Relasi Jati Diri Santri

Asep Totoh
Guru SMK Bakti Nusantara 666, Dosen Masoem University, Guru SMP Pasundan Rancaekek
Konten dari Pengguna
17 September 2021 3:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Untuk sebagian orang, kata santri adalah ungkapan yang seringkali diidentikkan dengan kekolotan bahkan suatu sikap kuno. KH Saifuddin Zuhri (2012) memberikan sebuah konstruksi tentang siapa sebenarnya santri, seperti yang dituturkan dalam bukunya “guruku orang-orang dari pesantren” :
ADVERTISEMENT
Para santri adalah anak-anak rakyat, amat paham tentang arti kata rakyat, paham benar tentang kebudayaan rakyat, tentang keseniannya, agamanya, jalan pikirannya, cara hidupnya, semangatnya, dan cita-citanya, suka dukanya, tentang nasibnya, dan segala lika liku hidup rakyat, santri lahir dari sana, demikian mereka hidup, dan lalu mati pun disana pula,…. Sebab itu…, para santri dan kiai sangat paham tentang arti hidup dalam penjajahan.
Kata santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti (1) orang yg mendalami agama Islam; (2) orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh (orang yg saleh); (3)Orang yang mendalami pengajiannya dalam agama islam dengan berguru ketempat yang jauh seperti pesantren dan lain sebagainya.
Dari segi metode dan materi pendidikan, pemaknaan kata ‘santri’ pun dapat dibagi menjadi dua. Ada ‘Santri Modern’ dan ada ’Santri Tradisional’, seperti halnya juga ada pondok modern dan ada juga pondok tradisional. Sedangkan dari segi tempat belajarnya, ada istilah ‘santri kalong’ dan ‘santri mukim’. Santri kalong adalah orang yang berada di sekitar pesantren yang ingin menumpang belajar di pondok pada waktu-waktu tertentu tanpa tinggal diasrama pesantren. Sedangkan santri mukim ialah santri yang menuntut ilmu di pesantren dan tinggal di asrama pesantren (kobong).
ADVERTISEMENT
Mengutip Gus Ach Dhofir Zuhry (2018) dalam bukunya "Peradaban Sarung" menjelaskan bahwa santri merupakan adaptasi dari tradisi cantrik Hindu yaitu “shastri” yang dalam bahasa Sanskerta berarti orang yang mempelajari Shastra (Kitab Suci) di pe-shastri-an atau pesantren. Atau santri juga merupakan gabungan dari huruf Arab Sin, Nun, Ta’, Ra’, dan Ya’ yang menyimpan makna tersendiri dibalik huruf-huruf keramat tersebut.
Sin artinya Salik ilal-Akhirah (menempuh jalan spiritual menuju akhirat). Santri meyakini bahwa sejarah manusia bukan di bumi, kerajaan manusia bukan di dunia, kebahagiaan haqiqi manusia bukan di dunia, tapi di akhirat. Sehingga apa pun yang ditempuh dan diperjuangkan santri, semata demi kebahagiaan di akhirat kelak. Tak penting sebuah popularitas dan menjadi pusat perhatian di bumi, tak mengapa tak terkenal di bumi tapi yang penting terkenal di langit. Oleh karena itu, santri lebih memillih jalan sunyi daripada publisitas. Maka, filosofi pertama dari kaum sarungan adalah orientasi hidupnya jelas, tidak zigzag dan miring.
ADVERTISEMENT
Nun maknanya Na-ib ‘anil-masyayikh (penurus para guru). Filosofi yang kedua yaitu kaderisasi yang dilakukan oleh para kiyai agar santri-santri mereka kelak menjadi estafet perjuangan para guru dan leluhur. Tak ada yang mengungguli para santri dalam hal adab mengagungkan dan memuliakan guru. Inilah mengapa ikatan emosional para santri dengan kiyai dan guru-guru mereka sangat mengakar dan mengkristal hingga jasad berkalang tanah. Biasanya, santri belum boleh pulang dari pesantren sebelum mumpuni ilmu, etos, dan karakternya agar kelak bisa menggantikan sang kiyai.
Ta’ maksudnya adalah Tarik ‘anil-Ma’ashi (meninggalkan maksiat). Dengan demikian, filosofi yang ketiga kaum santri adalah selalu bertobat melakukan penyucian rohani dengan cara menjalani hidup sederhana dan menjauhi dosa-dosa. Dosa-dosa tersebut diantara lain yang pertama adalah dosa intelektual, yakni kebodohan dan atau memperjualbelikan ilmu dan agama. Yang kedua yaitu dosa sosial, dalam arti tidak peduli dan peka terhadap lingkungan sekitar. Yang ketiga yaitu dosa spritual, dosa karena tidak menjalani hidup asketik (zuhud), sederhana dan bersahaja, menjauhi gemerlap, pukau, pesona dan tipu daya dunia.
ADVERTISEMENT
Ra’ akronim dari Raghib ilal-Khayr (selalu menghasrati kebaikan). Filosofi yang keempat ini kian mempertegas posisi santri sebagai pribadi yang lebih menomorsatukan kebaikan daripada keburukan. menyampaikan kebeneran dengan cara-cara yang baik dan santun. Karena lazimnya seseorang bukan tidak mau menerima kebenaran, tapi karna kebenaran itu dibungkus dengan tidak baik, sehingga ia sulit untuk menerimanya.
Ya’ adalah singkatan dari Yarjus-Salamah (optimis terhadap keselamatan). Filosofi kelima dari santri adalah selalu optimis menjalani hidup dan mengharap keselamatan di dunia pun lebih-lebih kelak di akhirat. Santri tak sekedar optimis dalam pikiran, tapi optimisme dibarengi dengan tindakan nyata. Sebabnya apa? Karena teramat banyak kegagalan umat manusia karena bertindak tanpa berpikir dan atau sebaliknya berpikir tanpa bertindak.
ADVERTISEMENT
Lima falsafah santri yang mencerminkan diri sebagai pribadi yang memiliki kejelasan orientasi hidup, menjadi penerus para guru, meninggalkan maksiat, cenderung menghasrati kebaikan, dan senantiasa optimis akan keselamatan dunia-akhirat merupakan pedoman hidup kaum sarungan yang akan terus dibawa dan dibela sampai mati. Artinya walau kita tidak pernah belajar secara resmi di Pesantren, namun jika kita memiliki kelima prinsip tersebut dan sungguh-sungguh kita yakini-hayati untuk kemudian diamalkan dalam keseharian, maka kita adalah santri
Pun mengutip definisi Santri Menurut K.H. Ma’ruf Amin saat menjabat sebagai Rais ‘Aam PBNU menegaskan, sebutan santri bukan hanya diperuntukkan bagi orang yang berada di pondok pesantren dan bisa mengaji kitab. Namun, santri adalah orang-orang yang meneladani para kiai. “Santri adalah orang-orang yang ikut kiai, apakah dia belajar di pesantren atau tidak, tapi ikut kegiatan kiai, manut (patuh) kepada kiai. Itu dianggap sebagai santri walaupun dia Santri adalah orang-orang yang ikut kiai, apakah dia belajar di pesantren atau tidak, tapi ikut kegiatan kiai, manut (patuh) kepada kiaitidak bisa baca kitab, tapi dia mengikuti perjuangan para santri.
ADVERTISEMENT
Maka menjadi santri, mondok atau tidak mondok di pesantren. Paling utama adalah takzim kepada Kiai dalam menempuh dan mengamalkan ilmu demi masa depan dunia dan akhirat. Menjadi Santri, harus berguna memperbaiki diri dan bangsa ini dengan terus dan selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT, melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya menjadi hal yang pasti.
Ilustasi Santri, foto; kumparan doc.istimewa
Alhasil, senyatanya ketika perbuatan kita mencerminkan jati diri 'Santri' yang menjalani kehidupannya dengan perpaduan antara urusan dunia dan akhirat maka itu yang akan membuat haqul yakin bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang kaya raya, adil makmur, dan diridhoi oleh Allah SWT.
Walaupun tidak nyatri dan mesantren, memahami jati diri santri sebagai sebuah upaya untuk mencari jati diri manusia, untuk menjadi manusia yang paripurna (insan kamil).
ADVERTISEMENT
Teruslah berbuat baik, karena kebaikan itu menular
Oleh:
Asep Totoh - Dosen Ma'soem University, Kepala HRD Yayasan Pendidikan Bakti Nusantara 666