Kesadaran Naif Kita Semua

Avicenna Raksa Santana
Dialog sehat yuk~
Konten dari Pengguna
21 Desember 2017 19:20 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Avicenna Raksa Santana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kesadaran Naif Kita Semua
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Berpolemik tidak pernah menyenangkan buat saya. Sebab, saya sadar betul kapasitas keilmuan saya masih belum seberapa. Makanya, saya seringnya hanya berdoa diam-diam, mengharapkan agar ada orang lain yang lebih kompeten yang mau merespons tulisan yang saya anggap kurang pas.
ADVERTISEMENT
Namun, kali ini, saya agak tak tahan untuk berkomentar. Tulisan Tony Rosyid, LGBT: The Naival Consciousnes, cukup mengganggu kedamaian jiwa saya beberapa jam belakangan ini. Ada sejumlah poin dalam tulisan tersebut yang saya anggap silap dalam melihat teori maupun fenomena terkait LGBT.
Penulis mencatut begitu saja teori dari Paulo Freire soal kesadaran kritis (critical consciousness). Ia memelintir teori tersebut sedemikian rupa, sehingga tercipta klaim bahwa kelompok LGBT dan simpatisannya memegang kesadaran naif (naive consciousness--oh, omong-omong, "naival" tidak ada di kamus).
Saya tidak yakin betul apa yang penulis pahami dari ide-ide Freire--penulis tidak menjabarkan teori yang ia gunakan. Namun, sejauh yang saya pahami, level kesadaran yang Freire cetuskan bukanlah sebuah ajakan untuk berkompromi dengan fakta. Justru, sebaliknya, teori Freire adalah ajakan untuk melawan segala kompromi terhadap para penindas.
ADVERTISEMENT
Freire menyebutkan ada tiga tingkat kesadaran yang harus ditempuh untuk terbebas dari penindasan. Bermula dari kesadaran magis, ke kesadaran naif, hingga ke kesadaran kritis.
Dalam tahap kesadaran magis, seseorang masih merasa tak berdaya, dan menganggap semuanya terberi dan diatur oleh Sang Pencipta. Sementara, saat sampai di kesadaran naif, seseorang sadar ia tertindas, namun memilih abai dan menerima kondisinya. Baru akhirnya, di kesadaran kritis, seseorang sadar ia tertindas, dan memutuskan untuk berjuang demi haknya.
Pendek kata, klaim penulis boleh jadi keliru. Setahu saya, pihak-pihak yang bersolidaritas untuk kelompok LGBT adalah orang-orang yang sadar betul dengan opresi yang terjadi. Dasar mereka sains dan kemanusiaan. Lawan mereka adalah setiap praktik diskriminatif, yang telah dilanggengkan sekian lama, di institusi-institusi, di masyarakat, bahkan di ranah privat mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Mungkin penulis baiknya tidak usah berpretensi ilmiah dengan membawa-bawa Freire dan Hegel. Toh intinya penulis hanya ingin mengatakan bahwa, sekalipun tidak ada yang salah dari LGBT, LGBT tetap harus selalu salah, kan? Segala macam andai-andai juga hanya untuk meyakinkan bahwa dirinya benar. Padahal, tidak sedikit orang yang dengan tegas menjawab: saya siap menerima anak saya apapun orientasi seksual yang ia miliki.
Meski begitu, saya senang dengan pemaparan penulis di paragraf dua. Benar semata bahwa kelompok LGBT membutuhkan perlindungan dari negara. Baik dari tindak diskriminasi, persekusi, maupun upaya kriminalisasi--tiga hal yang terjadi di masyarakat. Saya juga agak setuju dengan ajakan menyelamatkan LGBT. Namun bedanya, mereka bukan diselamatkan dari orientasi seksual mereka, melainkan dari pihak-pihak yang mengusik dan menindas.
ADVERTISEMENT
Ah, saya benar-benar tidak suka berpolemik. Tapi saya juga tidak ingin diam dan membiarkan kawan-kawan saya ditindas. Saya ingin beranjak ke kesadaran kritis. Semoga bisa.