Aku bermimpi bintang-bintang runtuh. Cahayanya bergelimpangan di sepanjang jalan menuruni Puntang, menggelinding menerabas rimbun pepohonan. Suaranya berdebum mendirikan bulu roma terasa seperti seribu gajah menghentakkan kaki atau seperti ratusan gong yang dipukul bersamaan. Ketika bintang-bintang itu runtuh, aku tengah berada pada suatu perjalanan mendaki sebuah bukit—yang tidak terlalu tinggi, namun dari sana aku bisa mendapatkan pemandangan ufuk dengan amat baik. Sementara bintang-bintang itu terus runtuh, aku terus mendaki menyelamatkan diri. Udaranya sangat dingin hingga kabutlah yang keluar sebagai napasku.
Bintang-bintang runtuh itu jumlahnya ratusan—tidak, ribuan, atau mungkin ratusan ribu—terus jatuh dari mega yang berwarna lembayung gelap di atas kota. Kini bintang-bintang telah berserakan dan aku melihat runtuhannya dari pemandangan di depanku, kampung halamanku, Jatinangor.
Aku bertanya-tanya, apakah runtuhan bintang-bintang itu mencapai rumah adik-adik tiriku. Mereka pasti senang bermain dengan bintang-bintang itu atau barangkali menyimpan cahayanya di ruang bawah tanah. Cimo dan Cemo mungkin akan bertengkar memperebutkan serpihan bintang yang paling besar, dan dalam pertengkaran itu aku sudah bisa membayangkan bahwa Cemo-lah yang akan menang.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814