Realisme-Machiavellian: Cara Prabowo Memandang Politik Dunia

Adrian Aulia Rahman
Mahasiswa S1 Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran - Tertarik dengan isu-isu hubungan internasional, politik domestik dan sejarah
Konten dari Pengguna
17 Februari 2024 16:42 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto memberikan suara Pemilu 2024 di TPS 033 Bojong Koneng, Bogor, Rabu (14/2/2024). Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto memberikan suara Pemilu 2024 di TPS 033 Bojong Koneng, Bogor, Rabu (14/2/2024). Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ide realisme Machiavellian bersemayam dalam pikiran sang Jenderal gemoy. Prabowo Subianto, Menteri pertahanan Indonesia, yang dalam kontestasi pemilihan presiden 2024 difigurisasi menjadi seorang lucu nan menggemaskan.
ADVERTISEMENT
Kendati Prabowo dan pikirannya dikerdilkan dalam narasi gemoy untuk kepentingan elektoral, sang Jenderal mestilah seorang pengagum ide-ide besar karena dia adalah seorang pembaca yang rakus. Pemikirannya tentang hubungan internasional, geopolitik, dan pertahanan, menarik untuk diulas, terlebih profil yang melekat padanya. Ternyata, pemikiran realis memenuhi peta jalan pikiran sang Jenderal tentang relasi antar bangsa. Tulisan ini akan mengulasnya.
Nyawa dari politik adalah kekuasaan. Tiada politik tanpa kekuasaan. Usaha untuk memperoleh kekuasaan, dan upaya mempertahankannya adalah substansi paling inti dari politik. Bahkan kadangkala, nilai-nilai ideal dari politik seperti distribusi kesejahteraan, tegaknya keadilan, supremasi hukum, dan jalannya demokrasi, akan dikerdilkan oleh usaha-usaha pragmatis yang tak terperikan dalam proses politik, yaitu meraih kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Begitupun dalam arsitektur dan tatanan politik dunia, kekuasaan dan usaha meraihnya menjadi penggerak dinamika sejarah. Kekuasaan menjadi tujuan utama sebuah bangsa, terlebih bagi para kekuatan-kekuatan besar (great power).
Paradigma realisme dalam hubungan internasional, menjadi cerminan realita paling nyata dari jalannya politik dunia. Kekuasaan negara dan usaha menyeimbangkannya (balance of power) menjadi sari pati dari realisme. Ilmuwan politik Richard W. Mansbach dan Kirsten L. Rafferty menulis, kekuasaan menghasilkan kekuasaan tandingan yang akan menciptakan perimbangan kekuasaan.
Demikianlah simplifikasi dari dalil realisme. Poltak Partogi Nainggolan, seorang ahli geopolitik, menyebut politik realisme sebagai politik machiavellisme, politik yang titik sentralnya adalah kekuasaan.
Dalam berbagai pandangannya di depan publik, Prabowo memperlihatkan pandangan yang sangat realis-machiavellian menyangkut politik internasional. Darimana konklusi ini diperoleh? Berikut paparannya.
ADVERTISEMENT

Si Kuat dan Si Lemah

Dalam orasi ilmiahnya di Universitas Pancasila pada 7 Juni 2022, Prabowo menyampaikan pandangannya tentang politik internasional. Menhan RI tersebut menyampaikan orasi berjudul “Peran Indonesia Menghadapi Perubahan Dunia Global dalam Satu Dekade ke Depan”.
Prabowo menekankan pada perlu dan krusialnya kekuatan nasional bagi Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat, dalam menghadapi konstelasi politik dunia ke depan. Dalam paparannya, Prabowo sempat mengutip seorang begawan ilmu politik internasional sekaligus tokoh ternama aliran realis, Hans J. Morgenthau, yang menekankan pada pentingnya kekuatan atau power dalam relasi antar bangsa.
Selain Morgenthau, Prabowo juga mengutip kalimat Thucydides, seorang sejarawan yang menulis buku The Peloponnesian War. The strong will do what they can, the weak suffer what they must. Yang kuat akan melakukan apa yang mereka bisa, yang lemah menderita apa yang harus mereka lakukan. Dengan mengutip kedua tokoh realis dalam hubungan internasional tersebut, Prabowo menegaskan pandangan politik internasionalnya: ia seorang realis.
ADVERTISEMENT
Pandangan realis Prabowo semakin terkonfirmasi dalam acara debat calon presiden pada 7 Januari 2024. Isu tentang Gaza di Palestina menjadi topik yang disinggungnya. Prabowo mengetengahkan konflik yang terjadi di Gaza sebagai contoh juga penegasan bahwasannya sebuah bangsa tidak boleh lemah, karena akan ditindas oleh negara lain.
Kendati memantik kritik karena pernyataannya, pandangan Prabowo ini mencerminkan realitas yang ada, bahwa Gaza ditindas karena memang lemah dan tak memiliki kekuatan nasional. Ia seorang realis sejati.
Betapapun cara pandang realisnya tentang Gaza banyak memantik kritik, poin Prabowo sebenarnya adalah, ia mengharuskan sebuah bangsa memiliki kekuatan nasional, termasuk Palestina agar terbebas dari penindasan. Namun, yang luput dari pandangan Prabowo, dan pandangan para realis saklek lainnya adalah, surplus kekuatan (power surplus) suatu bangsa justru berpotensi menciptakan penjajahan dan kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Israel di kawasan Timur Tengah adalah bukti yang nyata. Absennya perimbangan kekuasaan di Timur Tengah, yang disebabkan oleh surplus kekuatan Israel dan defisit kekuatan negara-negara di sekitarnya, membuat Israel leluasa menindas dan melakukan genosida.
Morgenthau dalam buku Politik Antar Bangsa memberi contoh lain dari surplus kekuatan yang berimplikasi pada kolonialisme. Inggris abad ke 19 adalah contohnya. Di Abad 19, di mana Inggris menjadi adidaya dunia dengan surplus kekuatan yang dimilikinya, politik kolonialisme-imperialisme mulai dicetuskan di parlemen.
Ide imperialisme ini muncul dari Partai Konservatif yang memenangkan pemilu tahun 1874, dan Benjamin Disraeli menjadi perdana menteri Inggris. Pada masa tersebut, yang dikenal dengan era Victoria, Inggris muncul sebagai kekuatan dunia tanpa tanding baik dalam segi politik maupun ekonomi.
ADVERTISEMENT
Surplus kekuatan yang dimiliki Inggris pada saat itu memunculkan superioritas politik dan usaha kolonialisme ke seluruh dunia. Artinya, janganlah menjadi bangsa yang surplus kekuatan dan menindas bangsa lain, tetapi jangan pula menjadi bangsa lemah yang ditindas bangsa lain.

Surplus dan Defisit Kekuatan

Pandangan Prabowo tentang kelemahan Gaza yang berakhir ditindas oleh Israel, pada dasarnya bersumber dari satu problem dasar: tidak adanya otoritas internasional. Kendati Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara eksistensial masih berdiri, namun perannya begitu lemah. Ketiadaan otoritas atau kondisi anarki internasional inilah yang menghidupkan paradigma realisme.
Hukum purba berlaku dalam relasi antar bangsa: yang lemah akan ditindas oleh yang kuat. Thomas Hobbes dengan adagiumnya yaitu homo homini lupus, yang artinya bahwa manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, menjadi penggambaran yang masih relevan menyangkut kondisi anarki internasional. Negara adalah serigala bagi negara lainnya.
ADVERTISEMENT
Doktrin Hobbesian tentang dunia anarki ini berpadu-padan dengan pandangan Machiavelli tentang kekuasaan. Machiavelli menganggap kekuasaan sebagai tujuan dan bukan alat untuk meraih moralitas.
Kekuasaan yang berbanding lurus dengan kekuatan (power) menjadi satu-satunya tujuan negara-bangsa di tengah rimba anarki internasional yang penuh ketidakpastian. Menjadi lemah bukanlah pilihan, dan menjadi kuat adalah keharusan. Pasangan yang memang realistis, oleh karenanya disebut sebagai realisme.
Namun sekali lagi, cara pandang realisme ini cenderung memandang dunia secara ‘dingin’ dan terkesan tak berperasaan. Cara pandang realisme-machiavellian ini berimplikasi pada nihilnya kepedulian terhadap negara-negara yang ditindas, karena pandangan yang terkonstruksi bahwa negara kuat secara hukum alam akan menindas negara yang lemah.
Pada akhirnya si lemah yang ditindas bukannya mendapatkan simpatik humanis, tetapi justru akan ‘disalahkan’ atas apa yang ditimpanya oleh karena dia lemah. Anda ditindas karena Anda lemah, penilaian yang begitu ‘dingin’ dan tak berperasaan, kendati sesuai realitas yang ada.
ADVERTISEMENT
Kendati selalu menjunjung keseimbangan kekuasaan (balance of power), pandangan realisme gagal menyelesaikan persoalan mendasar dalam politik dunia yakni: tidak setaranya kekuatan antar-negara. Ada negara yang secara kekuatan dan kekuasaan mengalami surplus, sebagaimana dicontohkan Inggris abad 19 dan Amerika di abad 20 dan awal abad 21. Ada pula negara yang secara kekuatan justru sangat lemah atau defisit kekuatan, yang amat rawan sekali dijajah dan ditindas oleh negara yang lebih kuat, sebagaimana yang dicontohkan Prabowo yaitu Palestina.
Oleh karenanya, pernyataan Prabowo Subianto yang menyinggung Palestina dan mencontohkannya sebagai pihak yang lemah, memantik reaksi kritik karena dianggap nihil empati. Kendati, sebagaimana kita ketahui, komitmen Prabowo terhadap kemerdekaan Palestina sudah jelas dan tegas, cara pandangan realis-machiavellian yang dimilikinya memantik kesalahpahaman. Namun terlepas dari itu, dapat kita simpulkan bahwa pandangan realis-machiavellian menjadi paradigma berpikir Prabowo dalam memandang politik dunia.
ADVERTISEMENT
Karena pandangan realisnya, tidak heran apabila Prabowo selalu menekankan pada pentingnya kekuatan nasional serta ketangguhan sebuah bangsa dalam pergaulan internasional. Tulisan ini tentu tidak untuk menghukumi benar atau salahnya pandangan menteri pertahanan Indonesia tersebut, namun menunjukkan bagaimana peta jalan pikiran realis-machiavellisme yang dianut Prabowo beserta kekurangan yang menyertainya.