Adam dan Hawa Hari Ini: Kejatuhan yang Jorok

Award News
oleh : pandangan Jogja
Konten dari Pengguna
7 Mei 2018 17:11 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Award News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Adam dan Hawa Hari Ini: Kejatuhan yang Jorok
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dari kota yang sendu di Jawa bagian tengah selatan, di hari-hari saat semua sibuk sendiri mengurus pemilu, buah apel yang menyebabkan kejatuhan Adam dan Hawa dari Surga terlihat sebagai sesuatu yang mentereng.
ADVERTISEMENT
Berdua, mereka melanggar perintah Tuhan untuk rasa ingin tahu yang tak tertanggungkan yang musti dibalas dengan selamanya waktu dalam kubangan segala dosa.
Berdua saja di Surga, tak ada dosa yang jorok ini: dosa yang timbul karena ketaklukan pada tubuh telanjang.
*
Mengikuti dan menuliskan berita hari demi hari terungkapnya skandal pelecehan seksual Jean Claude Arnault “anggota ke-19” Akademi Swedia yang mengancam reputasi Nobel Sastra, terasa sangat melelahkan.
Di Jogja dan Indonesia beserta segala keterbatasannya, samar-samar siapapun bisa terus mendengar bagaimana Pramoedya Ananta Toer semestinya mendapat hadiah paling bergengsi sedunia itu. Hadiah yang menjadi pengakuan beradabnya sebuah bangsa.
Kita bisa berdebat apa artinya beradab, tapi terima saja: kita semua ingin Nobel Sastra.
ADVERTISEMENT
Majalah Newyorker dan harian Inggris dua hari lalu sama-sama menurunkan semacam catatan editorial yang mempertanyakan: Adakah kita musti peduli dengan kehancuran Nobel Sastra tahun ini?
Skandal Nobel benar-benar cerita untuk zaman kita, sebuah kemilau kerahasiaan pemenang yang dijaga keharumannya begitu lama. Perdebatan tentang siapa yang musti menang menjejerkan: penyair Bolivia dengan novelis Korea, pengarang Indonesia dengan Columbia, penyanyi-penulis lagu Amerika dengan dramawan Rusia, dan sebagainya.
Siapapun pemenangnya selalu membawa diskusi tentang arah peradaban, setidaknya dunia yang direngkuh dalam teks sastra dan juga lagu (Dylan menang 2 tahun lalu!)
“Nobel Sastra adalah natal sekular,” kata Alexandra Schwartz, penulis New Yorker.
Dan natal tak akan datang tahun ini. Akademi Swedia telah mengumumkan hadiah Nobel Sastra akan ditunda tahun depan untuk sekaligus akan ada 2 pemenang. Tapi semua tak akan lagi sama.
ADVERTISEMENT
Hadiah Nobel sangat berharga karena reputasi panjang dari pengarang-pengarang hebat yang telah dipilihnya, setidaknya karya-karyanya terus hidup hingga hari ini (entah 100 tahun mendatang).
Ada hadiah yang menawarkan lebih banyak uang untuk keunggulan di bidang lain, seperti hadiah The Fundamental Physics Prize, dengan uang hadiah 2 kali lipat Nobel Sastra atau The Templeton, hadiah untuk kemajuan dalam pemikiran agama.
Tetapi mereka tidak memiliki arti apa-apa, seperti prestis dan pengakuan tinggi dalam horizon waktu, seperti hadiah sastra.
Ketika hadiah itu didirikan, tampaknya sangat mungkin bahwa keseluruhan literatur dunia dapat dinilai dari Stockholm oleh para sarjana yang semuanya bisa membaca dengan lancar dalam empat atau lima bahasa Eropa yang mereka anggap beradab.
ADVERTISEMENT
Dunia menginginkan otoritas budaya yang dapat dipercayainya, dunia membutuhkan sosok keluarga kerajaan yang terdiri dari para penyair, pengarang, dan pemikir besar. “Tapi kini otoritas budaya telah runtuh. Begitu juga cita-cita budaya tinggi global. Mimpi itu, lebih dari reputasi akademi, adalah kehilangan berkabung dalam lelucon yang agak jorok ini,” kata editorial Guardian.
Sementara Newyorker mengatakan skandal akademi adalah pengingat bahwa hadiah itu akan selalu berutang legitimasi pada kita, pembaca. “Hadiah hanya penting jika kita peduli tentang hal itu,” katanya.
Dua perwakilan dari pusat sastra dunia, Amerika dan Inggris telah menuliskan sikapnya. Dari pinggiran, apalagi yang musti dikatakan, kecuali terimakasih tuan Arnault, Anda telah menunjukkan bahwa kami tak perlu rendah diri karena sedemikian rendahnya, ternyata, kalian. Kebobrokan moral, korupsi, petanteng-petenteng karena jabatan, masih menjadi bagian terdalam relung jiwa kalian.
ADVERTISEMENT
Di kejauhan, Gunung Merapi tampak biru, tinggi menjulang. Tulisan ini menyembah sungkem pada seluruh masa lalu gilang gemilang: Borobudur yang tak terlihat. (Sarivita Delman)
Baca juga: