Sajak-sajak Perlawanan terhadap Tirani

Athiyyah Nur Roihanah
Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
24 April 2022 14:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Athiyyah Nur Roihanah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sajak-sajak Perlawanan terhadap Tirani. Sumber: Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Sajak-sajak Perlawanan terhadap Tirani. Sumber: Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Pendahuluan
Pada awal tahun 1966 terdapat sebuah demonstrasi yang dilakukan oleh para mahasiswa serta pelajar di seluruh Indonesia. Demonstrasi tersebut dilakukan atas dasar kekecewaan mereka terhadap kondisi politik dan ekonomi yang sedang terjadi di negara Indonesia. Dalam demonstrasi tersebut diajukan sebuah resolusi, resolusi ini dikenal dengan sebutan Tritura (tiga tuntutan rakyat). Selain mahasiswa dan pelajar, para pengarang serta penyair juga ikut serta aktif dalam demonstrasi ini. Mereka aktif dalam melahirkan sajak-sajak perlawanan terhadap tirani. Lantas apa saja sajak-sajak yang termasuk ke dalam sajak perlawanan terhadap tirani tersebut?
ADVERTISEMENT
Artikel ini ditulis karena penulis tertarik dan ingin mengetahui lebih lanjut terkait apa saja sajak-sajak yang termasuk ke dalam sajak perlawanan terhadap tirani. Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai sajak apa saja yang termasuk ke dalam sajak-sajak perlawanan terhadap tirani. Manfaat penulisan artikel ini adalah untuk menambah pengetahuan serta wawasan pembaca serta penulis terkait sajak apa saja yang termasuk ke dalam sajak-sajak perlawanan terhadap tirani.
Pembahasan
Aristoteles mengemukakan bahwasanya tirani adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaannya dijalankan oleh orang yang menjalankan kekuasaan untuk kepentingan mereka sendiri.
Menurut H.B. Jassin sajak terlahir dari suara hati penyairnya, di mana sajak adalah buah dari pemikiran, jiwa, serta perasaan seseorang. H.B. Jassin pun menambahkan sajak yang baik yaitu sajak yang membawa gagasan atau pemikiran kepada hal yang baik. Sehingga dapat dijadikan sebagai bahan renungan oleh mereka yang mendengar atau membacanya.
ADVERTISEMENT
Pada awal tahun 1966, para mahasiswa serta pelajar melaksanakan sebuah demonstrasi. Demonstrasi tersebut dikenal dengan sebutan tri tuntutan rakyat (tritura). Tuntutan-tuntutan tersebut di antaranya yaitu turunkan harga, bubarkan partai komunis Indonesia, serta ritual kabinet dwikora. Dalam demonstrasi tersebut, tidak hanya mahasiswa serta pelajar saja yang aktif, tetapi para pengarang serta penyair ikut aktif dalam demonstrasi tersebut. Mereka menciptakan sajak-sajak perlawanan terhadap tirani. Kemudian, sajak-sajak yang telah diciptakan tersebut disebarkan di antara para demonstran serta diterbitkan dengan stensil.
Sajak yang terbit di Jakarta adalah sajak Tirani dan Benteng yang diciptakan oleh Taufiq Ismail. Sajak Perlawanan yang diciptakan oleh Mansur samin. Sajak Mereka Telah Bangkit yang diciptakan oleh Bur Rasuanto. Sajak Pembebasan yang diciptakan oleh Abdul Wahid Situmeang. Sajak Kebangkitan yang diciptakan oleh lima penyair mahasiswa fakultas sastra. Sedangkan yang terbit di Medan adalah sajak Ribeli pada tahun 1966 (dicetak yang merupakan kumpulan sajak bersama Djohan A. Nasution, Aldian Aripin, serta Z. Pangaduan Lubis. Mungkin terdapat penerbitan-penerbitan lainnya di kota-kota yang lain, namun tidak mudah untuk ditemukan bahan-bahannya. Hal tersebut karena pada umumnya sajak-sajak dicetak terbatas (tidak dijual) serta dengan stensil sehingga mudah rusak.
ADVERTISEMENT
Sajak Tirani dan Benteng yang dilahirkan oleh Taufiq Ismail merupakan hal yang paling penting dari semua kumpulan sajak yang lain. Tetapi bukan berarti sajak yang lain tidak penting, hanya saja sajak Tirani dan Benteng merupakan suatu hal yang penting. Sajak Tirani diterbitkan dan tercetak pada tahun 1966 sedangkan sajak Benteng diterbitkan dan tercetak pada tahun 1968.
H.B. Jassin memproklamasikan lahirnya “Angkatan 66” melalui tulisannya pada majalah Horison (1966) karena adanya protes sosial serta protes politik dalam sajak-sajak tersebut. Dalam tulisannya tersebut H.B. Jassin mengemukakan bahwasanya “Khas pada hasil-hasil kesusastraan 66 adalah protes sosial dan kemudian protes politik”. Kemudian H.B. Jassin melanjutkan bahwa “Tiap 15 atau 25 tahun timbul generasi baru” serta “Dapat diramalkan, bahwa tahun 1980 akan datang lagi satu angkatan baru, tahun 2000 dan seterusnya”. H.B. Jassin juga merumuskan bahwasanya pengarang yang masuk ke dalam “Angkatan 66” merupakan “Mereka yang tatkala tahun 1945 berumur kira-kira 6 tahun dan baru masuk sekolah rakyat, jadi mereka yang tahun 66 kira-kira berumur 25 tahun” sehingga tercatat nama-nama berikut, yaitu Ajip, Rendra, Bastari Asnin, Yusach Ananda, Mansur Samin, Hartojo Andangdjaja, Goenawan Mohamad, Sarbini Afn., Taufiq Ismail, Indonesia O’Galelano, Soewardi Idris, Navis, Bokor Hutasahut, serta Djamil Suherman. Kemudian H.B. Jassin mengemukakan bahwa “Yang masuk angkatan 66 ini tidak hanya mereka yang baru menulis sajak-sajak perlawanan pada permulaan tahun 1966, tetapi juga yang telah tampil beberapa tahun sebelumnya dengan sesuatu kesadaran”.
ADVERTISEMENT
Menurut sifat-sifat dan perkembangan perlawanan yang terkandung di dalam sajak-sajak yang dilahirkan oleh Bur Rasuanto, Taufiq Ismail, Slamet Sukirnanto, serta Mansur Samin dalam kumpulan-kumpulan yang distensil pada masa-masa demonstrasi mahasiswa serta pelajar lebih merupakan suatu klimaks dari suatu proses yang telah dimulai dari beberapa tahun sebelumnya.
Kesimpulan
Jadi berdasarkan artikel di atas, dapat disimpulkan bahwasanya sajak-sajak yang termasuk ke dalam sajak-sajak perlawanan terhadap tirani di antaranya sajak yang terbit di Jakarta yaitu sajak Tirani dan Benteng yang diciptakan oleh Taufiq Ismail. Sajak Perlawanan yang diciptakan oleh Mansur samin. Sajak Mereka Telah Bangkit yang diciptakan oleh Bur Rasuanto. Sajak Pembebasan yang diciptakan oleh Abdul Wahid Situmeang. Sajak Kebangkitan yang diciptakan oleh lima penyair mahasiswa fakultas sastra. Sedangkan yang terbit di Medan yaitu sajak Ribeli. Selain itu, mungkin saja terdapat penerbitan-penerbitan lainnya di kota-kota yang lain, namun tidak mudah untuk ditemukan bahan-bahannya. Hal tersebut disebabkan karena pada umumnya sajak-sajak dicetak terbatas (tidak dijual) serta dengan stensil sehingga mudah rusak.
ADVERTISEMENT
Daftar Pustaka
Rosidi, Ajip. Ikhtisar Sejarah Sastera Indonesia. Bandung: PT. Dunia Pustaka Jaya. 2013.