Dipersatukan oleh Lara, hingga jadi Pelipur Lara

Ave Airiza
Journalism Student of Polytechnic State of Jakarta. SEO Content Writer Internship at kumparan Bisnis.
Konten dari Pengguna
12 Mei 2020 16:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ave Airiza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pertemanan. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pertemanan. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
“Pandai sekali berbohong, padahal hatinya sakit. Segala luka dan derita dia emban sendiri. Kalian punya hak untuk bercerita, menangis, atau bahkan mengadu. Kalian didengarkan dan dicintai oleh semesta. “ – Nadin Amizah
ADVERTISEMENT
Perih yang tak kunjung diobati membekas dalam jiwa. Tak pandai mengungkapkan kesesakan yang ada di hati merupakan poin utama dalam hidupku.
Tak semua orang dapat mengekspresikan kesedihan dalam dirinya. Dan tak semua orang memiliki kepekaan untuk membantu jiwa yang terbelenggu. Salah atau tidak yang aku tahu manusia memiliki kesibukannya masing-masing. Hanya segelintir orang yang dapat mengesampingkan masalahnya untuk membantu sesama.
Aku menyebut mereka teman jiwa. Teman yang tergabung dalam komunitas, yang memiliki lara yang serupa. Kita terhubung karena kesamaan yang kita miliki, dan perbedaan masalah yang ada. Mayoritas dalam komunitas ini adalah mereka yang mengalami broken home, dan mereka yang merasa terasingkan semesta.
ADVERTISEMENT
Aku bersyukur bisa menemukan mereka yang satu frekuensi denganku. Aku jadi semakin mengenal dunia yang tak seindah cerita di buku dongeng. Permasalahan merupakan makanan dalam kehidupan. Setiap individu memiliki permsalahannya sendiri dan setiap individu memiliki tingkat kesakitan yang berbeda.
Kami saling bertukar cerita, dan bertukar pikiran. Ada waktu dimana aku mendengarkan mereka yang mengeluh, lalu memberi masukan dan sedikit motivasi. Dan ada waktu lain dimana aku yang mengeluh tentang semesta yang tidak sejalan denganku.
Kami tidak saling menyalahkan ketika sedang bercerita, karena kami tau yang dibutuhkan bukan argumentasi tetapi kenyamanan dalam bercerita.
Terkadang senyum merupakan tameng yang aku gunakan untuk menutupi kesedihan dalam diriku. Karena aku tahu tidak semua orang baik.
ADVERTISEMENT
Ada orang yang berpura-pura baik kepadaku, lalu mencemooh dan menertawai masalah yang aku hadapi di belakangku. Aku sangat menghindari manusia seperti itu. Aku lebih memilih berteman dengan mereka yang berani membicarakan secara langsung keburukan yang ada di dalam diriku.
Kehidupan yang kami alami tak melulu pedih dan suram, seperti yang kebanyakan orang pikirkan. Kami juga menjalani kehidupan layaknya manusia lain.
Kami memiliki cita dan angan yang tinggi. Mungkin kepedihan memang bagian dari jiwa kami, tetapi kebahagiaan adalah hak kami.
Bangkit bersama dari keterpurukan merupakan kebahagiaan. Berhenti berpikir bahwa kami akan kalah dengan segala masalah. Kami tidak seperti itu, kami memiliki tujuan dalam hidup, sama seperti manusia lainnya.
ADVERTISEMENT
Untuk kamu teman jiwaku dan untuk kamu yang juga merasakan hal yang sama denganku. Kamu perlu tahu bahwa semesta mencintai kamu, dengan apa adanya dirimu.
Kamu berhak bahagia, kamu berhak untuk menangis dan mengadu. Jangan takut untuk terlihat sedih. Tak semua senyum berisi kebahagiaan.
Lelaki atau perempuan, kamu berharga dan patut dicintai. Menangislah ketika sedih, tertawalah ketika bahagia. Kamu adalah kamu, jangan bohongi diri kamu sendiri.
Berhenti berbicara bahwa masalah yang kamu alami jauh lebih besar dibanding masalah orang lain. Tingkat kepedihan dalam setiap individidu berbeda-beda. Lebih baik diam daripada berkomentar yang menyakitkan.
Selalu berbuat baik kepada semua orang, tak terkecuali mereka yang jahat kepada kita. Berpikirlah terlebih dahulu sebelum kamu berbicara, karena bisa saja ada kalimat yang kamu ucapkan dan menyakitkan perasaan orang lain.
ADVERTISEMENT
Hiduplah seperti lilin, yang menerangi kegelapan. Jadilah manfaat bagi sesama, agar hidup yang kamu jalani penuh dengan berkat.
(Ave Airiza Gunanto/ Politeknik Negeri Jakarta)