Evan Atar Adaha, Malaikat Penyelamat Sudan Selatan

Award News
oleh : pandangan Jogja
Konten dari Pengguna
1 Oktober 2018 20:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Award News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Evan Atar Adaha, Malaikat Penyelamat Sudan Selatan
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
africanexponent.com
ADVERTISEMENT
Pada 25 September lalu, The UN Refugee Agency (komisi PBB untuk pengungsi) mengumumkan pemenang the UNHCR Nansen Refugee Award 2018, yang dimenangkan ole Evan Atar Adaha, ahli bedah dan kepala rumah sakit Maban Referral Hospital di Bunj, Sudan Selatan.
PBB memberikan penghargaan tahunan tersebut sejak 1954 kepada individu dan organisasi yang mendedikasikan hampir seluruh waktunya untuk memenuhi panggilan kemanusiaan, bagi mereka yang terpaksa meninggalkan rumah mereka menuju tempat-tempat pengungsian.
Etan Atar Adaha, kini berusia 52 tahun, adalah sosok yang mendekati malaikat penyembuh, sosok ideal dari seorang dokter profesional, penyembuh abad modern. Ia merupakan satu-satunya dokter bedah dan kepala rumah sakit, yang dijuluki oleh UNHCR sebagai ketua yang tidak memiliki kantor pribadi, bahkan kursi pribadi untuk beristirahat di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
Bayangkan, bagaimana ia bisa duduk di kursi pribadinya jika angka operasi yang harus ia tangani dengan tangannya sendiri sebanyak 10 pasien dalam 1x24 jam. Rata-rata Dr. Atar melakukan operasi 58 kali setiap minggu dengan segala keterbasan dan peralatan seadanya di Bunj, Maban County, Sudan Selatan.
Atar bekerja di satu-satunya rumah sakit di sana, karenanya pasien selalu membludak dan perlu penanganan ektra padahal tenaga medis hanya seadanya. Fasilitas di rumah sakit itu : satu-satunya mesin x-ray telah rusak, ruang bedah hanya diterangi satu lampu, dan listrik hanya ditopang oleh beberapa genset yang kadang tidak berfungsi.
Maban Referral Hospital yang lebih banyak dikenal orang di Bunj sebagai Rumah Sakit Dr. Atar, memiliki 120 ranjang, dan beberapa fasilitas ruang bedah. Terletak sekitar 600 kilometer dari ibukota negara Sudan Selatan, Juba, juga memiliki 20 ranjang untuk penderita tuberkulosis (TBC). Kadang orang-orang melakukan perjalanan berhari-hari untuk sampai ke rumah sakit tersebut.
ADVERTISEMENT
Dr. Atar dan timnya bekerja cukup keras dan dalam situasi yang genting. Sudan Selatan tidak memiliki fasilitas yang memadai dan tenaga dokter yang mumpuni, obat dan perlengkapan medis sangat susah didapatkan. Ketika Sudan Selatan merdeka dan melepaskan diri dari Sudan pada 2011, negara termuda itu hanya memiliki 120 dokter dan 100 perawat, berbanding 12 juta penduduk.
Bekerja di Tengah Perang Saudara
Evan Atar Adaha, Malaikat Penyelamat Sudan Selatan (1)
zoom-in-whitePerbesar
ibtimes.co.uk
Sejak perang saudara meletus pada Desember 2013, pengungsi meningkat menjadi 4 juta jiwa, sementara fasilitas kesehatan semakin memburuk. Pada masa itu, fasilitas medis dijarah dan dirampas, pekerja medis diintimidasi, ditahan, diculik, dan dibunuh. Terhitung sejak 2013 sesuai laporan UNHCR, sekitar 103 pekerja kemanusiaan telah terbunuh.
ADVERTISEMENT
Sudan Selatan merupakan negara terbesar ketiga yang mengalami masalah kepengungsian akibat lima tahun perang saudara. Situasi di Maban Cunty bergejolak dan kekerasan terus terjadi beberapa tahun terakhir. Beberapa kantor pemerintahan dan organisasi internasional diserang pada bulan Juli tahun ini, Dr. Atar tetap kukuh menjaga rumah sakitnya dan menerima pasien setiap hari, bahkan ketika beberapa anggota tim medisnya harus ikut mengungsi dan menyelamatkan diri keluar dari negara tersebut.
Dr. Atan berasal dari Torit, sebuah desa di bagian selatan Sudan Selatan. Ia menerima beasiswa kedokteran di Khartoum dan kemudian bekerja di Mesir. Pada tahun 1997 ia pindah ke Kurmuk di Blue Nile, sebuah kota yang telah mengalami konflik internal selama 12 tahun, pengeboman di mana-mana. Dr. Atar juga mendirikan sebuah rumah sakit yang merawat warga sipil dan korban dari kedua belah pihak yang bertikai.
ADVERTISEMENT
“Ketika pertama kali tiba di kota itu, rumah sakit hanya tinggal sebuah toilet besar dan satu-satunya yang tertinggal hanya meja operasi,” kenangnya kepada UNHCR. “Tanpa benang mendis, kami hanya menggunakan benang jahit biasa untuk menjahit luka.” Peralatan medis yang ia gunakan hanya satu set alat amputasi dan satu paket sterilisasi kecil yang dihadiahkan oleh seorang dokter Prancis.
Evan Atar Adaha, Malaikat Penyelamat Sudan Selatan (2)
zoom-in-whitePerbesar
Pada tahun 2011, ketika perang antara Sudan dan Sudan Selatan bergejolak, dia dan seluruh timnya bergabung dengan puluhan ribu warga Sudan yang melarikan diri melintasi kota Maban. Dr. Atar mengemasi seluruh peralatan rumah sakit dengan empat mobil dan sebuah traktor. “Butuh satu bulan untuk sampai di Maban. Tak ada jalan pintas. Saat itu musim hujan, sungai-sungai meluap,” katanya.
ADVERTISEMENT
Pada tahun itu, kota Maban merupakan kota kecil dengan beberapa toko yang berjejer di pinggir jalan. Rumah sakit digunakan hanya untuk rawat inap tanpa bisa digunakan untuk pasien yang membutuhkan penanganan lebih. Dr. Atar pertama kali membuka ruang operasi dengan menggunakan meja yang ditumpuk.
Hari ini, penduduk kota Maban, selain 530.000 jiwa merupakan penduduk asli, sekitar 142.000 orang merupakan pengungsi dari Blue Nila dan Kordofan yang tinggal di empat kamp pengungsian. Konflik yang panjang dan tidak berkesudahan sampai hari ini, diperkirakan masih banyak pengungsi yang akan berdatangan ke kota tersebut. Perkiraan UNHCR, sekitar 12.000 pengungsi yang akan mencari suaka di kota tersebut tahun ini.
Bunj dan daerah sekitarnya masih dalam keadaan genting. Masyarakat saling berebut lahan pertanian, lahan ternak dan sumber daya lainnya yang sangat terbatas. Gejolak antara partai politik juga menyebabkan perpecahan. Jam malam diberlakukan. Organisasi kemanusiaan internasional membangun bunker-bunker anti peluru, dan sebisa mungkin mengungsikan penduduk Bunj ke kota Juba.
ADVERTISEMENT
Dr. Atar menjadi salah satu orang yang tetap berada di kota konflik itu, menangani segala penyakit dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan segera. Setiap hari jumlah pasien meningkat, entah sampai kapan. “Setiap Anda memberikan pelayanan medis yang baik, setiap hari makin banyak pasien yang berdatangan,” katanya sambil tertawa kecil.
Fridtjof Nansen, Penjelajah Kutub Norwegia
Evan Atar Adaha, Malaikat Penyelamat Sudan Selatan (3)
zoom-in-whitePerbesar
The UNHCR Nansen Refugee Award pertama kali diadakan pada 1954, setiap pemenangnya berhak menerima Medali Nansen dan uang tunai sebesar USD 100.000 yang diberikan oleh pemerintah Norwegia dan Swiss, Norwegian Refugee Council (NRC) dan IKEA Foundation.
Nansen, diambil dan penghormatan pada Fridtjof Nansen, seorang penjelajah kutub dari Norwegia, negarawan dan penerima Nobel Perdamaian. Nansen menjadi komisaris tertinggi pertama Liga Bangsa-Bangsa dan dikenal sebagai sosok yang memiliki kepedulian tinggi bagi pengugsi di berbagai negara.
ADVERTISEMENT
Setiap tahunnya malam puncak penghargaan Nansen Refugee Award akan digelar di Jenewa, Swiss, kota yang dikenal sebagai “ibukota kemanusiaan dunia.” Diadakan di Batiment des Forces Motrices, penghargaan ini dirangkaikan dengan pertemuan tahunan komite eksekutif UNHCR. Tahun ini, acara akan berlangsung pada tanggal 1 Oktober.
Selain Atar Adaha, pada puncak perayaannya nanti juga akan diundang keempat finalis lainnya. Mereka adalah Samira Harnish (Amerika Serikat) yang menyelamatkan lebih dari seribu wanita yang mengungsi dari Utah ke Amerika Serikat. Mayor Andreas Hollstein dan rekan volunter Altena, Jerman, yang dengan tangan terbuka menerima setiap pengungsi meski melebihi jumlah sebaiknya untuk negara kecil itu. Tuenjai Deetes menghabiskan hampir seluruh hidupnya untuk mengadvokasi orang-orang yang tak memiliki kewarganegaraan di Thailand. Organisasi Reclaiming Cildhood dari Yordania yang menyelamatkan sekitar 500 pengungsi anak-anak dan wanita. (Muhammad Aswar / YK-1)
ADVERTISEMENT