news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ratna Sarumpaet dan Para Pemaaf Hoaks

Aura Putri
Sedang menyibukkan diri dengan berusaha membaca dan menulis tentang Hak Asasi Manusia
Konten dari Pengguna
5 Oktober 2018 0:38 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Aura Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Aktivis Ratna Sarumpaet (tengah) tiba di Mapolda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Kamis (4/10).  (Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
zoom-in-whitePerbesar
Aktivis Ratna Sarumpaet (tengah) tiba di Mapolda Metro Jaya untuk menjalani pemeriksaan di Jakarta, Kamis (4/10). (Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
ADVERTISEMENT
Sempat terbesit rasa iba ketika saya melihat foto Ratna Sarumpaet dengan lebam di seluruh wajahnya. Foto itu tersebar pada 2 Oktober 2018 dengan cepat di lini masa Twitter saya, dibarengi dengan informasi yang menyebutkan kalau RS dipukuli pada tanggal 21 September 2018 silam.
ADVERTISEMENT
Rasa iba saya ternyata tidak bertahan cukup lama. Saya merasa ada yang janggal ketika informasi beredar bahwa RS menolak untuk melaporkan ke pihak kepolisian. Aneh rasanya, sebab sepertinya kita semua tahu bagaimana persona yang ditampilkan RS selama ini. Ia biasa lantang terhadap hal-hal yang menurutnya bertolak belakang dengan keadilan, tidak memihak rakyat kecil, atau bahkan merugikan pihak-pihak yang menurutnya patut dibela.
Namun, RS kali ini justru memilih bungkam. Ia sekadar hadir di foto-foto dan video dengan memasang muka lesu dan sedih. Bukankah pemukulan ini, seharusnya, merugikan dirinya?
Dari sekian banyak foto dan video yang beredar, video yang diunggah oleh Hanum Rais cukup banyak mendapat sorotan. Dalam video yang diunggahnya tersebut, Hanum Rais mengungkapkan rasa sedihnya. Hanum Rais bahkan terlihat menangis sembari merangkul RS. Tak cukup, Hanum Rais mempertanyakan keadilan hukum di Indonesia terkait dengan kejadian yang menimpa Ratna Sarumpaet.
ADVERTISEMENT
Selagi saya memproses keanehan-keanehan tersebut, lini Twitter saya disesaki dengan debat kusir yang tidak kunjung sudah. Beberapa orang, yang berasal dari pendukung oposisi capres petahana, turut bersedih dan mengutuk kejadian yang menimpa Ratna Sarumpaet. Mereka juga berdalih, pemukulan pada Ratna Sarumpaet adalah bentuk keliaran pendukung capres petahana yang sengaja ingin membahayakan Ratna Sarumpaet.
Ini mungkin terjadi karena Ratna Sarumpaet sampai saat itu adalah timses dari pasangan Prabowo-Sandiaga. Sementara itu, sebagian lagi justru meragukan pemukulan tersebut dan beranggapan bahwa lebam di wajah Ratna Sarumpaet adalah akibat tindakan operasi plastik.
3 Oktober 2018, tepat satu hari setelah berita pemukulan terhadap Ratna Sarumpaet menyebar di berbagai media, Ratna Sarumpaet akhirnya melakukan konferensi pers. Ia mengakui, bahwa berita yang telah tersebar adalah hoaks belaka. Diakui oleh Ratna Sarumpaet, lebam di wajahnya tersebut adalah efek dari sedot lemak pipi yang baru saja dilakukannya.
ADVERTISEMENT
Ratna Sarumpaet juga mengaku dirinya adalah penyebar hoaks terbaik saat ini, sebab dapat membohongi banyak orang, termasuk petinggi-petinggi seperti Amien Rais dan Prabowo Subianto.
Seusai konferensi pers, pernyataan-pernyataan dari orang-orang yang mendukung Ratna Sarumpaet mulai bermunculan. Beberapa meminta pertanggungjawaban Ratna Sarumpaet, sebagian lainnya memaafkan Ratna Sarumpaet meski tetap kecewa.
Bagi saya, hal ini menjadi menarik untuk dibahas. Bukan karena ini berkaitan atau tidak dengan Pilpres pada 2019 nanti. Lantaran, bagaimana fanatisme bisa memengaruhi cara pandang dan kadar toleransi seseorang. Neil Postman, pada bukunya Crazy Talk, Stupid Talk (1976), menuliskan bahwa kunci dari kepercayaan yang fanatik adalah pembenaran diri. Fanatisme terjadi bukan karena seseorang melakukan “kesalahan”, melainkan karena seserang cenderung menyatakan bahwa ia tidak pernah terlihat salah.
ADVERTISEMENT
Permohonan maaf Ratna Sarumpaet tentu menunjukkan kerendahan hatinya untuk mengakui bahwa ia telah melakukan kesalahan. Meski, tentu saja, permintaan maaf sepertinya tidak sepadan dengan efek yang telah ditimbulkan, yakni perpecahan yang semakin menjadi.
Kendati demikian, tulisan ini bukan sepenuhnya tentang Ratna Sarumpaet, melainkan tentang sebagian pendukungnya yang--entah sadar atau tidak--telah sampai di tahap fanatik. Ini ditunjukkan dari pernyataan beberapa orang yang awalnya begitu lantang mengutuk pemukulan terhadap Ratna Sarumpaet, namun seketika dengan mudahnya memaafkan tindakan Ratna Sarumpaet yang berujung pada penyebaran hoaks massal. Hanum Rais bahkan menuliskan bahwa sebaiknya manusia mencontoh Rasulullah untuk bisa memaafkan sesama.
Menarik bagaimana tingkat toleransi seseorang terhadap kesalahan bisa begitu elastis. Tindakan pemukulan (yang bahkan tidak terjadi) dapat dikutuk sejadi-jadinya, namun penyebaran hoaks yang memberikan efek panjang justru bisa ditolerir dengan mudah.
ADVERTISEMENT
Memberi maaf, sungguhnya, adalah perbuatan baik. Namun, pemberian maaf yang disusul dengan pembenaran-pembenaran atas kesalahan yang dianggap wajar, nampaknya menjadi kurang bijak jika kita menghitung efek yang ditimbulkan dari kasus “pemukulan Ratna Sarumpaet” ini.
Hanum Rais mungkin hanya satu dari sekian banyak orang yang mereduksi kebohongan yang diproduksi Ratna menjadi sebuah kesalahan yang manusiawi. Jika demikian, lebih membahayakan mana, penyebar hoaks atau orang-orang yang mewajarkannya dengan segala pembenaran-pembenarannya?