Awas, Orang Bodoh yang Percaya Teori Konspirasi Corona Bisa Membunuhmu!

Aulia Rahman Nugraha
Jurnalis tekno dan sains. Bekerja di kumparan sejak 2019. Lulusan program studi Filsafat di Universitas Indonesia.
Konten dari Pengguna
6 Mei 2021 9:10 WIB
Tulisan dari Aulia Rahman Nugraha tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi corona. Foto: Maulana Saputra/kumparan
ADVERTISEMENT
Tulisan ini dibuat untuk merefleksikan hidup kita setelah lebih dari setahun diuji oleh pandemi corona. Saya melihat, meskipun buktinya sudah jelas dan tak terbantahkan, masih ada orang-orang yang menganggap bahwa pandemi corona hanyalah kebohongan dan konspirasi belaka.
ADVERTISEMENT
Pengamatan yang saya lakukan cukup mudah. Saya buruh media, dan setiap hari memantau kolom komentar netizen di dalam posting-an berita corona. Di sana, pasti ada saja orang yang menganggap COVID-19 adalah bualan. Netizen-netizen ini, mungkin karena terlalu takut, menganggap bahwa kabar mutasi corona hanyalah "gorengan" yang dibikin-bikin media.
Di sisi lain, media hanya memberitakan fakta yang ada. Dan faktanya, para ilmuwan mengkhawatirkan varian-varian baru dari mutasi corona.
Mutasi virus sebenarnya umum terjadi. Ia muncul berkat kesalahan virus menyalin kode genetik dirinya sendiri ketika berlipat ganda di sel inang. Tipo saat proses salinan tersebut membuat virus baru yang punya karakteristik agak berbeda dari sebelumnya.
Pada umumnya, mutasi virus tidak memberikan dampak buruk kepada manusia. Namun, “pada umumnya” bukan berarti “selalu”. Ditambah dengan pengetahuan manusia yang terbatas: kita tidak tahu kapan mutasi virus yang berdampak buruk muncul.
ADVERTISEMENT
Jika penularan masih terjadi, yang berarti mutasi virus akan terus berlangsung, kita hanya menunggu nasib sampai varian terburuk muncul. Itu yang dikhawatirkan ilmuwan.
Berita soal mutasi corona tak hanya memiliki pesan deskriptif bahwa virus corona telah berubah. Ia juga memiliki pesan preskriptif bahwa kita perlu menekan penularan kasus seminimal mungkin agar virus tersebut setop bermutasi.
Meski demikian, kabar soal mutasi corona terlampau dianggap sensitif oleh netizen-netizen ini. Seperti yang saya bilang, mungkin karena mereka terlalu takut, jadi mereka langsung menyangkal fakta dan kekhawatiran yang disampaikan ilmuwan. Bagaimanapun, manusia punya insting lari dari hal yang sangat ia takuti, kata psikolog.

Konspirasi: sebuah kebutuhan untuk menjelaskan fenomena

Dalam pelarian orang-orang penakut ini, mereka berlindung di balik istilah “konspirasi”. Virus corona, bagi mereka, adalah konspirasi. Begitu pula dengan mutasi virus corona dan media yang memberitakan kekhawatiran ilmuwan atas mutasi itu, mereka anggap konspirasi.
ADVERTISEMENT
Konspirasi, jika dapat didefinisikan, merupakan pseudo-teori untuk menjelaskan bahwa sebuah kejadian muncul berkat rencana sekelompok kecil orang. Kita sering mendengar istilah “elite global” yang disampaikan penganut teori konspirasi untuk menggambarkan sekelompok kecil orang tersebut.
Konspirasi adalah pseudo-teori, di mana pseudo berarti “tidak asli”. Berbeda dengan sebuah teori yang dihasilkan dari observasi hati-hati untuk menguji hipotesis, teori konspirasi lahir dari cocoklogi—yang sebenarnya tidak nyambung sama sekali. Makanya, ia sejenis teori, karena menjelaskan sebuah kejadian atau fenomena, tetapi cara ujinya tidak asli seperti saat ilmuwan membuat teori.
Lantas, mengapa seseorang percaya terhadap teori konspirasi?
Manusia selalu butuh penjelasan atas suatu hal. Itu hakikat kita sebagai makhluk yang berpikir. Kebutuhan kita akan penjelasan itulah yang memunculkan teologi, filsafat, dan sains. Ketiganya adalah produk pikiran manusia untuk menjawab kuriositas mereka.
ADVERTISEMENT
Teori konspirasi pun merupakan wujud dari buah pikir manusia yang butuh penjelasan. Meski demikian, penjelasan yang dihasilkan itu bukan berasal dari metode yang teliti seperti sains.
Ketika virus corona muncul di akhir 2019, misalnya, para ilmuwan berhati-hati dalam menjawab dari mana virus itu berasal. Butuh satu tahun lebih untuk peneliti internasional WHO mengumpulkan bukti dan memastikan pada awal 2021 bahwa virus corona berasal dari kelelawar, dan bukan kebocoran lab.
Adapun penganut teori konspirasi segera menyimpulkan bahwa virus corona berasal dari “elite global”, bahkan tanpa bukti yang kuat. Bagaimanapun, teori yang tak memiliki bukti itu memberi jawaban bagi orang yang kemampuan otaknya tidak sampai untuk melakukan penyelidikan ketat atas sebuah fenomena. Orang tersebut terlalu asyik dalam bias-nya sendiri, terlepas dari jenjang pendidikan macam apa yang telah dia raih, dan lupa bahwa penjelasan terhadap satu hal membutuhkan pengujian yang teliti.
ADVERTISEMENT
Secara pragmatis, teori konspirasi memenuhi kebutuhan manusia akan penjelasan suatu hal. Dan oleh karena itu ada orang yang menerimanya.

Kebodohan dapat membunuhmu

Saya tidak heran orang Indonesia masih terpapar dan gemar percaya teori konspirasi. Sebab, pendidikan kita memang gagal untuk menghasilkan manusia yang punya daya kritis untuk menguji sebuah teori lewat penyelidikan yang ketat: metode sains.
Menurut indeks per tiga tahun yang dibuat program evaluasi pendidikan Programme for International Student Assessment (PISA), misalnya, Indonesia termasuk negara dengan kemampuan siswa yang rendah dalam 79 negara yang dinilai.
Pada penilaian terakhir PISA di tahun 2018, kompetensi membaca dari siswa di Indonesia cuma nangkring di peringkat 74. Untuk nilai matematika, peringkat siswa Indonesia cuma ada di posisi 73. Sedangkan dalam kompetensi sains, siswa Indonesia cuma berada di peringkat 71.
ADVERTISEMENT
Kompetensi siswa Indonesia di indeks tersebut cenderung stagnan dalam 10-15 tahun terakhir. Artinya, Indonesia telah melahirkan satu generasi manusia yang tumpul dalam hal bernalar.
Ketika orang-orang tumpul ini tak paham apa yang dibicarakan ilmuwan dalam artikel ilmiah, tak logis dalam berpikir, dan tidak kompeten untuk melakukan metode sains, teori konspirasi siap untuk melayani kebutuhan mereka dalam menjelaskan suatu hal.
Masalahnya, teori konspirasi sangat berbahaya bagi komunitas kita saat pandemi. Ketika orang percaya bahwa virus corona tidak ada dan bahwa ia hanya bikinan media yang jadi budak “elite global”, perasaan aman palsu tercipta. Pada gilirannya, ia tidak melakukan tindakan pencegahan secara baik, di mana dia bisa tertular dan menularkan orang lain.
ADVERTISEMENT
Dalam kasus tersebut, saya akan eksplisit menyebut mereka “bodoh”. Secara leksikal, bodoh berarti tidak lekas mengerti, tidak mudah tahu atau tidak dapat mengerjakan suatu hal atau sebagainya. Bodoh juga berarti tidak memiliki pengetahuan yang benar.
Penganut teori konspirasi adalah contoh terbaik untuk merujuk istilah “bodoh” tersebut. Mereka tak lekas mengerti bahaya semacam apa yang sedang dihadapi saat pandemi. Ia juga tak memiliki pengetahuan yang benar.
Jika manusia selalu bertindak atas dasar pikiran tertentu, pengetahuan yang mereka miliki, maka orang yang memiliki pengetahuan yang salah akan keliru bertindak. Dalam situasi pandemi, orang yang percaya konspirasi akan bertindak secara salah hingga dapat mengancam hidup dirinya sendiri dan orang lain. Orang bodoh saat pandemi yang percaya konspirasi, dengan demikian, dapat membunuhmu.
ADVERTISEMENT