Pak Habibie Menjelang Pak Harto Berhenti

Asro Kamal Rokan
Wapemred Harian Merdeka (1993-1994), Pemred Republika (2003-2005), Pemimpin Umum LKBN Antara (2005-2007), Anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat (2018-2023)
Konten dari Pengguna
23 September 2019 16:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asro Kamal Rokan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Asro Kamal Rokan Foto: kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Asro Kamal Rokan Foto: kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Jakarta mencekam. Kerusuhan menjalar cepat hampir di semua sudut kota, dua hari setelah empat mahasiswa Trisakti tewas ditembak dalam aksi unjuk rasa menentang Presiden Suharto, 12 Mei 1998. Sejumlah pusat perbelanjaan hangus bersamaan dengan ratusan pengunjung di dalamnya. Penjarahan terjadi di mana-mana.
ADVERTISEMENT
Jalan-jalan utama di Jakarta sepi. Sejumlah panser dan truk-truk militer memblokade jalan-jalan utama, di antaranya Jalan Sudirman, Jalan MH Thamrin, Kuningan, Jalan Merdeka, dan sekitarnya. Gedung DPR/MPR dipenuhi mahasiswa yang menuntut Pak Harto mundur. Aparat keamanan melarang mahasiswa masuk, namun pintu gerbang terbuka.
Di mulut-mulut jalan dan gang, kompleks-kompleks perumahan, penduduk berinisiatif membuat pagar larangan masuk. Mereka membawa pentungan. Asap hitam mengepul di udara Jakarta. Korban berjatuhan terbakar di mal-mal.
Politik Semakin Panas
Dari Pertemuan G-15 di Kairo, Presiden Suharto tiba di Halim Perdana Kesumah pada pukul 04.00, Jumat, 15 Mei 1998. Kepulangannya dipercepat, setelah Jakarta berkobar. Di beberapa tempat, asap hitam masih terlihat.
Sabtu, Ketua DPR/MPR Harmoko didampingi para wakil ketua, menemui Pak Harto menyampaikan tiga tuntutan reformasi tokoh-tokoh masyarakat dan mahasiswa. Tuntutan tersebut, yakni pelaksanaan reformasi total, pengunduran diri Presiden, dan pelaksanaan Sidang Istimewa MPR.
ADVERTISEMENT
Menjawab tiga tuntutan itu, Presiden mempersilakan reformasi terus berjalan, reshuffle kabinet segera dilakukan, dan Presiden akan menggunakan kewenangan Tap MPR No. 5/1998 untuk melindungi rakyat. Namun, Pak Harto tidak spesifik menjawab soal mundur.
Harmoko kemudian menanyakan langsung. "Jika MPR/DPR menghendaki, saya akan mundur, meskipun tidak ringan mengatasi masalah ini," ujar Pak Harto saat itu.
Kepada wartawan yang menunggu, Harmoko tidak menjelaskan soal pernyataan Pak Harto bersedia mundur. Namun, koran sore telah memberitakan Pak Harto siap mundur. Ini berdasar keterangan Rektor Universitas Indonesia, Asman Boedisantoso, yang bersama delegasi UI menemui Pak Harto sebelum kedatangan Harmoko.
Berita Pak Harto akan mundur itu menyulut reaksi mahasiswa dan masyarakat. Gedung DPR/MPR semakin ramai. Aparat keamanan semakin kewalahan. Masyarakat berdatangan membawa makanan dan minuman untuk mahasiswa. Ketua PP Muhammadiyah, Amien Rais; Ketua PDI, Megawati; dan sejumlah tokoh menyemangati gerakan mahasiswa di Gedung DPR/MPR.
ADVERTISEMENT
Sehari berikutnya, Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya, Abdul Latief, mundur. Pak Harto semakin terdesak. Di Gedung DPR/MPR dan sejumlah daerah, antara lain Ujung Pandang, Bandung, dan Yogyakarta, tekanan agar Pak Harto mundur semakin keras. Di Gedung DPR/MPR, Ketua PP Muhammadiyah, Amien Rais; Ketua Umum PDI-P, Megawati; dan tokoh-tokoh politik bergabung dengan mahasiswa, menekan Pak Harto mundur.
Menghadapi desakan itu, Senin (18/5/1998), DPR mengadakan rapat pimpinan (Rapim) yang dikuti semua wakil ketua dan fraksi-fraksi. Hasil Rapim, yang dibacakan Harmoko dalam keterangan pers tanpa tanya-jawab, meminta Pak Harto secara arif mundur demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Dari Patra Kuningan, Wakil Presiden, BJ Habibie, siap-siap ke Jalan Cendana menemui Pak Harto. Dijadwalkan, pertemuan pukul 18.47 WIB. Saat itu Pak Habibie juga merupakan Koordinator Presidium Harian DPP Golkar. Sedangkan Pak Harto adalah Ketua Dewan Pembina Golkar. Keduanya akan membahas perkembangan politik saat itu.
ADVERTISEMENT
Sekitar pukul 18.00, Ketua Umum Golkar, Harmoko, menelepon Pak Habibie yang mempersiapkan diri ke Cendana. Dalam pembicaraan telepon, Harmoko menjelaskan tentang sikap Pimpinan DPR/MPR dan fraksi-fraksi, yang meminta Pak Harto mundur.
Mendapat laporan tersebut, Pak Habibie--seperti ditulis dalam buku Sidang Kabinet Terakhir Orde Baru, 12 Jam Sebelum Presiden Soeharto Mundur yang ditulis Makmur Makka, terkejut dan bertanya kepada Harmoko, "Apakah pernyataan itu pernah dibicarakan sebelumnya dengan Ketua Dewan Pembina Golkar, Pak Harto?"
Harmoko menyatakan belum dibicarakan. Alasannya, sulit menghubungi Pak Harto. Sikap Pimpinan DPR/MPR itu, menurut Harmoko, untuk mencegah meluasnya demonstrasi yang dapat anarkis. Harmoko berharap Pak Habibie dapat menyampaikan kepada Pak Harto keinginan Pimpinan DPR/MPR untuk bertemu.
Terhadap hal tersebut, Pak Habibie menyarankan Pimpinan DPR/MPR dan fraksi-fraksi untuk membuat laporan tertulis kepada Pak Harto selaku Ketua Dewan Pembina Golkar. Saran Pak Habibie tersebut disanggupi Harmoko.
ADVERTISEMENT
Sikap Pimpinan DPR/MPR siang itu memicu reaksi sejumlah tokoh politik. Di rumah Pak Harto, sejak sore hingga malam berdatangan tamu-tamu penting, di antaranya Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto, KSAD Subagyo HS, Pangdam Jaya Safrie Sjamsuddin, dan Mendagri R Hartono. Kepada pers, Hartono menyatakan, "Pak Harto cukup tenang."
Pak Habibie bertemu Pak Harto, setelah Mendagri, R Hartono, bertemu. Pak Habibie melaporkan berbagai perkembangan politik. Pertemuan berlangsung sekitar 35 menit. Selesai dengan Pak Habibie, Pak Harto menerima tamu lainnya, di antaraya Kepala Bakin, Moetojib; Menko Polkam; Feisal Tanjung; Menko Ekuin/Kepala Bappenas; Ginandjar Kartasasmita; Menko Kesra, Haryono Suyono; dan Menko Wasbang, Hartanto. Para Menko tersebut melaporkan kondisi ekonomi yang sulit.
Malam itu juga, Pak Harto memberi mandat khusus kepada Panglima ABRI Wiranto untuk memaksakan kekuasaan luar biasa. Wiranto tidak langsung menerima, melainkan mempelajarinya lebih dahulu. Ginandjar dan para Menko yang diberi kabar Pak Harto soal mandat tersebut, meminta Pak Harto mempertimbangkan ulang, karena jika mandat dilaksanakan, sangat berbahaya bagi bangsa ini.
ADVERTISEMENT
Dari berbagai pertemuan hingga Senin malam itu, Pak Harto masih yakin agenda reformasi konstitusional, reshuffle kabinet, dan pembentukan Komite Reformasi, akan dapat menyelesaikan situasi.
Selasa pagi (19/5/1998), Pak Harto mengundang sejumlah cendekiawan dan ulama di Istana Merdeka. Hadir antara lain Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Emha Ainun Najib, KH Ali Yafie, dan Yusril Ihza Mahendra. Amien Rais menolak hadir.
Dalam pertemuan tersebut, Pak Harto mengatakan jika tuntutan mundur dipenuhi, maka secara konstitusional ia harus menyerahkan jabatan kepada Wapres BJ Habibie. "Apakah itu jalan penyelesaian terbaik dan tidak akan timbul lagi masalah? Jangan-jangan nanti Wakil Presiden didemo pula dan harus mundur. Jika begitu terus, itu menjadi preseden dalam kehidupan kita berbangsa.."
Menghadapi situasi politik, Pak Harto dalam pertemuan itu menjelaskan rencananya membentuk Komite Reformasi, reshuffle kabinet yang diberi nama Kabinet Reformasi, dan melaksanakan pemilihan umum secepat-cepatnya. Dalam pemilu dipercepat itu, Pak Harto mengatakan tidak akan bersedia dicalonkan lagi.
ADVERTISEMENT
Komite Reformasi itu antara lain akan bertugas merancang RUU Pemilu, RUU Kepartaian, dan RUU Antikorupsi. Anggota Komite berasal dari perguruan tinggi, pakar, cendekiawan, dan tokoh-tokoh organisasi masyarakat. Pak Harto pun berjanji akan memimpin reformasi.
Dari pernyataan itu, kuat kesan Pak Harto baru akan mundur setelah terbit UU Pemilu dan pemilu dipercepat. Ini berbeda dengan tuntutan mahasiswa, tokoh-tokoh masyarakat, dan hasil Rapim DPR/MPR yang mendesak Pak Harto segera mundur.
Setelah pertemuan dengan sejumlah tokoh itu, pukul 11.30 WIB Pak Harto menyampaikan keterangan pers di ruang Jepara, Istana Merdeka. Pak Harto mengumumkan akan melakukan reshuffle kabinet dan menamakannya Kabinet Reformasi.
Malam itu juga, Pak Harto rapat dengan Mensesneg, Saadilah Mursjid, dan Staf Khusus Mensesneg, Yusril Ihza Mahendra. Mereka membahas nama-nama 45 tokoh calon anggota Komite Reformasi, yang direncanakan diumumkan Kamis (21/5/1998), bersamaan susunan Kabinet Reformasi.
ADVERTISEMENT
Saat Akhir
Inilah saat-saat yang menentukan. Rabu (20/5/1998), kondisi politik semakin panas. Amien Rais memutuskan membatalkan aksi unjuk rasa di Monas dengan pertimbangan keamanan. Jalan-jalan utama diblokade aparat. Pusat-pusat perbelanjaan dan kantor-kantor tutup. Jakarta sepi namun tegang.
Dari Amerika Serikat, Panglima Korps Marinir, Jenderal Charles Krulak, akan mengirim kapal induk Belleau Wood yang membawa 2.000 personel ke Tanjung Priok. Negara-negara lain mengirim kapal-kapal untuk mengevakuasi warganya. Menlu AS, Medeleine Albright, turut meminta Presiden Suharto mundur.
Di Istana, Pak Harto yakin rencananya membentuk Komite Reformasi dan reshuffle kabinet akan dapat mengakhiri krisis politik dan ekonomi. Besok, Kamis pagi, komite dan kabinet baru akan diumumkan. Di Cendana, pukul 18.00 WIB, Rabu malam, Pak Harto menerima mantan Wapres Sudharmono, Umar Wirahadikesumah, dan Try Sutrisno. Tidak ada penjelasan isi pertemuan itu.
ADVERTISEMENT
Di ruangan lain, di Jalan Cendana, Mensesneg, Saadilah Mursjid; Yusril; Sekretaris Militer, Jasmila Jakob; dan beberapa staf Mensesneg, rapat membahas Komite Reformasi. Rapat berlangsung tegang. Dari 45 calon anggota Komite Reformasi yang dihubungi, hanya tiga tokoh yang bersedia, 43 lainnya menolak dengan berbagai pertimbangan.
Di tempat lain, Rabu siang, Menko Ekuin/Kepala Bappenas, Ginandjar Kartasasmita, memimpin rapat 17 menteri di bawah koordinasinya di Bappenas, kecuali Menteri Perdagangan, Bob Hassan, yang mengaku tidak dapat menembus blokade aparat keamanan; Menteri Lingkungan Hidup, Juwono Sudarsono, yang sedang dirawat; dan Menteri Keuangan, Fuad Bawazir.
Rapat membahas kondisi ekonomi yang semakin terpuruk setelah kerusuhan 14 Mei 1998 dan kondisi politik terkini. Dalam rapat itu, mereka berpendapat bahwa Kabinet Reformasi yang akan dibentuk Pak Harto tidak akan dapat menenangkan situasi.
ADVERTISEMENT
Dalam rapat di Bappenas itu, seperti yang dikutip dalam wawancara buku Sidang Kabinet Terakhir Orde Baru (SKTOB), Ginandjar menyatakan tidak bersedia jika diminta masuk dalam Kabinet Reformasi.
Sebelumnya, pagi, Ginandjar bertemu dengan ekonom senior yang pernah sebagai menteri Pak Harto, di antaranya Ali Wardana dan Sumarlin. Mereka minta Ginanjar mundur, namun Ginandjar masih mempertimbangkan.
Di Bappenas, setelah Ginandjar menyatakan tidak bersedia lagi dicalonkan, diskusi sempat berlangsung panas. Namun akhirnya, 14 menteri sependapat. Semula, ada usul pernyataan dibuat masing-masing menteri. Kemudian disepakati draf dibuat Menteri Perumahan Rakyat, Akbar Tandjung.
Dalam surat tertanggal 20 Mei 1998, yang ditujukan kepada Bapak Presiden RI, itu pada paragraf kedua ditulis,
"...kami bersepakat bahwa langkah pembentukan kabinet baru sebagaimana yang Bapak rencanakan tidak akan menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, kami secara pribadi-pribadi menyatakan tidak bersedia dicalonkan dalam susunan kabinet baru tersebut..."
ADVERTISEMENT
Surat tersebut ditandatangani oleh Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno, Haryanto Dhanutirto, Justika Baharsjah, Kuntoro Mangunsubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahadi Ramelan, Subiakto Tjakrawardaya, Sunyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L Sambuaga, dan Tanri Abeng.
Setelah ditandatangani, surat diantar staf Bappenas dan diberikan kepada Ajuan Presiden. Sebelum surat diatar, Ginandjar menelepon Wiranto dan Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut) perihal surat tersebut untuk disampaikan kepada Pak Harto. Mendengar isi surat tersebut, Mbak Tutut dengan nada sedih mengatakan, "Apa tidak ada jalan lain?"
Setelah itu, Ginandjar menelepon Wapres BJ Habibie -- yang siap-siap menuju kediaman Pak Harto yang memanggilnya. Mendengar penuturan Ginandjar itu, Pak Habibie terkejut dan meminta surat tersebut ditahan, jangan disampaikan.
ADVERTISEMENT
"Saya tidak ingin surat itu mempersulit keadaan dan tidak mengganggu Pak Harto menyusun kabinet yang akan di-reshuffle," ujar Pak Habibie dalam wawancara yang diterbitkan dalam buku SKTOB. Namun menurut Pak Habibie, Ginandjar sudah menyampaikan surat tersebut kepada Mbak Tutut.
Sesampainya di Jalan Cendana, menurut penuturan Pak Habibie, Pak Harto terlihat tenang dan memeluknya. "Pak Harto memeluk saya dan mengatakan agar saya menjalankan tugas sebaik-baiknya," kata Pak Habibie.
Keberadaan surat itu menjadi misteri. Siapa yang menyampaikannya kepada Pak Harto. Ada versi yang menyatakan Yusril menerima copy surat tersebut dari Malik Fadjar. Copy tersebut kemudian disampaikan kepada Mensesneg, Saadilah Mursjid, yang seterusnya memberikan kepada Pak Harto malam itu.
Menurut Ginandjar, copy surat itu diduga telah tersebar dan secara lisan sampai ke Pak Harto. Kemungkinan lain, ajudan Pak Harto memberikan surat asli kepada Saadilah Mursjid yang kemudian memberikannya pada Pak Harto.
ADVERTISEMENT
Setelah surat tersebut sampai, Pak Harto terdiam. Tidak lama kemudian, Pak Harto memutuskan berhenti. Kuat dugaan, surat yang ditandatangani 14 menteri itulah yang memicu Pak Harto berhenti, apalagi sehari sebelumnya Pak Harto berencana besoknya, Kamis pagi (21/5/1998), akan mengumumkan kabinet baru.
Pak Harto tidak berdaya. Rencana pembentukan Komite Reformasi gagal karena sebagian besar tokoh-tokoh menyatakan tidak bersedia masuk komite. Malamnya, calon-calon menteri yang akan diumumkan besok juga menyatakan tidak bersedia.
Di kediaman Jalan Patra Kuningan, Pak Habibie memimpin rapat dengan sejumlah calon menteri Kabinet Reformasi. Ketika bertemu di Cendana, Pak Harto memerintahkan Pak Habibie menyusun kabinet yang akan diumumkan besok. Susunan nama berasal dari Pak Harto, namun Pak Habibie dapat memberi usulan. Itulah alasan rapat di Patra Kuningan, yang kemudian dikenal dengan sebutan Sidang Kabinet Terakhir Orde Baru.
ADVERTISEMENT
Menurut Menko Kesra dan Pengentasan Kemiskinan, Haryono Suyono, pertemuan di rumah Pak Habibie itu berlangsung antara pukul 19.00-21.00 WIB. Di saat itulah, masuk telepon Mensesneg, Saadilah Mursjid, yang diterima Pak Habibie.
Menteri Subiakto Tjakrawardaya yang hadir di Kuningan, mengatakan setelah berbicara lewat telepon, Pak Habibie kemudian menyampaikan kabar yang diterima dari Pak Harto. "Saudara-saudara, tadi saya ditelepon Pak Harto. Beliau akan mengundurkan diri besok pagi. Rencana pengunduran diri dipercepat dari hari Senin menjadi Kamis besok. Saya diminta menggantikannya," ujar Pak Habibie.
Di Istana Merdeka, pukul 09.00 pagi, Kamis (21/5/1998), Pak Harto menyatakan berhenti sebagai Presiden dan digantikan Pak Habibie yang dilantik Mahkamah Agung. Setelah pelantikan, Pak Habibie tidak dapat lagi bertemu Pak Harto.
ADVERTISEMENT
Itulah pertemuan terakhir keduanya. Beberapa kali dicoba, bahkan saat Pak Harto sakit keras, Pak Habibie bersama Ibu Ainun yang sedang sakit, sengaja terbang dari Jerman. Namun, hingga akhir hayat, Pak Harto dan Pak Habibie tidak bertemu.
Berhentinya Pak Harto setelah Komite Reformasi dan Kabinet Reformasi gagal dibentuk, menimbulkan spekulasi saat itu. Ada yang menganalisa, penolakan 14 menteri sehari sebelum dilantik, merupakan agenda Pak Habibie, karena sebagian besar menteri-menteri itu berasal dari Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) yang dipimpin Pak Habibie.
Pak Habibie berkali-kali membantah. Dalam wawancara untuk buku SKTOB, Pak Habibie menyatakan tidak mengetahui soal tersebut. Ia baru tahu setelah ditelepon Ginandjar. Bahkan, Pak Habibie meminta surat pernyataan itu jangan disampaikan. Namun Ginandjar menyatakan surat itu sudah dikirim ke Pak Harto.
ADVERTISEMENT
Ginandjar membenarkan. Menurutnya, ketika surat tersebut diberitahu, Habibie terperanjat dan meminta surat itu tidak dikirim ke Pak Harto, namun surat sudah dikirim dan tidak mungkin ditarik.
"Buat saja statement besar-besar dari saya, Habibie bukan yang merekayasa, bahkan beliau berupaya mencegah saya, meminta saya menahan dan menarik surat tersebut," ujar Ginandjar, yang dikutip dari wawancara buku SKTOB (2008).
Menteri Kehutanan, Sumahadi, mengatakan ketika itu Pak Ginandjar menyatakan tidak bersedia ikut dalam Kabinet Reformasi yang akan dibentuk Pak Harto. "Kami yang hadir kemudian menyatakan bersikap sama dan menandatangani pernyataan tersebut," ujar Sumahadi.
Sampai wafat, tidak diketahui alasan Pak Harto tidak menerima Pak Habibie. Jika pernyataan 14 menteri yang menolak masuk dalam Kabinet Reformasi dianggap sebagai rekayasa Pak Habibie, soal ini sudah diluruskan Ginandjar dan sejumlah menteri yang ikut menandatangani pernyataan.
ADVERTISEMENT
Pergulatan politik sering sekali berada di ruang dugaan dan perasaan, tidak selalu atas fakta.
Kini, kedua tokoh besar dalam sejarah modern Indonesia itu telah meninggalkan kita. Bagi kita semua tentu lebih indah saling memaafkan, seperti air bersih, yang membersihkan.
Jakarta, 23 September 2019.
Catatan Asro Kamal Rokan