news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

COVID-19 dan Pemulihan Ekonomi Indonesia

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
7 Juli 2020 8:35 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bank Indonesia @Bisnis/Abdullah Azzam
zoom-in-whitePerbesar
Bank Indonesia @Bisnis/Abdullah Azzam
ADVERTISEMENT
Kontekstualitas
Pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh dunia menyebabkan disrupsi besar-besaran terhadap roda bisnis dan ekonomi di hampir seluruh negara, termasuk Indonesia.
ADVERTISEMENT
Beberapa wilayah yang menerapkan PSBB mengalami dampak yang lebih signifikan dibanding wilayah yang tidak tergolong dalam zona merah atau wilayah terdampak paling besar.
Implikasi dari disrupsi menyebabkan permasalahan ekonomi yang sangat besar termasuk terganggunya arus transaksi-barang dan jasa. Industri besar dan kecil juga turut merasakan akibat ekonomi dari pandemi Covid-19 tersebut.
Pemetaan akibat dari Covid-19 akan menyebabkan pendapatan berkurang dan daya beli masyarakat rendah. Selain itu akan terjadi perlambatan arus peredaran uang dalam pasar.
Kondisi seperti tentunya berdampak sangat serius terhadap kesejahteraan masyarakat. Masyarakat yang memiliki tabungan yang cukup akan mampu bertahan, sedangkan masyarakat yang selama ini berada pada golongan menengah ke bawah bisa terjebak masuk dalam zona kemiskinan (munculnya angka kemiskinan baru) serta masyarakat yang sudah miskin berpotensi untuk terjerembap masuk pada kategori kemiskinan ekstrem.
ADVERTISEMENT
Secara makro, kondisi tergambar dari kondisi APBN yang mengalami defisit 6.34% di tahun 2020. Ini berarti akan banyak program pemerintah yang tidak bisa dijalankan secara normal seperti biasanya.
Langkah yang ditempuh
Mempertimbangkan kondisi tersebut, intervensi dan campur tangan dan peran negara sangat krusial terutama dalam hal pembiayaan untuk memitigasi dampak yang lebih besar.
Dampak ekonomi dan finansial yang sangat besar yang melanda wilayah dan jumlah penduduk yang besar, sudah barang tentu membutuhkan pembiayaan yang besar.
Untuk itu, Pemerintah Indonesia memiliki dua instrumen kebijakan termasuk instrumen kebijakan fiskal dan pinjaman. Instrumen pajak bisa meringankan beban para pelaku usaha, namun ini tidak akan bisa menjadi payung kebijakan yang cukup untuk melindungi masyarakat menengah-ke bawah yang membutuhkan insentif untuk menaikkan kemampuan belanja mereka.
ADVERTISEMENT
Negara membutuhkan uang (liquidity) yang cukup untuk membiayai dampak dari Covid-19 tersebut yang bisa diperoleh dengan menjual surat utang negara untuk mendapatkan pinjam. Kebijakan serupa juga di tempuh oleh banyak negara maju termasuk Amerika serikat dan Australia yang secara kemampuan finansial lebih baik.
Pelibatan Bank Indonesia
Selain itu, pemerintah juga memiliki opsi pembiayaan secara nasional, termasuk melibatkan peran BI untuk melakukan berbagi beban (burden sharing) dengan skema pembagian 64% dari total biaya (Rp. 574.4 trilun) sedangkan sisa dari Rp. 903,46 triliun (US$63,3 miliar).
Beban biaya dari dampak Covid-19
Dana sebesar Rp397,6 trilun akan dialokasian untuk barang-barang publik termasuk pelayanan kesehatan, kemanan jaringan sosial dan keamanan pangan yang tersedia untuk masyarakat dengan menerbitkan surat utang dengan bunga efektif 0%.
ADVERTISEMENT
Sementara itu 176.8 trilun dialokasikan untuk barang-barang yang tidak bersifat kepemilikan public termasuk pembiayaan untuk menyelematkan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dan pembelian surat utang sebesar 1% di bawah bunga acuan bank di Indonesia. Sementara itu pemerintah akan membiayai Rp.329 triliun defisit anggaran.
Pembagian skema pembiayaan seperti ini sangat dibutuhkan untuk mengatasi kondisi pasar yang sangat rentan dan memasuki kondisi yang sangat tidak biasa (abnormality). Jadi secara sederhana, Bank Indonesia turut berbagai beban sebagaimana diamanatkan dalam PP23/2020 dan amanat Presiden Jokowi.
Selain itu surplus Bank Indonesia akan berkurang dengan mekanisme pembagian beban ini. Penerbitan Surat berharga negara (utang) pemerintah kepada BI berdampak pencetakan uang yang berpotensi memicu inflasi namun mengingat kondisi perekonomian yang tidak biasa sehingga velositas uang rendah maka potensi inflasi juga diperkirakan cukup rendah. Melihat kondisi tersebut, pasar diprediksi tidak akan bereaksi secara signifikan karena kondisi yang sama juga terjadi di hampir semua negara.
ADVERTISEMENT