun sangat berhati-hati dalam membelanjakan harta negara. Dia mematikan lampu minyak di ruangan kantornya, ketika anaknya mengunjunginya di malam hari untuk membicarakan masalah keluarga. Umar sungguh khawatir dia menghabiskan minyak lampu yang berasal dari uang rakyat ketika sedang membicarakan masalah pribadi bersama anaknya.
ADVERTISEMENT
Jelaslah, sikap penguasa yang amanah terlahir dari keimanan yang kuat. Sebagai salah satu sahabat yang telah dijamin Rasulullah SAW masuk surga, kekuatan iman Umar tidak diragukan. Setiap malam sebelum tidur, dia selalu menghisab dirinya atas apa yang sudah dilakukannya sepanjang hari. Umar berkata, "Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, dan berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk akhirat (yaumul hisab)."
Khalifah Umar Bin Khatab telah mengajarkan kepada kita semua, kepada para pemimpin dan calon penguasa, untuk senantiasa berpegang teguh pada aturan yang telah digariskan dalam menjalankan roda kepemimpinan.

Asep Totoh - Dosen Ma'soem University, Kepala HRD Yayasan Pendidikan Bakti Nusantara 666