The Post: Perempuan dan Pers Melawan

Avicenna Raksa Santana
Dialog sehat yuk~
Konten dari Pengguna
7 Maret 2018 17:27 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Avicenna Raksa Santana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
The Post (2017) (Foto: Youtube.com/FilmIsNow Movie Bloopers & Extras)
zoom-in-whitePerbesar
The Post (2017) (Foto: Youtube.com/FilmIsNow Movie Bloopers & Extras)
ADVERTISEMENT
Ada dua hal yang lantang bersuara dalam ‘The Post’: pers dan perempuan. Pers diwakili oleh Washington Post; sementara perempuan diwakili oleh pemiliknya, Kay Graham. Bersama, mereka melawan kesewenang-wenangan pemerintah dan dikte dari pasar.
ADVERTISEMENT
Pangkal konflik adalah riset Secretary of Defense, Robert McNamara. Studi yang bersifat rahasia tersebut meneliti soal keterlibatan Amerika Serikat di Vietnam.
Ditemukan bahwa Amerika Serikat tidak mungkin menang di Vietnam. Namun, pemerintah terus menyangkal dan membohongi publik, dengan mengatakan hal-hal positif dari Perang Vietnam.
Untuk apa? Dalam 4.000 lembar halaman studi tersebut tertulis tiga tujuan Amerika Serikat berperang di Vietnam: menjaga gengsi, melawan komunis, dan membebaskan Vietnam Selatan.
Yang terbesar dari tiga tujuan itu--atau disebut oleh dokumennya 70% dari keseluruhan motif--adalah gengsi (to avoid a humiliating U.S. defeat).
Daniel Ellsberg, yang juga terlibat dalam riset McNamara, dan telah menyaksikan sendiri Perang Vietnam, tidak tahan lagi dengan itu semua. Ia kemudian mengopi dan membocorkan studi McNamara kepada pers.
The Post: Perempuan dan Pers Melawan (1)
zoom-in-whitePerbesar
Dalam sebuah forum, Noam Chomsky menyebut tindakan pembocoran Daniel Ellsberg, adalah wujud dari baktinya (duty) kepada rakyat, yang melebihi baktinya kepada negara. Pendeknya, Ellsberg berubah dari analis militer menjadi aktivis visioner.
ADVERTISEMENT
Walaupun, jelas itu tidak cukup. Satu pembangkang tidak berarti apa-apa. Ellsberg butuh disokong oleh khalayak. Dan untuk mengajak khalayak menyokongnya, Ellsberg butuh pers. Tapi di mana posisi pers?
Pertemuan antara Ellsberg dan Ben Bagdikian kemudian jadi kuncinya. Kepada Ben Bagdikian, Ellsberg bertanya, “Bukankah situ rela masuk penjara demi menghentikan perang?” Ben Bagdikian menjawab, “Secara teori, iya.
Tidak puas dengan jawaban macam itu, Ellsberg kembali bertanya. “Situ bakal nerbitin dokumen ini di media situ, kan?” Ben Bagdikian akhirnya menjawab, “Iya.
“Jadi ini bukan sekadar teori, kan,” tutup Ellsberg.
Semua itu disampaikan dalam kemasan visual yang sangat tepat. Sebuah kamar gelap, Ellsberg berdiri, menatap Ben Bagdikian yang duduk di depannya.
ADVERTISEMENT
Visual yang demikian menunjukkan betapa kuatnya tekanan Ellsberg kepada Ben Bagdikian. Atau secara simbolis, menunjukkan betapa kuatnya tekanan dari sumber kebenaran kepada pers.
The Post: Perempuan dan Pers Melawan (2)
zoom-in-whitePerbesar
Cerita terus berjalan. New York Times menjadi media pertama yang mengangkat Pentagon Papers. Usai New York Times diberangus, Ellsberg, lewat Ben Bagdikian, memberikan tongkat estafet tersebut kepada Washington Post. Di sinilah kemudian Kay Graham menjadi penentu.
Proses pembuatan keputusan Kay Graham tidaklah sederhana. Sejak awal, film telah menunjukkan hal-hal yang harus dihadapi oleh Kay. Mulai dari masuknya Washington Post ke bursa pasar, pengucilan yang ia alami sebagai perempuan, hingga momen haha-hihi-nya dengan para pejabat.
Semua itu adalah rantai yang memberatkannya dalam membuat keputusan. Namun, Kay ternyata tidak gentar.
ADVERTISEMENT
Di tengah budaya yang mana perempuan harus melipir ketika para pria berbicara politik, Kay justru menjadi sosok yang membuat keputusan paling politis di film ini.
Bukan hanya negara dan cara pikir pasar yang ia lawan, melainkan juga budaya patriarki.
Orang mungkin bisa berkata bahwa New York Times melakukannya lebih dulu. Tapi orang lupa, bahwa New York Times tidak benar-benar mengetahui secara pasti soal konsekuensi dari mengangkat Pentagon Papers.
Tampak dalam film, Abe Rosenthal membanggakan story soal Pentagon Papers di New York Times kepada Kay. Ia santai-santai saja dalam acara makan-makan itu. Sampai tak lama kemudian, ia dibuat terkejut oleh kabar penuntutan kepada New York Times.
Kay ada di sana menyaksikan bagaimana New York Times dibawa ke pengadilan. Ia juga tepapar betul oleh rentetan konsekuensi yang mungkin muncul bila Washington Post menerbitkan story soal Pentagon Papers.
ADVERTISEMENT
Tidak ada jalan tengah, ataupun win-win solution buatnya. Pilihannya cuma dua: terbitkan atau enggak. Ia pun memilih menerbitkan. Dia orang hebat. Semoga semua pemilik media negeri ini mengikuti jejaknya. Boleh minta “Amin”?