Mengenal 3 Jenis Pemilih di Indonesia

Asmiati Malik PhD
International Relations - International Political Economist - Young Scholars Initiative - Senior researcher at AsianScenarios - Dosen Hubungan Internasional Universitas Bakrie
Konten dari Pengguna
18 November 2018 17:43 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Saat proses pengambilan nomor urut untuk Capres dan Cawapres di pilpres 2019, KPU, Jumat (21/9/2018). (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Saat proses pengambilan nomor urut untuk Capres dan Cawapres di pilpres 2019, KPU, Jumat (21/9/2018). (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
ADVERTISEMENT
Perhelatan Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) Indonesia sebentar lagi akan dilangsungkan, tepatnya pada 17 April 2019. Masing-masing kubu sudah melancarkan strategi kampanye politiknya masing-masing.
ADVERTISEMENT
Sejauh ini di kedua belah pihak strategi kampanye masih sangat didominasi oleh strategi kampanye yang bersifat populis emosional yang tentunya ingin meraih 'lirikan' dan simpati dari pemilih emosional. Padahal secara teori, menurut penelitian Malik (2018), pemilih Indonesia terbagia menjadi tiga jenis, yaitu pemilih emosional, pemilih rasional-emosional, dan pemilih rasional.
Pemilih emosional adalah pemilih yang memiliki hubungan emosional sangat kuat dengan identitas yang membentuk dirinya dari sejak lahir. Identitas itu bisa berbentuk dalam paham ideologis, agama, dan budaya.
Cengiz Erisen (2018) membagi pemilih emosional menjadi dua, pemilih aktif dan pasif. Pemilih aktif emosional sangat gampang diidentifikasi, mereka akan sangat mudah terprovokasi dan sangat cepat merespons isu tersebut.
Ini mudah sekali untuk didapatkan, contohnya di Facebook kalau ada teman anda yang secara aktif dan agresif mem-posting isu politik yang berbau agama dan identitas di halaman media sosial mereka atau aktif memberi komentar yang frontal dan keras, maka mereka bisa dikategorikan dengan pemilih aktif emosional.
ADVERTISEMENT
Sedangkan pemilih pasif-emosional adalah pemilih yang tidak menampakkan emosinya secara terang benderang, biasanya pemilih ini cenderung menggunakan pola komunikasi diam (silent communication) karena mereka tidak menunjukkan pilihan mereka dan tidak ingin dinilai secara sosial dari pilihan mereka. Biasanya pemilih seperti ini bisa diliat dari artikel yang mereka 'like'.
Pemilih rasional-emosional adalah pemilih yang cenderung akan diam ketika melihat isu yang bersifat agama, identitas, dan simbolik digaungkan karena mereka membutuhkan waktu untuk memproses informasi dan isu tersebut. Akan tetapi dalam proses penerjemahan informasi tersebut faktor emosional alam bawah sadar masih dominan sehingga proses penerjemahan informasi terdistorsi oleh faktor-faktor yang secara tidak sadar membentuk pola pikir mereka.
ADVERTISEMENT
Pemilih seperti ini mampu merasionalkan pilihan mereka akan tetapi ketika hal tersebut menyangkut permasalahan ideologis, agama, dan etnis, mereka tidak sanggup memberikan argumentasi yang cukup. Pemilih rasional-emosional adalah tipikal pemilih yang lebih pasif dan suka mengamati.
Pemilih rasional adalah pemilih yang mengesampingkan faktor emosional dalam memaknai suatu informasi. Proses analisa dalam pemilih rasional mengedepankan data yang afirmatif dan majemuk. Pemilih rasional mengedepankan komunikasi aktif dan terbuka, dalam artian mereka bisa menjawab secara terinci kenapa mereka membuat suatu pilihan politis.
Mereka tidak segan menjabarkan alasan dan faktor-faktor yang menyebabkan mereka membuat keputusan tersebut. Anda bisa mendapatkan contoh pada teman atau kerabat anda yang tidak akan sungkan memaparkan pilihan politis mereka secara logis.
ADVERTISEMENT
Relevansi di Kontestasi Politik
Sayangnya, sejauh ini manuver politik yang dilancarkan masih berkutat pada narasi yang bersifat emosional. Ini bisa dilihat dari maraknya narasi politik yang didasarkan pada isu agama, identitas, dan simbolik (seperti isu pembakaran bendera).
Isu ini hanya bisa dilancarkan di masyarakat yang masih bersifat primordial. Besarnya konsentrasi pemilih yang berasal dari penganut agama Islam dan dari Pulau Jawa menyebabkan politik Indonesia sangat rentan dengan politik yang bersifat emosional, identitas, dan simbolis.
Calon presiden yang ingin ikut berkontestasi juga harus beragama Islam dan berasal dari etnik Jawa. Sedangkan etnik yang berada di luar Jawa tidak berhasil membentuk kesamaan identitas tapi malah terfragmentasi ke kekuatan pemilih yang kecil.
ADVERTISEMENT
Isu seperti ini sepertinya masih dimainkan oleh kedua kubu akan tetapi gaung yang lebih besar berasal dari kubu Prabowo-Sandi. Ada banyak contoh yang bisa kita analisis, misalnya mulai dari Sandi yang tiba-tiba membuat pengakuan bahwa ia adalah seorang keturunan Bugis.
Kemungkinan besar strategi ini untuk meraih simpati pemilih orang keturunan Bugis yang banyak bermukim di Pulau Sulawesi dan Kalimantan, atau paling tidak meraih simpati dari pemilih yang sebelumnya memilih Jusuf Kalla.
Paslon Capres - Cawapres Nomor 2, Prabowo dan Sandiaga Tiba di Monas (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Paslon Capres - Cawapres Nomor 2, Prabowo dan Sandiaga Tiba di Monas (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
Isu yang lain adalah kubu Prabowo-Sandi seolah-olah dibranding dengan pasangan yang sangat religius dan didukung oleh para ulama. Sementara kubu petahana didukung oleh ulama yang kurang kredibel. Tentu sasaran dari strategi kampanye politik ini adalah meraih simpati dari pemilih emosional.
ADVERTISEMENT
Penggunaan strategi politik seperti ini bukan hal yang baru di Indonesia. Pada Pilpres 2014, strategi yang sama juga dilancarkan seperti beredarnya Tabloid Obor Rakyat yang memuat isu Jokowi sebagai seorang keturunan Tionghoa, PKI, dan kaki tangan asing.
Sementara itu, strategi lain dari sisi sole-campaign Sandiaga Uno yang kerap mengeluarkan kata-kata yang mudah diingat, seperti tempe setipis kartu ATM karena nilai rupiah yang terus tergerus, Rp 100 hanya dapat bawang dan cabai, dan masih banyak lagi.
Sedangkan dari pihak petahana muncul istilah 'genderuwo' dan 'sontoloyo'. Dan di kedua belah pendukung muncul istilah 'kampret' dan 'cebong'. Ini merepresentasikan pendukung paslon yang termasuk pemilih emosional aktif.
Jokowi-Ma'ruf di pengundian dan penetapan nomor urut pasangan calon presiden dan wakil presiden pemilihan umum tahun 2019 di KPU. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi-Ma'ruf di pengundian dan penetapan nomor urut pasangan calon presiden dan wakil presiden pemilihan umum tahun 2019 di KPU. (Foto: Irfan Adi Saputra/kumparan)
Saya menduga bahwa untuk pengusaha dan politisi sekelas Sandiaga Uno yang mampu mengelola dana triliunan sangat kecil kemungkinan ia melakukan strategi kampanye politik simbolik dengan tidak sengaja dan terukur. Dugaan saya kemungkinan konsultan politik yang bermain dibelakan layar kubu Prabowo-Sandi adalah orang yang sama. Sehingga target pasar yang mereka bidik masih berkutat pada pemilih emosional.
ADVERTISEMENT
Kedua belah pihak sepertinya mengesampingkan pemilih rasional yang mampu berkontribusi ke sepertiga suara pemilih di Indonesia. Pasangan Jokowi-Ma'ruf sepertinya ikut terjebak dalam narasi tersebut, padahal mereka bisa mengolah capaian yang telah Jokowi raih untuk dijadikan bahan kampanye yang positif.
Kontribusi pemilih rasional sepertinya kurang diperhitungkan. Padahal, pemilih rasional inilah yang akan cenderung golongan putih/swing voters karena merasa tidak terpuaskan dari argumentasi dan kampanye politik yang sudah disuguhkan.
Oleh karena itu, saya sangat yakin dengan strategi politik kubu Prabowo-Sandi yang sepertinya cenderung menggunakan strategi populis dan menarget pemilih rasional akan tidak cukup mampu membawa mereka pada kemenangan Pilpres di tahun 2019. Dan untuk Sandiaga Uno sendiri, ia akan terjebak dalam fragmen yang sama apabila ia berkeinginan maju untuk Pilpres 2024.
ADVERTISEMENT
Dengan kata lain, strategi ini buruk untuk Pilpres 2019 dan juga buruk untuk masa depan karier politik Sandiaga Uno.