Ruth lebih memilih menggunakan nama baptisnya sebagai nama panggilan. Ia merasa malu bila dipanggil nama asli pemberian kakeknya. Sebagian besar teman-teman di kelasnya mengeja namanya dengan janggal. Berbeda dengan teman-teman lainnya yang katanya punya nama lebih mudah untuk disebut seperti, “Siti”, “Sri”, “Budi”, “Jayanto”, ataupun “Eko”,—mereka tidak pernah kesulitan untuk melafalkannya.
Anak perempuan bermata jenaka itu lahir di Boven Digoel sepuluh tahun lalu. Kata paman-pamannya, ibu kandung Ruth dulu adalah pahlawan. Namun, Ruth kecil yang masih memandang bahwa pahlawan adalah laki-laki berkumis yang muncul di dalam buku sejarah tidak begitu mempercayai hal itu. Selain sosok berkumis dalam buku sejarah, Ruth juga tidak begitu ingat mengenai masa kecilnya, atau bagaimana rupa ibunya sewaktu dulu.
Ruth menjalani hari-hari kecilnya secara hitam putih. Hitam adalah dirinya, putih adalah teman-temannya, guru-gurunya, orangtua angkatnya, satpam sekolahnya, dan tukang bakso depan sekolahnya.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814