Sang Pemimpin

Asep Totoh
Guru SMK Bakti Nusantara 666, Dosen Masoem University, Guru SMP Pasundan Rancaekek
Konten dari Pengguna
25 Februari 2021 6:09 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi salat Tarawih. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi salat Tarawih. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Para calon pemimpin, di awal kampanyenya hadir mengenalkan diri sebagai pemimpin terbaik yang layak dipilih masyarakat untuk membawa, agama, bangsa, dan negara maju dan makmur di masa depan.
ADVERTISEMENT
Jika ditakdirkan terpilih jadi seorang pemimpin maka dia harus membuktikan janji-janjinya dan mempertanggungjawabkan jabatannya sebagai pemimpin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tanggung jawab ini akan menjadi berat, karena hakikat kepemimpinannya memiliki dua dimensi.
Pertama adalah pertanggungjawabannya kepada Allah SWT. Dan kedua pertanggungjawaban yang harus disampaikan pada orang-orang yang dipimpinnya.
Keberhasilan dari sebuah kepemimpinan adalah kemampuannya memberikan perubahan positif bagi lingkungannya. Sebagai pemimpin harus mampu berpikir bagaimana menghadapi dan memenangi suatu perubahan. Kapabilitas seorang pemimpin merupakan tonggak suksesnya masyarakat atau sebuah organisasi maupun tim dalam meraih tujuan bersama.
Ilustrasi Pemimpin, Foto: pixabay
Fungsi paling mendasar pemimpin dalam pemerintahan adalah untuk menjaga rakyatnya tetap aman; aman dari berbagai macam bahaya. Misalnya, bahaya kelaparan, bahaya kebodohan, bahaya serangan teroris, bahaya banjir, dan berbagai macam bahaya yang mengancam ketentraman dan jiwanya.
ADVERTISEMENT
Pengalaman dari beberapa kejadian bencana di Indonesia, bahwa masyarakat terdampak bencana mampu melewati masa-masa kritisnya  tidak terlepas dari kehadiran seorang pemimpin untuk menghentikan situasi krisis.
Bagaimana kehadiran Sang Pemimpin akan menjadi sorotan dalam berbagai bencana yang terjadi akhir-akhir ini. Misalnya saja ketika saat ini banjir terjadi di mana-mana, masalah yang rutin di setiap musim hujan, apalagi di ibu kota Jakarta atau di beberapa daerah lainnya. Maka pikiran, mata, dan telunjuk kita cenderung kepada para pemimpin. Bahkan tak jarang dengan terang-terangan kita menuding sampai merundung gubernur, bupati, atau wali kota sebagai orang yang paling bertanggung jawab.
Maka yang paling awal dipertanyakan publik adalah apakah sang pemimpin tidak sanggup memikul beban kekuasaan yang diemban atau yang memang tidak amanah dalam menjalankan jabatannya. Maka dua hal penting opini dan kritik publik adalah pertama terkait dengan inkompetensi atau ketidakmampuan, dalam berbagai aspeknya, dan yang kedua terkait dengan unaccountability atau tidak bertanggung jawabnya seorang pemimpin.
ADVERTISEMENT
Pejabat publik atau pemimpin harus siap menerima keluh kesah, pendapat, di kritik bahkan caci maki juga. Paling utama adalah bagaimana pemimpin bisa menjadi teladan masyarakatnya bukan sebaliknya muncul ketidakpercayaan publik akibat apa yang dijanjikan, atau yang disampaikan berbeda dengan kenyataan.
Mengutip Prof Ahmad Syalaby dalam buku 'Masyarakat Islam' (1961). Dia menyebutkan pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, umat Islam di sekitar Madinah ditimpa bencana kelaparan yang telah menyebabkan wabah penyakit dan kematian. Kelaparan dan penderitaan rakyat itu dirasakan oleh Umar sebagai penderitaan bagi dirinya.
Karena itu, beliau bersumpah tidak akan mengecap daging dan minyak samin. ''Bagaimana saya dapat mementingkan keadaan rakyat, kalau saya sendiri tiada merasakan apa yang mereka derita,'' begitu kata Khalifah Umar yang amat berkesan pada waktu itu.
ADVERTISEMENT
Hal berbeda, Umar bin Khathab pernah berkata, ''Kalau negara makmur, biar saya yang terakhir menikmatinya, tapi kalau negara dalam kesulitan biar saya yang pertama kali merasakannya.'' Sampai seorang sahabat pernah berkata, bila Allah tak segera mengakhiri bencana itu, maka Ali adalah orang pertama yang mati kelaparan.
Maka, betapa tak terpujinya para pemimpin yang hanya berorientasi melanggengkan kekuasaan dan melupakan penderitaan rakyatnya.
Alhasil, para pemimpin dan para penguasa, keniscayaannya untuk senantiasa berpegang teguh pada aturan yang telah digariskan dalam menjalankan roda kepemimpinannya.
** Asep Totoh-Dosen Ma'soem University, Kepala HRD Yayasan Pendidikan Bakti Nusantara 666.