Colorism: Ketika Warna Kulit jadi Standar Kecantikan Indonesia

Ave Airiza
Journalism Student of Polytechnic State of Jakarta. SEO Content Writer Internship at kumparan Bisnis.
Konten dari Pengguna
13 Mei 2020 21:59 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ave Airiza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Warna Kulit. Foto: Pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Warna Kulit. Foto: Pexels
ADVERTISEMENT
Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia, karena memiliki 17. 509 pulau. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku, adat istiadat, agama, dan budaya. Meskipun berbeda- beda tetapi tetap satu jua, itulah Bhinneka Tunggal Ika, semboyan dari Negara kami.
ADVERTISEMENT
Tetapi, apakah semboyan Negara itu benar-benar sudah diimplementasikan dengan baik dalam kehidupan bermasyarakat?
“ Saya masih ingat, betapa seringnya saya mendapatkan ejekan karena warna kulit saya yang gelap,” ujar wanita yang merasa terdiskriminasi karena perbedaan warna kulit.
Colorism merupakan kepercayaan atau asumsi bahwa suatu warna kulit lebih baik daripada warna kulit lain. Semakin terang semakin baik, dan semakin gelap semakin buruk. Orang yang berkulit putih atau cerah cenderung berada pada status sosial yang tinggi dan banyak disukai masyarakat.
Fenomena ini muncul karena Indonesia pernah dijajah oleh bangsa berkulit putih. Diskriminasi yang dulu dirasakan oleh penduduk Indonesia, telah mendarah daging. Akibat dari fenomena tersebut, terjadi diskriminasi warna kulit di antara masyarakat Indonesia itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Mayoritas orang Indonesia adalah mereka yang memiliki kulit kuning langsat hingga sawo matang, orang-orang biasa menyebut kulit eksotis.
Tetapi karena colorism mendarah daging dalam diri masyarakat Indonesia, mereka yang berkulit gelap berlomba – lomba untuk mendapatkan kulit yang putih atau cerah agar mendapatkan pengakuan dari orang lain, bahwa mereka “cantik”. Menggunakan krim pencerah wajah dan badan atau pergi ke salon kecantikan merupakan cara yang ditempuh.
Ada yang berhasil, namun ada pula yang gagal. Mereka yang berhasil mengubah warna kulit, akan merasa bangga dan masih akan tetap mempercayai colorism. Dan mereka yang gagal meskipun telah menggelontorkan uang yang banyak, akan menyesal dan mulai mencintai diri sendiri.
Diskriminasi warna kulit juga aku rasakan ketika aku ingin membeli produk kosmetik wajah. Hanya sedikit pilihan warna yang tersedia untuk kulit orang Indonesia. Hampir semua shades yang tersedia adalah untuk mereka yang memiliki kulit cerah.
ADVERTISEMENT
Kecantikan tidak berpatokan pada warna kulit semata. Tuhan menciptakan kalian dengan amat sangat baik. Kalian cantik karena kalian ciptaan Tuhan.
Berhenti untuk bersikap diskriminan. Sudah berapa banyak orang yang kamu sakiti karena kamu bersikap demikian?
Mencintai diri sendiri dan bersyukur atas apa yang kita punya, merupakan langkah awal untuk terbebas dari colorism. Jangan dengarkan perkataan orang yang menggunjing kita karena warna kulit kita yang gelap.
Aku merupakan korban dari colorism, dan aku tidak ingin kamu menjadi korban selanjutnya.
Kita Indonesia, kita saudara, kita keluarga. Sudah patutnya kita untuk saling mencintai, memuji, dan menolong sesama. Hentikan colorism dan sadarkan si colorist. Kalau bukan kamu yang mulai, siapa lagi?
ADVERTISEMENT
(Ave Airiza Gunanto/ Politeknik Negeri Jakarta)