Ekspansi NATO dan Terkoyaknya Ekuilibrium Eropa

Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran - Tertarik dengan isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah
Konten dari Pengguna
24 April 2024 16:48 WIB
·
waktu baca 8 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi NATO dan Keseimbangan Eropa. Sumber: Kumparan (Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi NATO dan Keseimbangan Eropa. Sumber: Kumparan (Pixabay)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Eropa semakin kehilangan perimbangan kekuasaan. Implikasinya, Eropa menghadapi sebuah paradoks yang nyata: aliansi militernya menguat bahkan overpower, namun disertai dengan bobot ancaman yang semakin besar.
ADVERTISEMENT
Barangkali itulah penggambaran deskriptif yang cukup tepat untuk menggambarkan arsitektur politik dan keamanan Eropa dewasa kini, terutama saat NATO, aliansi militer terhebat dalam sejarah, semakin melebarkan sayap ekspansinya ke Timur dengan masuknya Swedia sebagai anggota baru.
Kendati sempat mendapat tentangan dari Turki dan Hungaria, Swedia resmi menjadi anggota NATO ke-32 pada 7 Maret 2024. Dengan wajah sumringah -paling tidak yang terlihat dalam potret kamera- Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson menerima dokumen aksesi Swedia ke dalam NATO dari Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Antony Blinken.
Atas realita mutakhir ini, tak heran apabila Blinken begitu percaya diri dengan mengatakan: Russia is weaker militarily, economically, and diplomatically. NATO is bigger, stronger and moved united than any point in its nearly 75-years history.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menerima surat berita acara dari Perdana Menteri Swedia Ulf Kristersson untuk masuk ke NATO di Departemen Luar Negeri di Washington, AS, (7/3). Foto: REUTERS/Amanda Andrade-Rhoades
Blinken berusaha menekankan bahwa, di hari jadinya yang ke 75 pada 4 April 2024 lalu, NATO sebagai aliansi militer begitu kuat dan hyperpower, dan Rusia begitu tak sebanding secara kekuatan dengan aliansi militer yang terbentuk pada 4 April 1949 tersebut. Memang demikianlah adanya. Russia tidak mungkin menyamai, apalagi mengungguli, aliansi militer dengan 32 negara anggota di dalamnya.
ADVERTISEMENT
Hal ini membuat absennya perimbangan kekuasaan (balance of power) di Eropa, di mana NATO dengan kekuatannya yang demikian besar membangun rivalitas dengan Rusia yang kekuatannya jauh di bawah NATO.
Implikasi logisnya: Russia semakin merasa terancam oleh aliansi Barat, dan tak menutup kemungkinan dalam episode kritis tertentu, nuklir menjadi senjata pamungkas yang bisa dipilih Russia. Eropa yang tak berimbang adalah Eropa yang sarat ancaman.

Ekspansi NATO: Hilangnya Keseimbangan Eropa

Bagi beberapa negara Barat yang menjunjung tinggi demokrasi liberal, akhir Perang Dunia II telah memunculkan dua implikasi penting: pertama tereliminasinya fasisme dalam daftar ancaman ideologis, dan kedua munculnya komunisme sebagai ancaman baru yang nyata dan dianggap lebih berbahaya. Uni Soviet sebagai negara komunis terbesar menjadi manifestasi paling ‘agung’ dari ancaman baru tersebut.
ADVERTISEMENT
Sejarah tak menjamin kepastian dan konsistensi, justru sebaliknya, sejarah penuh ketidakpastian dan perubahan. Uni Soviet adalah sekutu Barat, dalam hal ini Inggris dan Amerika, untuk melawan ambisi ekspansionis fasisme di Eropa. Namun statusnya berubah seketika, dari sekutu menjadi seteru. Dunia memasuki era yang kita kenal sebagai Perang Dingin (Cold War).
Rencana Marshall, Doktrin Truman, dan kebijakan pembendungan George Kennan, menjadi kosakata baru dalam kamus kebijakan luar negeri Amerika. Puncaknya, untuk membendung ancaman Uni Soviet, dibentuk aliansi militer Trans-atlantik (NATO) pada 4 April 1949 di KTT Washington DC. Aliansi militer terbesar dalam sejarah dunia terbentuk.
Dalam konteks historis Perang Dingin, pembentukan NATO cukup masuk akal. Atmosfer rivalitas komunisme dan kapitalisme liberal Barat membuat kedua blok merasa terancam satu sama lain. Untuk mengimbangi eksistensi NATO sebagai aliansi militer, blok komunis mendirikan Pakta Warsawa pada tahun 1955. Lengkap sudah, selain menjadi ajang rivalitas ideologis, Perang Dingin juga menjadi ajang konfrontasi dua aliansi militer terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT
Dalam perjalanan sejarahnya, tepatnya pada periode akhir 1980-an, komunisme mengalami kebangkrutan ideologis. Pilar kokoh dogmatisme Marxis memudar seiring dengan gerakan etnonasionalisme di beberapa negara imperium Uni Soviet. Runtuhnya tembok Berlin dan reunifikasi Jerman juga menandai sekaratnya komunisme.
Dalam bayang-bayang kebijakan perestroika dan glasnost yang dicetuskan Mikhail Gorbachev, Uni Soviet menjemput ajal eksistensinya pada tahun 1991. Fenomena ini membawa euforia bagi Barat. Optimisme dan rasa bangga ideologis tumbuh tak terbendung.
Bahkan Francis Fukuyama, seorang ilmuwan politik, memvonis fenomena ini sebagai akhir sejarah, the end of history. Dunia memasuki, apa yang oleh Charles Krauthammer disebut sebagai momen dunia unipolar (unipolar moment), di mana Amerika Serikat menjadi negara adidaya satu-satunya.
Ancaman yang sangat ditakuti Barat, yakni Uni Soviet, telah bubar. Eksistensinya lebur dalam waktu, dan hanya terpatri dalam catatan historis. Lantas, sebab apa yang membuat NATO masih dimaklumi eksistensinya di saat ancaman utama yang menjadi sebab berdirinya sudah tak lagi ada? Bukankah pembubarannya menjadi implikasi paling logis di saat ancaman yang ditakuti tak ada lagi? Ternyata tidak demikian adanya.
ADVERTISEMENT
Muncul gagasan mengenai perluasan NATO ke Timur. Gagasan mengenai ekspansi NATO disambut baik dalam KTT NATO di Brussels pada 1994. Di Amerika Serikat sendiri, sebagai negara yang secara de facto memimpin NATO, gagasan ini didukung cukup kuat para elite di Washington DC.
Menteri luar negeri Madeleine Albright menjadi tokoh yang paling semangat mendukung ekspansi NATO. Ada beberapa narasi kekhawatiran akan kebijakan perluasan NATO ini, terutama kekhawatiran akan reaksi Rusia.
Namun pada tahun 1997, di pertemuan dengan Senat, Albright meyakinkan para senator bahwa NATO tak membutuhkan Rusia untuk menyetujui perluasan atau ekspansinya. Sehingga pada 1 Mei 1998 Senat AS secara resmi mendukung ekspansi NATO dengan suara 80-19.
Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright berbicara kepada wartawan di Gedung Putih pada 20 Agustus 1998. Foto: Luke Frazza/AFP
Namun ekspansi NATO ini memantik cukup banyak kritik. Salah satunya muncul dari diplomat ulung AS yang gagasannya sangat mewarnai kebijakan luar negeri AS di masa Perang Dingin. Ia adalah George F. Kennan, sang Mr. X. Dalam artikelnya di The New York Times berjudul Foreign Affairs; Now a World From X, Thomas L. Friedman memotret pandangan Kennan terkait dengan kebijakan perluasan NATO tersebut.
ADVERTISEMENT
Menurut Kennan, ekspansi NATO adalah kesalahan terbesar Barat era pasca-Perang Dingin, dan ia memprediksi bahwa kebijakan tersebut akan menyebabkan perang dingin baru. Kennan menyebutkan bahwa Rusia akan bereaksi buruk terhadap ekspansi NATO.
Prediksi sang Mr. X mulai terbukti seiring berjalannya waktu. Krisis Georgia 2008, aneksasi Krimea 2014, hingga yang terakhir operasi militer khusus di Ukraina pada 2022 oleh Rusia menandai bahwa perluasan NATO ke Timur membuat Rusia merasa terancam secara geopolitik.
Dengan melihat fenomena ini, cukup masuk akal apabila menyebut kebijakan ekspansi NATO adalah kebijakan yang miskalkulasi dan justru menimbulkan ancaman baru yang lebih nyata dari Rusia dengan rasa terancamnya. Disorientasi NATO pasca-Perang Dingin membuat aliansi militer ini tidak meredakan rivalitas tajam di daratan Eropa, justru semakin menguatkannya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, tak ada lagi perimbangan kekuasaan sebagaimana pada saat Perang Dingin, yang ada adalah aliansi NATO yang semakin hyperpower dengan 32 negara anggota menghadapi satu negara yaitu Rusia. Keadaan absennya balance of power ini berpeluang menyebabkan Rusia mengambil langkah drastis dengan menggunakan nuklir sebagai penghadang dan pereda ancaman. Ekspansi NATO menghancurkan ekuilibrium Eropa dan mengancam perdamaian benua itu.

Quo Vadis Equilibrium Eropa?

Arsitektur politik Eropa selalu memiliki satu ciri: keseimbangan kekuasaan. Keseimbangan kekuasaan ini disebut juga ekuilibrium Eropa. Oleh karenanya, dalam studi hubungan internasional, paradigma realisme menjadi dalil teoretis yang paling relevan menggambarkan politik Eropa. Tatanan 1713 yang terbentuk melalui Perjanjian Utrecht, menandai perimbangan kekuasaan antara great power Eropa pada masa itu, yakni Prancis dan Austria.
ADVERTISEMENT
Namun tatanan 1713 ini hancur karena ambisi ekspansionis Prancis pada masa kekuasaan Napoleon Bonaparte. Napoleon berhasil mengoyak keseimbangan kekuatan di Eropa. Namun pada 1814 dimulai satu episode sejarah untuk merestorasi keseimbangan Eropa melalui Kongres Wina. Kongres Wina berakhir 9 Juni 1815, dan menghasilkan apa yang dikenal dengan Sistem Kongres atau Konser Eropa (Concert of Europe).
Tokoh utama dari Kongres Wina adalah seorang aristokrat konservatif Austria, yakni Klemens von Metternich. Tidak lupa juga dilibatkan negara besar anggota aliansi suci yakni Rusia dan Inggris, yang masing-masing diwakili Tsar Alexander I dan Menteri luar negeri Inggris Lord Castlereagh. Rusia sangat dilibatkan dan berperan besar dalam membangun tatanan keseimbangan Eropa pasca-Napoleon, yang bertahan hingga 1914.
ADVERTISEMENT
Periode 1815-1914 adalah periode yang relatif damai di Eropa. Tak ada perang besar yang melibatkan seluruh Eropa, sebagaimana Perang Napoleon. Hanya beberapa tantangan yang tak besar namun signifikan pengaruhnya, seperti Perang Krimea, revolusi liberal di beberapa negara Eropa, hingga deklarasi unifikasi Jerman oleh Otto von Bismarck pada 18 Januari 1871. Namun selebihnya, sistem kongres ini bertahan lama menjaga perdamaian Eropa karena adanya keseimbangan kekuatan.
Absennya keseimbangan kekuatan di Eropa bisa menyebabkan malapetaka dan mimpi buruk. Periode antara 1919-1939 salah satu buktinya. Pada periode itu terjadi eskalasi kekuatan di negara-negara fasis, seperti Jerman Nazi, yang tak diimbangi dengan balance atau perimbangan dari negara Eropa lainnya.
Bahkan perdana menteri Inggris saat itu, Neville Chamberlain justru menganut kebijakan politik perdamaian (appeasement) terhadap Hitler, yang membuat sang kanselir merasa bebas penghalang dan berlaku sesukanya. Akhirnya, absennya keseimbangan kekuatan di Eropa pada periode itu membuat Perang Dunia II berkobar.
ADVERTISEMENT
Perang Dingin dipelihara dengan dalil realisme. Sehingga daratan Eropa cenderung damai dari konflik terbuka. Kedua blok kekuatan menjadi penyeimbang satu sama lain, sehingga tak terjadi penumpukkan kekuatan di salah satu blok yang membuat blok lainnya merasa terancam. Namun kini, saat NATO telah melewati 75 tahun eksistensinya, keseimbangan di Eropa tak lagi ada.
Rusia harus menghadapi rivalitas 32 negara anggota NATO. Sebuah ketidakseimbangan yang nyata. Tak heran apabila Rusia merasa dikelilingi ancaman, sehingga membuat negara itu mengambil kebijakan ekspansif. Dalam hal ini prediksi Kennan sangat tepat, bahwa Rusia akan merasa terancam.
Bahkan seorang realis kawakan seperti John Mearsheimer, menyalahkan Barat atas kebijakan yang dilakukan Rusia menganeksasi Krimea dan Ukraina. NATO yang semakin melebarkan cakupan kekuasaannya ke Timur, membuat ekuilibrium Eropa terkoyak dan karenanya Rusia merasa terancam.
ADVERTISEMENT
Akibat dari rasa terancamnya ini, Rusia bisa membawa Eropa bahkan dunia pada satu malapetaka hebat yang tak pernah terjadi dalam sejarah yakni perang nuklir yang efek destruktifnya bisa memusnahkan bumi ini.