Antara Zina, Konsensual, dan Sexual Harrasment

Aura Dara Febrian
Mahasiswi UPN Veteran Jakarta
Konten dari Pengguna
22 Desember 2021 19:23 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aura Dara Febrian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Sampai kapan perempuan harus dirundung ketakutan?
Source Sandeep Gill (Flickr)
Kontroversi terhadap diskriminasi gender di kampus tidak hanya menyebabkan ketidakadilan tetapi juga mengakibatkan terjadinya kekerasan seksual. Kekerasan seksual yang sekarang ini terjadi di lingkungan kampus menganggap satu gender lebih lemah dibandingkan dengan gender lainnya. Hal tersebut tak terlepas dari budaya masyarakat patriarki yang membagi posisi superioritas dan subordinasi antara laki-laki dan perempuan. Hal ini yang kemudian membuat masyarakat dalam memaknai identitas perempuan yaitu sebagai kaum rentan, yang lemah.
ADVERTISEMENT
Di lingkungan kampus pelaku kekerasan bukan hanya dilakukan oleh mahasiswa atau pun orang terdekat dari korban, tetapi pengajar akademik, atau karyawan dan seluruh civitas akademik memiliki potensi untuk melakukan tindakan tersebut. Dengan melakukan penyalahgunaan tindakan untuk mendapatkan keuntungan seksual demi imbalan yang telah dilakukan biasa dilakukan dengan memodalkan pemberian nilai dan dengan imbalan permintaan hak khusus maka mahasiswa yang terjebak dalam lingkungan tersebut akan susah untuk keluar dan melaporkan tindakan yang mereka alami untuk meminta perlindungan.
Baru-baru ini sempat terkuak kembali kasus yang masih cukup hangat diperbincangkan di kanal media massa maupun media online karena terjadinya tindak pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen salah satu perguruan tinggi negeri terhadap mahasiswa bimbingannya. Seperti dalam kasus Universitas Sriwijaya (Unsri), di mana terjadi kasus pelecehan oleh dosen terhadap mahasiswi di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan saat hendak menjalani bimbingan skripsi. Sama halnya seperti kasus yang terjadi di Unsri, hal serupa berupa pelecehan terhadap mahasiswa yang dilakukan oleh dosen juga terjadi di Universitas Riau (Unri), di mana seorang mahasiswi menjadi korban pelecehan setelah dilecehkan oleh seorang Dekan FISIP yaitu Syafri Harto saat sedang melakukan proses bimbingan tugas akhir skripsi.
ADVERTISEMENT
Maraknya kasus tersebut kemudian membuat perdebatan kembali mengenai bagaimana seharusnya negara berperan dalam melindungi hak-hak terutama kelompok yang menjadi rentan pada kasus belakangan ini yaitu perempuan. Tidak adanya payung hukum perlindungan kekerasan seksual di lingkungan masyarakat, yang kemudian upaya untuk menciptakan ruang aman di kampus melalui Permendikbud No.30 Tahun 2021 mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Yang kehadirannya sendiri kemudian masih menjadi perdebatan karena masyarakat sendiri masih cenderung gagal dalam memaknai kekerasan seksual. Masyarakat seringkali buram dalam melihat kekerasan seksual sebagai bentuk kekerasan, seringkali budaya kita melihatnya justru sebagai sebuah bentuk zina.
Melihat realitasnya, Perdebatan penafsiran konsensual yang terdapat dalam frasa sexual consent selalu tidak habis dibahas dalam dunia sexual abusive. Dalam salah satu pandangan yang menilai bahwa kata consent atau persetujuan untuk berzina mengarah kepada nilai-nilai moralitas dan religius, berakibat kepada pertentangan substansial yang tidak ada habisnya. Di satu sisi, apakah seharusnya kata-kata konsensual dimaknai. Apakah sexual consent merupakan bagian dari sexual harassment atau kekerasan seksual?
ADVERTISEMENT
Memaknai zina sebagai bentuk kekerasan sekusal adalah tanda bahwa masih adanya sebuah gap antara pemahaman tentang zina dan kekerasan seksual. Mir Hosseini dan Hamzic, yang menyelidiki upaya dan praktik kriminalisasi kekerasan seksual sebagai bagian dari kekerasan seksual di sebagian besar negara Islam, menemukan bahwa upaya dan praktik tersebut merupakan bentuk kontrol penguasa Islam. Bahkan, dalam beberapa praktik, keinginan untuk menghidupkan kembali kejahatan perzinahan bukanlah upaya untuk mengatasi kekerasan seksual, melainkan suara mayoritas umat Islam dan citra seorang pemimpin Islam yang taat, ternyata hanya sebagai strategi politik untuk membangun.
Kembali dalam topik kekerasan seksual di kampus di mana seringkali dilakukan dalam relasi kuasa yang tidak seimbang, menciptakan adanya pressure yang harus dijalani pihak dengan kuasa yang lebih rendah untuk menuntaskan kewajiban akademiknya. Relasi kuasa yang bersifat hierarkis ini memberikan efek ketergantungan sehingga pihak yang memiliki kuasa yang lebih tinggi cenderung bisa melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Abuse of power banyak terjadi di lingkup yang memiliki struktur hierarkis yang sangat nampak seperti institusi kepolisian-‘penjahat’, hubungan vertikal antara atasan-bawahan, dan dosen-mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Banyaknya laporan beserta studi studi perihal kasus kekerasan seksual terhadap perempuan seringkali dibungkam dan dihilangkan atas nama baik pihak pihak yang bersangkutan seperti institusi Universitas, Lembaga Kepolisian dan lainnya. Hal ini tentu memunculkan kesalahan berpikir dan ketimpangan relasi kekuasaan yang terjadi. ini tak lain dari perilaku Misogini yang menstandarkan dunia pada nama baik anak laki-laki dengan selalu bertumpu pada kesalahan perempuan. Kasus yang terjadi pada Universitas Riau dan Universitas Sriwijaya,antara dosen atau dekan dengan mahasiswa ini telah membuktikan bahwa adanya ketimpangan relasi kekuasaan yang hirarkis antara Dosen dengan Mahasiswa, dimana ketergantungan antara individu dalam hal ini mahasiswa dengan individu lainnya yang lebih berkuasa yaitu dosen demikian sebagaimana dijabarkan foucault kemudian akhirnya berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Dimana ada relasi, di sana ada kekuasaan (Zaidan,2020).
ADVERTISEMENT
Ruang aman bagi semua korban yang mengalami tindakan dan pengalaman yang tidak baik bagi korban dapat dimuali dengan tidak melakukan tekanan terhadap korban. Tetapi kita harus melakukan memebri dukungan penuh kepada korban dan memberikannya wadah untuk dapat menyampaikan kekerasan seksual atau diskriminasi yang dialami korban. Oleh sebab itu pentingnya bagi pemerintah maupun masyrakat untuk dapat membuat dan mendukung regulasi agar membuat kampus menjadi wadah pendidikan yang aman bagi seluruh mahasiswa dan civitas akademik. Kampus sejatinya adalah tempat menimba ilmu yang seharusnya menjadi ruang aman bagi pelajar serta dari lingkungan perguruan tinggi nantinya para penerus bangsa ini dapat membuat perubhn berarti bagi bangsa.
Berdasarkan hal tersebut, apa yang terjadi di lingkungan kampus masih banyak terjadi dan hanya menjadi fenomena gunung es yang perlu penyelesaian dan pemahaman bersama dari berbagai sisi. Adanya relasi kuasa yang tidak seimbang mengakibatkan pada ketergantungan satu pihak untuk menuntaskan kewajiban akademik menginisiasi rentannya penyalahgunaan kekuasaan untuk kepuasan pribadi yang tidak bermoral. Kelompok perempuan yang sering kali menjadi sasaran pelecehan karena masih tingginya objektifikasi terhadap perempuan, menambah daftar panjang faktor tingginya angka kekerasan seksual di lingkungan kampus. Distorsi penafsiran frasa konsensual dalam payung hukum untuk perlindungan kekerasan seksual di lingkungan kampus seakan mengisyaratkan bahwa keadilan terhadap perempuan masih sulit dicapai, bahkan hingga pada level penegakan dan perlindungannya. Semoga ke depannya Indonesia bisa menjadi negara yang lebih ramah terhadap kelompok perempuan agar perempuan senantiasa bisa merasa aman dan nyaman di ruang publik tanpa khawatir dilecehkan dan mendapatkan akses atas keadilan.
ADVERTISEMENT
Tulisan ini merupakan opini dari Mahasiswi Ilmu Politik Veteran Jakarta,
Riska, Isma, Aura.