Donald Trump dan Ancaman Isolasionisme

Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran - Tertarik dengan isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah
Konten dari Pengguna
16 Maret 2024 22:31 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Donald Trump meraih kemenangan gemilang dalam pemilihan presiden pertama Partai Republik tahun 2024 di Iowa pada Senin (15/1). Foto: Evelyn Hockstein/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Donald Trump meraih kemenangan gemilang dalam pemilihan presiden pertama Partai Republik tahun 2024 di Iowa pada Senin (15/1). Foto: Evelyn Hockstein/REUTERS
ADVERTISEMENT
Restorasi kekuasaan Donald Trump di Gedung Putih berbanding lurus dengan ancaman terpecahnya aliansi trans-atlantik. Dalam pidatonya di Conway, South Carolina pada 10 Februari lalu, Trump mengatakan bahwa apabila dirinya kembali berkuasa, ia akan membiarkan Rusia menyerang negara anggota NATO yang tidak memenuhi komitmen iuran keanggotaannya.
ADVERTISEMENT
Suatu pernyataan yang berani sekaligus memantik kontroversi. Pernyataan itu menimbulkan kekhawatiran yang beralasan bagi para pemimpin Eropa apabila Trump kembali menjadi presiden setelah pemilihan presiden AS pada bulan November mendatang.
Berbagai pihak bereaksi atas pernyataan kontroversial Trump tersebut. Sekretaris Jenderal NATO, Jens Stoltenberg, mengatakan bahwa pernyataan mantan presiden AS tersebut akan menimbulkan kesan bahwa sekutu NATO tidak akan saling melindungi dan akan mengancam keamanan Amerika Serikat sendiri.
Bahkan di internal Partai Republik sendiri, Trump dibanjiri kritik atas pernyataannya tersebut. Misalnya saja calon presiden Partai Republik, Chris Christie dan Nikki Haley memberikan kritiknya. Pun Senator Lindsey Graham yang dikenal dekat dengan Trump juga mengemukakan ketidaksetujuannya atas pernyataan Trump tentang NATO tersebut.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Donald Trump tentang NATO menunjukkan lemahnya komitmen internasional dari calon presiden terkuat Partai Republik tersebut. Semasa menjabat, Trump memperlihatkan kecenderungan isolasionisme dalam kebijakan luar negerinya, dan proteksionisme dalam kebijakan ekonominya.
Oleh karenanya, pemilihan presiden AS pada November mendatang bisa merestorasi kekuasaan Trump di Gedung Putih dan memunculkan ancaman politik isolasionisme yang akan meluluhlantakkan komitmen liberal internasionalis.

Ancaman Isolasionisme

Wartawan senior Bob Woodward, berhasil memotret tahun pertama kekuasaan Trump di Gedung Putih yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul Fear. Selain menuangkan berbagai ‘ketidaklaziman’ tata kerja Gedung Putih di bawah Trump, Woodward juga menuliskan kecenderungan politik Trump yang cenderung mendukung isolasionisme politik dan proteksionisme ekonomi.
Rencana penarikan AS dari Korea Free Trade Agreement (KORUS) karena defisit perdagangan, menjadi bukti awal lemahnya komitmen internasional Donald Trump. Namun hal ini berhasil dicegah atas persuasi yang dilakukan Menteri pertahanan Jim Mattis.
ADVERTISEMENT
NATO pun tidak luput dari kritik Trump di awal masa kepresidenannya. Trump menyebut NATO sebagai organisasi yang telah usang dan mengkritik tidak setaranya komitmen pembayaran iuran anggota NATO. Padahal apabila dilihat secara historis, NATO menjadi aset strategis AS di Eropa, terutama pada saat Perang Dingin beberapa dekade lalu.
Kendati bobot strategisnya tentu berkurang pasca-Perang Dingin, NATO masih menjadi organisasi penting bagi AS dan sekaligus penanda sphere of influence negara tersebut di Eropa.
Ilustrasi NATO. Sumber foto: Pixabay
Kolumnis Financial Times, Edward Luce, dalam tulisannya The Return of American Isolationism, membahas kemungkinan kembalinya isolasionisme Amerika. Menariknya, sikap anti-NATO yang ditunjukkan Trump sejalan dengan contoh yang dikemukakan Luce dalam tulisannya. Luce memberikan contoh isolasionisme pasca Perang Dunia II dalam pemikiran Senator Robert Taft yang menentang dibentuknya NATO, dan menunjukkan pemikirannya yang isolasionis dalam politik luar negeri.
ADVERTISEMENT
Namun Ilmuwan Politik W. Reed West, dalam tulisannya berjudul Senator Taft’s Foreign Policy, menyebutkan bahwa pemikiran Taft bukanlah isolasionisme. Sikap anti-NATO sang senator adalah karena ia menganggap NATO tidak sejalan dengan PBB yang berpeluang menimbulkan perang terbuka dengan Rusia di daratan Eropa.
Kedua pendapat tersebut biarlah menjadi dialektika akademis. Namun, sikap anti-NATO Trump tentu menjadi indikator awal dari kebijakan isolasionisme yang menjadi kekhawatiran para pemimpin Eropa apabila ia kembali menguasai Gedung Putih. Selain terhadap NATO, Trump juga memiliki skeptisisme yang tinggi terhadap tatanan internasional yang terbentuk sejak 1945 berikut institusi-institusinya.
Joseph Nye Jr. dalam tulisannya Is America Reverting to Isolationism? Menyebutkan bahwa Trump menganggap institusi liberal pasca Perang Dunia II lebih menguntungkan pihak lain daripada Amerika sendiri. Sebagaimana dijelaskan Bob Woodward, Trump sempat akan keluar dari WTO dan menyebut organisasi perdagangan dunia tersebut sebagai organisasi terburuk yang pernah dibuat.
ADVERTISEMENT
Isolasionisme Donald Trump juga dapat dilihat dari kebijakan proteksionisme ekonominya. Kebijakan ekonomi Trump dibayang-bayangi polarisasi dengan terbentuknya dua faksi. Faksi pertama adalah para pendukung ekonomi pasar bebas yang dipimpin oleh Gary Cohn sebagai kepala National Economic Council (NEC) yang didukung oleh Menteri Keuangan Steve Mnuchin.
Faksi lainnya adalah pihak yang mendukung proteksionisme ekonomi dan anti perdagangan bebas, dipimpin oleh Direktur Perdagangan, Peter Navarro yang mendapat dukungan Menteri Perdagangan Wilbur Ross. Trump lebih menyukai pandangan faksi Navarro-Ross yang sesuai dengan pandangan pribadinya tentang proteksionisme ekonomi.
Hal ini bisa dilihat dari rencana Trump untuk menarik diri dari WTO dan NAFTA yang menjadi tempat berlalu-lalangnya perdagangan bebas, serta rencananya untuk menaikkan tarif baja.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran akan kebijakan isolasionisme Trump apabila terpilih pada November mendatang memang beralasan. Namun Markus Jeeger dalam tulisannya, Why America Won’t Run to Isolationism berusaha mereda kekhawatiran tersebut. Jeeger mengatakan bahwa Amerika tidak akan kembali ke era isolasionisme dekade 1920-an, karena beberapa alasan.
Pertama, Masyarakat AS menginginkan keterlibatan Amerika secara internasional. Kedua, elite politik di Washington DC ingin mempertahankan perang internasional AS. Menurutnya, kemenangan Trump pasti membawa implikasi negatif terhadap hubungan trans-atlantik, namun tidak akan mengembalikan AS pada kebijakan isolasionisme total sebagaimana dekade 1920-1930 an.

Dampak Buruk Isolasionisme

Kebijakan luar negeri AS, terutama di awal berdirinya sebagai negara berdaulat memang cenderung isolasionis. George Washington dalam Pidato Perpisahannya pada 1796, menekankan pemisahan AS dari dinamika politik Eropa. Kebijakan isolasionis yang cukup lama berjalan ini berhasil diubah secara revolusioner di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
ADVERTISEMENT
Presiden William McKinley yang melibatkan AS pada suatu kebijakan luar negeri yang ekspansif, diikuti oleh kebijakan open door policy Menteri Luar Negeri John Hay pada 1899, serta puncaknya adalah keterlibatan AS dalam Perang Dunia I masa Presiden Woodrow Wilson. Namun, isolasionisme kembali menjadi inti kebijakan luar negeri AS setelah Senat gagal meratifikasi Perjanjian Versailles dan Kovenan PBB pada Mei 1920.
Kebijakan isolasionisme AS berjalan hingga serangan bom Pearl Harbour oleh Jepang pada 7 Desember 1941 yang menandai keterlibatan AS dalam Perang Dunia II. Presiden Franklin D. Roosevelt membawa Amerika pada suatu puncak kepemimpinan global yang tanpa tanding, sehingga peranan internasionalnya tidak ada yang bisa menyaingi.
Komitmen internasional AS juga terbentuk begitu kuat setelah dibentuknya Institusi Bretton Woods pada 1944 dan PBB pada 1945. Presiden Harry S. Truman melanjutkan kebijakan pendahulunya dengan semakin mengokohkan peran internasional AS di setiap kawasan di dunia, dan NATO menjadi bukti komitmen politik dan keamanan AS di Eropa. Bahkan setelah Perang Dingin usai, AS muncul menjadi satu-satunya kekuatan politik di dunia, yang oleh Charles Krauthammer disebut sebagai dunia unipolar (unipolar world).
Mantan Presiden AS Donald Trump berbicara dalam rapat umum menjelang pemilihan paruh waktu, di Mesa, Arizona, AS, Minggu (9/10/2022). Foto: Brian Snyder/REUTERS
Begitu berarti dan besar pengaruh AS bagi jalannya ekonomi dan politik dunia. oleh karenanya, penulis berpendapat bahwa kebijakan isolasionisme yang cenderung ditampakkan Trump dalam retorika dan kebijakan luar negerinya tidak beralasan dan cenderung merugikan, paling tidak ada beberapa sebab.
ADVERTISEMENT
Pertama, isolasionisme menandai suatu kemunduran yang nyata menuju dua atau tiga abad ke masa lampau, di mana ekonomi beberapa negara dibentengi oleh kebijakan isolasionis dan autarki yang menghambat kemajuan negara tersebut. Sistem ekonomi yang masih minim koneksi globalnya dan tidak mengandung relevansi dengan keadaan masa kini di mana globalisasi menjadi retorika dan cara pandangan global dalam memandang hubungan antar bangsa di dunia. Artinya, kebijakan isolasionis menandai kemunduran dalam kebijakan suatu negara, termasuk Amerika apabila menerapkannya.
Kedua, basis kekuatan Amerika yang lama dibangun akan hancur seketika. Apabila AS menerapkan kebijakan isolasionis dan menarik diri dari peran internasionalnya, basis kekuasaan AS di beberapa kawasan akan luluh lantak seketika. Misalnya saja, komitmen AS yang melemah terhadap NATO sebagaimana ditunjukkan dalam retorika Donald Trump, akan melunturkan basis kekuasaan politik dan keamanan AS di Eropa.
ADVERTISEMENT
Contoh lainnya, sebagaimana telah disinggung, rencana AS menarik diri dari KORUS, akan melemahkan basis kekuatan AS di Asia Timur dan menghancurkan balance of power di kawasan tersebut. Oleh karenanya dapat disimpulkan bahwa isolasionisme bukanlah pilihan dan tiada lagi momentumnya di dunia yang sudah begitu terkoneksi sedemikian rupa ini.