Hukuman Mati untuk Koruptor di Kabupaten/Kota Ramah HAM

Aura Putri
Sedang menyibukkan diri dengan berusaha membaca dan menulis tentang Hak Asasi Manusia
Konten dari Pengguna
26 September 2018 17:49 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aura Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Korupsi secara literal berarti penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain [Lihat: KBBI]. Catatan kinerja Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), setidaknya terdapat 114 kegiatan penyelidikan korupsi yang dilakukan di tahun 2017.
ADVERTISEMENT
Dengan banyakya kasus korupsi yang terjadi, khususnya di Indonesia, perdebatan mengenai hukuman apa yang patut dikenakan pada pelaku tindak pidana korupsi kemudian banyak bermunculan. Sebagian beranggapan hukuman mati dapat menjadi solusi alternatif, sementara lainnya justru beranggapan bahwa hukuman mati menjadi kontra-produktif terhadap pencegahan korupsi di masa datang dan lebih memilih opsi sanksi pidana yang bersifat reparatif.
Lalu, masih pantas dan efisienkah hukuman mati bagi para koruptor?
Analisis Ekonomi atas Hukum
Setidaknya terdapat dua pendekatan untuk mengukur tingkat efisiensi hukuman mati bagi koruptor. Pertama, pendekatan analisis ekonomi atas hukum. Analisis ekonomi atas hukum berasumsi bahwa manusia secara rasional akan berusaha mencapai kepuasan maksimum bagi dirinya.
ADVERTISEMENT
Prinsip utama yang digunakan untuk memahami analisis ekonomi atas hukum pidana adalah prinsip rasionalitas dan prinsip efisiensi. Prinsip ini bekerja dengan menggunakan metode ilmu ekonomi sebagai kerangka teoritis guna menganalisis aturan dan hukum yang digunakan pada kalangan masyarakat tertentu.
Awas Caleg Koruptor (Foto: kumparan)
Melalui prinsip tersebut, sanksi pidana penjara menjadi tidak efisien, sebab memerlukan ongkos sosial yang sangat tinggi. Ongkos pembangunan gedung penjara koruptor, pemeliharaan, menggaji para pegawai penjara, dan ongkos kesempatan yang hilang dari produktivitas narapidana, misalnya, sangat timpang dengan nominal uang negara yang telah dikorupsi.
Penelitian dan Pelatihan Ekonomika dan Bisnis (P2EB) Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, merilis hasil analisis terhadap 1.365 kasus korupsi di Indonesia yang sudah mendapatkan putusan tetap dari Mahkamah Agung. Setidaknya terdapat 1.842 terdakwa koruptor selama 2001 sampai 2012, dengan nilai total hukuman denda finansial Rp 15,09 triliun.
ADVERTISEMENT
Sebagai pembanding, nilai denda finansial tersebut tidak sebanding dengan besaran jumlah nilai uang yang dikorupsi, yakni Rp 168,19 triliun. Artinya koruptor hanya membayar denda sebanyak 8,9 persennya saja. Dengan kata lain, negara kehilangan uang sebanyak Rp 153,1 triliun selama kurun waktu 2001-2012.
Melalui perhitungan efisiensi ekonomi tersebut, dapat disimpulkan, penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi adalah bentuk hukuman yang efisien. Hukuman mati tidak hanya dapat memberikan efek jera absolut, namun pula efektif dalam mereduksi jumlah ongkos sosial.
Merujuk pada apa yang telah diuraikan, dapat dilihat bahwa hukuman mati diberlakukan demi menciptakan rasa aman yang niscaya di dalam masyarakat. Negara pada dasarnya memiliki tugas untuk melindungi masyarakat dan memberikan jaminan rasa aman pada rakyatnya.
ADVERTISEMENT
Konsep ini tertuang dalam teori kebebasan milik John Stuart Mill, khususnya pada maxim kedua, di mana individu bertanggung jawab pada orang lain, atas tindakannya, ketika tindakannya mengganggu dan/atau mengintervensi kepentingan dan kebebasan orang lain, dan Negara berhak memberikan social atau legal punishment terhadap individu tersebut.
Hukuman mati kemudian dirasa cocok diberlakukan karena dengan diadilinya pelaku kejahatan dengan hukuman mati berarti membunuh satu kuman kejahatan di negara tersebut. Negara sudah sepatutnya melindungi masyarakat banyak sehingga dirasa pantas untuk mengorbankan seseorang demi penjaminan kemanan masyarakat banyak.
Foto Ilustrasi Hukum Koruptor (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Analisis Pidana Modern
Pendekatan kedua yang dapat digunakan untuk menganalisa problem hukuman mati koruptor adalah analisa hak asasi manusia. Analisa HAM ini berkaitan erat dengan konsep pidana modern yang lahir pada abad ke-19. Pidana modern memiliki asumsi bahwa tindak kejahatan yang dilakukan seseorang perlu dilihat secara konkret dan dipengaruhi oleh faktor-faktor pendukung yang beragam.
ADVERTISEMENT
Faktor-faktor eksternal pendorong ini dipertimbangkan karena bagi para pemikir pada era tersebut, tindakan manusia secara tidak langsung pasti dipengaruhi oleh sekitarnya. Yang dipercayai oleh para pemikir tersebut bahwasannya manusia tidak memiliki kebebasan yang benar-benar utuh.
Konsep yang ditawarkan oleh pidana modern adalah penolakan atas pembalasan yang didasari oleh subjektivitas. Dari konsep awal tersebutlah maka yang ingin dijunjung oleh pidana modern adalah konsep pemulihan/reparasi dan menghendaki adanya individualisasi pidana yang bertujuan untuk mengadakan resosialisasi pelaku.
Dari penjelasan singkat tersebut, disimpulkan bahwa konsep pidana modern tidak menaruh fokus pada penghukuman yang bersifat represif dan membalas dendam. Yang ingin dikedepankan dan dibenahi oleh pidana modern adalah moral dan mental para pelaku kejahatan.
ADVERTISEMENT
Pidana modern tidak ingin para pelaku kejahatan hanya sekadar diberikan efek jera namun lebih dari itu, yakni pembekalan akan moral dan keterampilan yang jauh lebih baik dari sebelumnya sehingga ketika para pelaku kejahatan tersebut keluar dari tahanan, ia akan menjadi manusia yang lebih baik bagi masyarakat di sekitarnya.
Semangat humanisme mengenai bagaimana manusia kembali dimanusiakan dan dapat hidup berdampingan dengan manusia lainnya tanpa merasa terteror, adalah hal yang diperhatikan dalam konsep pidana modern.
Seperti yang telah disinggung sebelumnya, pidana modern masih mempertimbangkan faktor-faktor eksternal yang mendorong seseorang dalam melakukan sebuah tindak kejahatan. Faktor-faktor pendorong ini dapat datang dari mana saja--misalnya dari kondisi sosial, ekonomi, moral masyarakat, dan lainnya.
ADVERTISEMENT
Dari sanalah, maka penting bagi pembuat kebijakan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang sekiranya memperhatikan faktor-faktor tersebut. Para pembuat kebijakan mesti paham bahwa untuk mengurangi kejahatan adalah dengan membenahi faktor-faktor pendorong tersebut sehingga dorongan untuk bertindak jahat dapat diminimalisir sampai ke titik terendah.
Jika ditarik pada perihal pengenaan hukuman mati bagi koruptor, hukuman mati menjadi tidak efektif karena tidak serta-merta memberikan efek jera pada para pelaku, melainkan sekadar memberikan rasa takut bagi para calon penindak korupsi. Ini pula didukung dengan fakta belum adanya bukti ilmiah konklusif-kausalistik antara korelasi positif hukuman mati dengan menurunnya tingkat kejahatan.
Hal lainnya, hukuman mati menjadi kontradiktif dengan tujuan hukum modern itu sendiri, yakni menegakkan tonggak kemanusiaan, serta berpotensi memperpanjang rantai kejahatan, sebab penghilangan nyawa adalah sebuah kejahatan.
ADVERTISEMENT
Di sisi lain, hukuman mati menunjukkan adanya pelanggaran hak asasi manusia yang paling mendasar, yakni hak untuk hidup. Ini dipertegas melalui Pasal 28A UUD 1945 yang menyebutkan, “bahwa setiap orang memiliki hak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Serta Pasal 28I ayat (1) yang menyebutkan, “hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Penangan Korupsi dalam Kerangka Kabupaten/Kota Ramah HAM
Konsep Human Rights Cities (Kabupaten/Kota Ramah HAM) pertama kali disahkan pada Deklarasi Gwangju tentang Hak Asasi Manusia pada tahun 2011. Kab/Kota Ramah HAM merupakan komunitas lokal yang menggunakan pedoman dasar hak asasi manusia dalam mendasari kebjiakan, pernyataan, dan program-programnya [Lihat: Gwangju Declaration on Human Rights Cities in 2011].
ADVERTISEMENT
Lebih jelasnya, konsep ini memastikan bahwa semua penduduk, terlepas dari apa pun ras, jenis kelamin, warna kulit, kebangsaan, latar belakang etnis dan status sosial, dan khususnya minoritas dan kelompok rentan lainnya yang rentan secara sosial dan terpinggirkan, dapat berpartisipasi sepenuhnya dalam proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan yang mempengaruhi kehidupan mereka di sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia seperti non-diskriminasi, supremasi hukum partisipasi, pemberdayaan, transparansi, dan akuntabilitas [Lihat: Dokumen World Human Rights Cities Forum 2017 (poin nomor 5)].
Laporan INFID (2017) menunjukkan, sampai saat ini sebanyak 11 kepala daerah telah menandatangani deklarasi Kab/Kota Ramah HAM. Diharapkan, ke depannya akan lebih banyak lagi daerah-daerah turut berpartisipasi dalam penerapan Kab/Kota Ramah HAM. Dengan pengandian akan diterapkannya Kab/Kota Ramah HAM di seluruh Indonesia, isu pantas atau tidaknya, dan efisien atau tidaknya hukuman mati di Indonesia, dirasa layak untuk dibedah melalui pendekatan pidana modern.
ADVERTISEMENT
Seperti yang sudah dijelaskan pada sub-bab Analisa Pidana Modern, pendekatan reparatif lebih dianjurkan ketimbang pendekatan yang represif. Pidana modern, mengedepankan sisi humanisme, yang berkaitan erat dengan prinsip-prinsip dasar Hak Asasi Manusia. Melalui pendekatan ini, analisa ekonomi atas hukum menjadi kontra-produktif dengan apa yang dicita-citakan oleh pidana modern, yakni reparasi kualitas hidup seseorang.
Analisa ekonomi atas hukum, dalam hal hukuman mati bagi penindak korupsi, mungkin terasa lebih efisien jika diukur melalui perhitungan matematis, Kendati demikian, ia berpotensi mencederai hak negatif manusia, yakni hak hidup. Hak diklasifikasikan menjadi dua jenis, yakni hak negatif dan hak positif.
Hak negatif mengimplikasikan adanya kewajiban individu lain untuk tidak mengintervensi relasi subjek hak dan objek haknya. Sedangkan hak positif mengimplikasikan adanya kewajiban individu lain untuk mempertahankan relasi subjek hak dan objek haknya. Sementara itu, untuk mencapai identitas Kab/Kota Ramah HAM, nilai-nilai Hak Asasi Manusia perlu dikedepankan, termasuk hak dasar untuk hidup.
ADVERTISEMENT
Hukuman mati bisa saja memberikan efek takut pada calon koruptor, sekaligus menekan biaya operasional negara. Meski demikian, ia tidak serta-merta dapat menjamin sekuritas Hak Asasi Manusia seseorang. Dengan demikian, hukuman mati bagi para koruptor bukanlah hal yang tepat dilakukan jika ingin mewujudkan Kab/Kota Ramah HAM.
Hukuman pidana yang bersifat reparatif dirasa lebih layak untuk diterapkan, sebab memanusiakan manusia tidak sekadar perihal efisiensi belaka, namun jauh terasa lebih pantas dibandingkan dengan merenggut nyawa manusia.
Pertanyaannya kemudian, akankah seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia mengadopsi Kab/Kota HAM? Lebih lanjut, sudahkah Indonesia benar-benar ramah terhadap HAM?
Sumber:
Basari, Taufik. 2006. Hak Asasi Manusia: Teori, Hukum, Kasus. Depok: Filsafat UI Press.
Stuart Mill, John. 1909. On Liberty. The Floating Press.
ADVERTISEMENT
http://www.tempo.co/read/news/2013/03/04/058464996/Akibat-Korupsi-Uang-Negara-Menguap-Rp16819-triliun (diakses pada Jumat, 06 April 2018, pukul 20.29 WIB).