Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Eksploitasi Anak di Kasus Penyelundupan dan Perdagangan Manusia
13 September 2019 16:16 WIB
ADVERTISEMENT
Perdagangan dan penyelundupan manusia masih menjadi masalah utama yang harus segera diselesaikan oleh Pemerintah Indonesia. Setidaknya, ada 4.000 Anak Buah Kapal (ABK) yang menjadi korban perdagangan manusia pada tahun 2017. Sedangkan untuk kasus penyelundupan manusia, tercatat ada lebih dari 600 tersangka dari enam negara pada tahun 2018.
ADVERTISEMENT
Antara tahun 2008-2013, Pemerintah Australia menangkap dan memenjarakan 274 Warga Negara Indonesia (WNI ). Pada tahun 2016, terdapat 115 WNI terlibat kasus penyelundupan manusia ke Australia. Dari 115 WNI tersebut, hampir semuanya masih di bawah umur yang kemudian dimasukkan ke penjara orang dewasa dan tempat detensi di beberapa wilayah di Australia.
Sementara itu, data terbaru di tahun 2018 menunjukkan masih ada 200 anak Indonesia di bawah umur yang di penjara di Federal Australia. Angka tersebut menunjukkan peningkatan yang stabil dari tahun ke tahun. Ini memberikan sinyalemen yang sangat mengerikan dan menakutkan betapa besarnya eksploitasi anak di bawah umur oleh organisasi kejahatan yang terorganisir.
Kebanyakan dari anak-anak tersebut dijanjikan sebagai Anak Buah Kapal (ABK) dengan iming-iming gaji yang lumayan. Namun kenyataannya, mereka dieksploitasi dengan sedemikian rupa.
ADVERTISEMENT
Rekrutmen anak di bawah umur sebagai ABK kapal kerap digunakan untuk melakukan tindakan yang melawan hukum. Anak di bawah umur dianggap memiliki risiko yang lebih rendah karena lebih gampang lepas dari jeratan hukum karena kurangnya landasan hukum yang mengatur pelanggaran hukum oleh anak-anak.
Selain itu, anak-anak juga mendapat hukuman yang lebih ringan dari orang dewasa. Di antara alasan-alasan tersebut, anak-anak lebih mudah diperdaya karena masih lugu dan juga didukung oleh masih kurangnya pendidikan yang mereka terima. Ini menjadikan anak-anak di eksploitasi secara besar-besaran oleh pelaku kejahatan laut.
Anak-anak ini biasanya berasal dari wilayah perkampungan nelayan miskin yang tersebar di wilayah Indonesia. Nelayan termasuk pekerjaan yang paling berisiko, tidak menentu, dan kerap tidak memberikan pendapatan yang cukup. Kurangnya akses pendidikan dan daya ekonomi yang lemah menyebabkan banyak anak-anak yang lebih memilih ikut orang tua mereka menjadi nelayan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, persebaran nelayan yang banyak bermukim di wilayah kepulauan juga memberikan tantangan sendiri. Terutama mengenai akses terhadap fasilitas publik, termasuk pendidikan dan kesehatan menjadi begitu terbatas.
Kebanyakan nelayan tinggal di wilayah pesisir pantai. Bahkan, menjorok ke pantai yang menyebabkan mereka tidak memiliki sertifikat tanah yang bisa dijadikan sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari bank yang tentunya bisa digunakan untuk memulai usaha baru.
Faktor Internal sebagai Pendukung
Masalah ini sepertinya tidak akan mudah diselesaikan. Ada beberapa faktor internal yang menyebabkan tingkat kriminalitas laut begitu tinggi dan tidak mudah terdeteksi di Indonesia.
Pertama, wilayah Indonesia secara geografi begitu luas. 3.110.000 kilometer persegi adalah luas perairan dan perairan kepulauan di Indonesia, atau setidaknya sepertiga dari wilayah Indonesia terdiri dari wilayah kelautan. Ini masing-masing memberikan keuntungan dan kelebihan termasuk melimpahnya sumber daya laut yang menarik bagi nelayan asing untuk menangkap ikan di wilayah Indonesia.
ADVERTISEMENT
Kedua adalah susahnya pengawasan keamanan yang menyeluruh. Terlebih lagi, dari pagu anggaran pertahanan laut termasuk modernisasi alutsista, non-alutsista, serta sarana dan prasarana, jauh lebih rendah 21,42 persen atau hanya Rp 2,8 triliun dibanding dengan Rp 3,4 triliun alokasi anggaran untuk angkatan darat.
Sementara itu, terdapat perbedaan alokasi anggaran yang signifikan antarlembaga pertahanan di RAPBN 2019. Kemhan mendapatkan anggaran sebesar Rp 19 triliun, TNI Rp 8 triliun, Angkatan Darat Rp 40 triliun, Angkatan Udara Rp 14 triliun, dan Angkatan Laut hanya Rp 17 triliun. Perbedaan alokasi anggaran antara Angkatan Laut dan Angkatan Darat mencapai 135,2 persen.
Besarnya perbedaan ini sudah berlangsung sejak zaman Pemerintahan Suharto. Pada saat itu, secara politis , Suharto lebih dekat dengan Angkatan Darat, dengan demikian Angkatan Darat mendapat dukungan politis lebih besar.
ADVERTISEMENT
Tradisi ini tidak mengalami begitu banyak perubahan setelah lengsernya Suharto, bahkan tradisi pertahanan keamanan Indonesia yang berorientasi darat juga tidak mengalami perubahan yang signifikan sampai sekarang. Ini mengindikasikan lemahnya perhatian pemerintah pada keamanan laut Indonesia.
Terlebih lagi, kebanyakan tindakan transaksi kejahatan terjadi di laut, seperti perdagangan hewan langka, senjata, dan narkotika. Meskipun sebenarnya ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk mengatasi faktor pertama dan kedua, yaitu dengan menggunakan satelit sebagai alat bantu untuk memonitor pergerakan aktivitas di laut, tetapi sekali lagi ini tidak akan mampu memonitor secara pasti, terlebih lagi tidak akan mudah melakukan penindakan langsung.
Ketiga adalah begitu banyaknya 'pemain' yang terlembaga dan tidak terlembaga di sektor kelautan dan perikanan. Bahkan kerap beban kerja menjadi tumpang tindih antarsatu sama lain.
ADVERTISEMENT
Ini menyebabkan kinerja pengamanan laut juga menjadi tidak efisien, bahkan di lapangan cenderung tidak terkoordinasi dengan baik. Sebagai contoh, ada polisi air, ada angkatan laut, dinas perikanan, dan masih banyak instansi lainnya.
Selain itu, banyak pemain dan pengusaha yang bermain di sektor kelautan. Apalagi, ditambah peraturan yang tidak memadai menyebabkan laut Indonesia diibaratkan sebagai lahan perebutan bagi pemain-pemain untuk wilayah yang tidak bertuan atau dalam istilah lain biasa disebut ‘laut itu rajanya banyak’.
Ketiga faktor internal tersebut jelas memberikan kontribusi begitu runyamnya pertahanan dan keamanan laut Indonesia.
Faktor Eksternal sebagai Pemicu
Selain itu, faktor eksternal yang perlu juga dicermati adalah Indonesia menjadi negara transit favorit para imigran dari negara-negara yang timpa peperangan di Timur Tengah serta konflik di Myanmar. Para imigran ini pada umumnya memilih Indonesia sebagai rute persinggahan untuk ke Australia. Bahkan beberapa di antara imigran tersebut diselundupkan lewat laut oleh kapal-kapal nelayan ke wilayah Australia.
ADVERTISEMENT
Inilah yang kemudian memicu permasalahan pelik karena nelayan yang menyelundupkan mereka tidak serta merta dipicu oleh faktor ekonomi, tetapi terkadang karena merasa kasihan dan kurangnya pengetahuan tentang dampak melanggar batas wilayah negara. Ini didukung oleh level pendidikan nelayan yang rendah. Sedangkan dalam kacamata hukum internasional, faktor semacam ini kurang dipertimbangkan dan cenderung diabaikan.
Faktor eksternal kedua adalah mekanisme internasional untuk perlindungan korban eksploitasi bagi nelayan juga belum ada, tidak seperti halnya perlindungan hukum untuk pelaut. Oleh karena itu, bukan hal yang mengejutkan bila banyak kasus penyelundupan dan perdagangan manusia melibatkan nelayan.
Terlebih lagi, kebanyakan kasus perdagangan dan penyelundupan manusia melibatkan anak-anak nelayan yang masih di bawah umur, mereka berada pada tingkat kerentanan paling besar. Sedangkan kalau kita lihat dari upaya pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah dengan Pemerintah Australia, mereka cenderung menghindari ini sebagai masalah bilateral .
ADVERTISEMENT
Sikap ini tentu sangat disayangkan mengingat ada nasib anak bangsa yang terenggut masa muda dan kehilangan masa depannya akibat ketidaktahuan dan paksaan dari pihak lain untuk melakukan tindakan ilegal yang sama sekali di luar kemauan mereka. Sehingga mereka harus mendekam dalam cengkeraman hukum yang tidak pasti.
Tentu ini semua ini membutuhkan kerja sama dan payung hukum internasional yang mampu melindungi anak-anak dari bahaya eksploitasi di masa depan.