Menjadi Penonton dan Penampil di Cabaret Chairil Vol II Teater Garasi

Award News
oleh : pandangan Jogja
Konten dari Pengguna
25 September 2018 14:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Award News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menjadi Penonton dan Penampil di Cabaret Chairil Vol II Teater Garasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Sabtu malam, 22 September 2018, seluruh ruang di Teater Garasi menjadi panggung. Seorang perempuan berpakaian hitam rapi memandu para penonton di halaman depan, membuka pertunjukan ‘Sisa-Sisa Percakapan’ sebagai sesi terakhir dari Cabaret Chairil Vol II.
Ia menjelaskan, pertunjukan ini akan berlangsung tiga jam yang dibagi ke dalam tiga sesi. Sesi pertama mengambil lima ruang, di ruang arsip, kamar pribadi, tolilet, lorong menuju studio, dan di ruang tamu Teater Garasi.
Pertunjukan dibuka. Para penonton yang tidak terlalu banyak (mungkin hanya 20-30 penonton) dipandu oleh perempuan berpakaian hitam rapi menuju lima ruang tersebut. Saya memilih menonton pertunjukan di toilet untuk pertama. Seorang lelaki telah menunggu.
Ia berpakaian serba putih, memakai kacamata, sedang duduk di salah satu dari tiga kursi yang ada di dalam toilet berukuran satu meter persegi. Kata-kata yang ditulis di tubuhnya bercahaya lantaran sinar UV yang menjadi penerang di ruang gelap itu. Rekaman suara seorang lelaki yang terus berbicara.
ADVERTISEMENT
Ruang itu kecil. Hanya memuat tiga penonton. Saya masuk dengan dua penonton lainnya, duduk di atas kursi, memperhatikan gerakan-gerakan tanpa suara lelaki berbaju serba putih. Gerakannya dipadukan dengan kata-kata yang ditulis di tubuhnya.
Saya membaca beberapa tulisan dengan jelas, “Kegelapan,” “Surga.” Antara gerakan dan kata-kata itu, saya diajak masuk ke dalam suatu suasana yang lebih intens, lebih seperti sedang melakukan pertunjukan bersama di dalam toilet.
Ruang kedua adalah arsip. Seorang perempuan keturunan Cina berpakaian serba hitam. Ia tersenyum; dan tanpa suara mempersilakan saya masuk dan duduk di salah satu dari tiga kursi yang bejejer di depan sebuah bangku dengan sinar lampu belajar yang terang. Perempuan itu duduk di bangku lain di depan saya dan dua penonton lainnya. Ia bergerak, tetap tanpa suara. Gerakannya seperti seorang yang sedang menari, memperlihatkan lembaran-lembaran tulisan yang tak sempat saya baca isinya.
ADVERTISEMENT
Sebuah suara rekaman memandu. Saya pun tak mengerti dan tak memperhatikan perkataan-perkataan dari rekaman itu lantaran terfokus pada gerakan perempuan berpakaian hitam.
Ruang ketiga berada di lorong menuju studio pertunjukan. Sebuah telepon genggam yang sedang merekam video dilekatkan pada sebuah cermin bersar berukuran 2x2 centimeter. Tiga orang penonton dipersilahkan duduk di depan cermin pada sebuah bangku panjang.
Seorang lelaki telah menunggu sembari memegang beberapa lembar tulisan. Dengan sedikit penjelasan, ia lalu memberikan bermacam pertanyaan pada ketiga penonton tersebut, lantas direkam. Apa yang kau lakukan seminggu terakhir? Apa yang kau lakukan pada tahun 2018? Apa yang kau lakukan pada tahun 2016? Apa yang kau lakukan pada tahun 1998?.
Menjadi Penonton dan Penampil di Cabaret Chairil Vol II Teater Garasi (1)
zoom-in-whitePerbesar
Saya tidak terlalu mengerti apa yang sedang terjadi? Apa saya dan para penonton lainnya benar-benar sedang menonton pertunjukan teater, atau jangan-jangan kami sengaja diundang ke pertunjukkan ini, merelakan diri layaknya memasuki laboratorium sebagai kelinci percobaan? Apa pula yang dilakukan beberapa orang yang berkeliaran di seluruh ruang, membawa lembar-lembar pertanyaan yang diajukan kepada para penonton? Apa ini benar-benar pertunjukan?
ADVERTISEMENT
Saya memasuki ruang ke empat di ruang tamu. Seorang perempuan memakai kaos berwarna merah sedang duduk bersila di depan televisi yang juga memperlihatkan seorang perempuan (bule) memakai kaos berwarna merah.
Di sudut lain ruang ini, yang lebih terang, seorang perempuan berpakaian hitam mengumpulkan pasir-pasir yang berserakan, menatanya, lalu merusaknya lagi. (Saya menduga dia adalah Dea Widya, salah satu penampil dalam Cabaret Chairil Vol II. Tapi kenapa ada dua penampilan dalam satu waktu?)
Perempuan berkaos merah itu duduk, mempersilakan dua penonton bersila di hadapannya. Juga tanpa suara. Lantas rekaman di dalam televisi mulai memberikan instruksi. Perempuan yang bersila lalu berdiri, menaburkan garam membentuk lingkaran.
Instruksi di dalam televisi terus belanjut, meminta dua penonton itu menutup mata, duduk, berdiri. Sementara perempuan tadi terus bergerak layaknya gerakan tarian, berganti-ganti melakukan gerakan pada dua penonton tersebut.
ADVERTISEMENT
Ruang terakhir adalah kamar pribadi. Tak ada penataan apa-apa. Dua buah kasur, baju-baju berserakan. Tiga penonton dipersilahkan masuk. Seorang lelaki memakai baju flanel merah-hitam menerima kami. Ia berbicara (atau sedang melakukan pertunjukan?) kepada kami tentang keinginannya menjadi stand up comedian sekaligus pemain teater.
Ia bercerita tentang kejadian suatu kali ketika ia melakukan stand up di sebuah kampus. Temanya tentang perciptaan Adam dan Hawa yang benar-benar bercinta setelah dikeluarkan dari Surga dan terpisah 300 tahun lamanya. Ia lantas diserang oleh sebuah organisasi ekstrem di kampus itu. Sambil menyerahkan beberapa lembar naskah percakapan, ia meminta kami melakukan reka ulang terhadap kejadian tersebut. Saya melakukan pertunjukan dengannya!.
Perempuan berpakaian hitam rapi yang tadi membuka pertunjukan berkeliling, mengabarkan bahwa sesi pertama telah selesai. Para penonton diminta menuju studio pertunjukan menunggu para penampil untuk sesi yang kedua.
ADVERTISEMENT
Saya masih tetap tidak mengerti pertunjukan ini, selain karena telah membaca press release dalam laman Teater Garasi, pementasan ini merupakan eksperimentasi. Saya terima saja.
Menjadi Penonton dan Penampil di Cabaret Chairil Vol II Teater Garasi (2)
zoom-in-whitePerbesar
Para penampil memasuki studio pertunjukan, berbaris di sisi kanan dan kiri, dengan penerangan yang agak gelap. Mereka masih memakai kostum yang sama seperti sesi pertama. Orang-orang yang membawa lembar pertanyaan juga berada di antara penampil lain yang berada di lima ruang tadi. Mereka juga penampil! Mereka lalu berkumpul di tengah panggung. Berdiri, diam.
Perempuan berpakaian hitam rapi masuk, menunduk memberikan penghormatan pada penonton. Ia lalu memberikan para penampil itu lembar-lembar kertas yang dibawanya. Seperti seorang konduktor pertunjukan musik, ia memerintah para penampil untuk membacakan tulisan-tulisan di lembaran itu yang ternyata jawaban-jawaban penonton yang ditanyakan oleh orang-orang yang berkeliaran tadi.
ADVERTISEMENT
Mereka membaca berirama, kadang meninggi, menurun, berbisik, diam, sesuai instruksi dari perempuan berpakaian hitam rapi. Pembacaan itu berlangsung sekitar satu jam diselingi dengan gerakan-gerakan yang aneh, berteriak “Jalan-Jalan Kondom” “Gosip Gosip” dan beberapa lainnya.
Sesi kedua diakhiri dengan munculnya M.N Qomaruddin yang duduk di pinggir panggung memainkan ukulele. Para penampil kemudian duduk di sebuah bangku melingkar tepat di depan penonton.
Perempuan berpakaian hitam rapi memegang mikrofon dan berbicara kepada penonton, sembari para penampil mengganti baju di bangku tersebut. Perempuan itu seperti akan memimpin sebuah diskusi. Bertanya kepada penampil, dan sesekali bertanya pada penonton tentang diri sendiri, politik, agama.
Menjadi Penonton dan Penampil di Cabaret Chairil Vol II Teater Garasi (3)
zoom-in-whitePerbesar
Begitulah sesi ketiga pertunjukan berlangsung selama satu jam. Saya tak menemukan jawaban apa-apa tentang pertunjukan ini selama tiga sesi. Untung saja di akhir pertunjukan diadakan sesi diskusi.
ADVERTISEMENT
Apa yang dipertontonkan selama tiga jam tersebut merupakan suatu eksperimentasi yang berasal dari eksperimentasi dan penafsiran ulang tentang posisi performer dan penonton dalam satu pertunjukan.
Penonton yang selama ini selalu pasif, hanya datang, duduk, diam, dan bertepuk tangan setelah pertunjukan selesai. Bagi Qomar yang menginisiasi pertunjukan ini, setidaknya bagaimana penonton menjadi aktif dan hadir dalam pertunjukan.
Fundamentalisme mitos dan kepenontonan sebagai tema besar yang diusung Qomaruddin dan Performer Studio adalah membongkar ulang “mitos-mitos” yang telah lekat dalam kepala penonton tentang pertunjukan dengan memasuki ruang-ruang pribadi para penampil (sesi satu), lantas menulis naskahnya sendiri yang ditampilkan pada sesi dua, dan terlibat langsung dalam sesi tiga.
Sebagai penonton, malam itu saya benar-benar tidak sedang menonton. Saya belajar menjadi penampil, merasakan ketegangan yang sama dengan para penampil, dan secara tak sadar juga terlibat dalam pertunjukan ini. (Muhammad Aswar/YK-1)
ADVERTISEMENT