news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Maryse Condé, Penulis Karibia Pemenang Alternatif Nobel Sastra

Award News
oleh : pandangan Jogja
Konten dari Pengguna
16 Oktober 2018 14:36 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Award News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sastrawan Maryse Conde dari Karibia penerima Alternatif Nobel Sastra (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Sastrawan Maryse Conde dari Karibia penerima Alternatif Nobel Sastra (Foto: Wikimedia Commons)
ADVERTISEMENT
Allternatif Nobel Sastra telah digelar 12 Oktober lalu, setelah rangkaian gelaran besar Nobel Prize. Sebagai alternatif, perayaan dilakukan dengan nuansa yang sederhana tetapi terlihat lebih kekinian, lebih popular, inklusif, dan transparan: diumumkan dengan lata belakang buku-buku koleksi Stockholm Library.
ADVERTISEMENT
Pemenang penghargaan ini diganjar sekitar satu juta krona Swedia, atau setara dengan Rp 1,7 miliar. Jumlah yang tentu cukup kecil dibandingkan dengan peraih Nobel Sastra, yakni 9 juta krona Swedia atau Rp 14 miliar.
Pemenangnya adalah Maryse Condé atas tulisan-tulisan yang “menggambarkan masyarakat setelah era penjajahan dan kekacauan pascakolonial dengan bahasa yang tepat dan luar biasa. Dia menarasikan bagaimana kolonialisme mengubah dunia dan bagaimana kolonialisme mencerabut masyarakat dari akarnya,” demikian ungkap para juri dikutip dari laman New York Times.
Perempupan yang lahir pada 1937 ini menjadi satu-satunya sastrawan Karibia yang dikenal dalam sastra modern. Dia lahir di Pointe-a-Pitre, Pulau Karibia, yang masuk dalam negara jajahan Prancis di Guadeloupe. Dia kuliah di Universite de Paris III (Sorbonne Nouvell) dan mengambil program doktoral dalam kajian sastra perbandingan.
ADVERTISEMENT
Maryse menghabiskan waktu selama dua belas tahun mengunjungi Afrika Barat: Guniea, Ghana, dan Senegal, di mana Prancis pernah berkuasa. Dia kembali ke Prancis pada 1973 untuk mengajar Francophone Literature di Paris VII Jussieu, Nanterre, dan Sorbonne.
Pertama kali menulis novel pada tahun 1976 berjudul Heremarkhonon yang terinspirasi dari perjalanannya di Afrika Barat. Barulah pada novel ketiganya yang ditulis pada 1984, Segou I, Les Murailles de Terre, II, La Terre en Miettes, yang mengantarnya sebagai salah satu penulis Karibia yang diakui dunia.
Setelah itu, Maryse mulai menerbitkan novelnya secara berkala sembari melanjutkan karier kependidikannya di Berkeley, Universitas virginia, Universitas Maryland, dan Harvard; lantas pindah ke Universitas Columbia pada 1995.
ADVERTISEMENT
Di sana, Maryse mengepalai pusat kajian Prancis dan Prancophone mulai dari 1997 sampai 2002. Dia lalu pensiun pada tahun 2005. Novel-novelnya yang telah genap 20 judul, telah diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jerman, Belanda, Italia, Spanyol, Portugis, dan Jepang.
“Saya berasal dari sebuah pulau kecil yang tak pernah didengar di lingkup internasional. Guadeloupe hanya disebutkan dalam berita-berita bencana alam. Tetapi saya selalu yakin, kami memiliki budaya indah yang disaring dari berbagai pengaruh dunia: Afrika, Eropa, India, dan China. Memenangkan hadiah ini, berarti suara kami, suara penduduk Guadeloupe, akan mulai didengar dunia,” kata Maryse dalam kata sambutannya.
“Saya menulis tentang perbudakan, Afrika, kondisi ras kulit hitam di seluruh dunia, untuk menguji pikiran saya, untuk memahami dunia, dan untuk berdamai dengan diri dan kebudayaan sendiri. Saya menulis untuk menemukan jawaban atas pertanyaan sendiri. Menulis, adalah semacam terapi untuk tetap merasa aman dan sehat,” ungkap Maryse.
ADVERTISEMENT
Dua nominator lainnya adalah penulis fantasi dan komik dari Inggris, Neil Gaiman, dan Kim Thuy Ly Thanh dari Vietnam-Kanada. Sedangkan nominator keempat yang diprediksi akan memenangkan penghargaan ini, dan beberapa kali masuk nominasi Nobel Sastra, Haruki Murakami, justru mengundurkan diri masa penjurian.
“Saya ingin berkonsentrasi pada karya dan menjauh dari hiruk-pikuk pemberitaan media,” kata Haruki Murakami.
Alternatif dan Mengisi Kekosongan Nobel
Stockholm Library (Foto: Wikimedia Commons)
zoom-in-whitePerbesar
Stockholm Library (Foto: Wikimedia Commons)
Nobel Sastra untuk tahun ini dihilangkan setelah skandal seksual dan tuduhan kronisme serta korupsi. Nobel Alternatif bukan untuk menggantikan Nobel Sastra dalam tahun-tahun mendatang, namun hanya untuk mengisi kekosongan tahun ini.
ADVERTISEMENT
Pada 2019 nanti, Nobel Sastra akan kembali diadakan dan langsung memenangkan dua sastrawan, dan Nobel Alternatif ini otomatis tidak dilanjutkan untuk tahun depan.
Nobel Alternatif pertama kali digagas oleh The New Academy yang terdiri dari 100 sukarelawan, yang terdiri dari aktor, penyanyi, wartawan, penulis, bahkan artis Instagram. Kelompok ini mulai berkumpul di bulan Mei, setelah kabar Nobel Sastra ditiadakan tahun ini.
Pertama-tama, para pustakawan Swedia diminta untuk mencalonkan nama-nama sastrawan. Dimulai dari 47 daftar nama sastrawan yang diajukan pustakawan di seluruh Swedia.
Dari sana kemudian diadakan voting yang dipilih lebih dari 30.000 orang. Juri yang terdiri dari ahli sastra Swedia, Ann Palsson, Lisbeth Larsson, Peter Stenson, dan Gunilla Sandin, kemudian memilih pemenang dari empat nama yang diajukan setelah voting seluruh dunia.
ADVERTISEMENT
“Saya pikir kita perlu lebih demokratis, lebih transparan, dan lebih banyak kesetaraan ketika datang ke akademi dan siapa yang akan menilai apa,” kata Alexandra Pascalidou, jurnalis dan penulis yang pertama kali men-tweet (tautan di Swedia) pada bulan Mei tentang gagasannya untuk membuat Nobel Alternatif.
Pada awal Juli, The Guardian mengangkat cerita kemungkinan adanya Nobel Alternatif. Dua minggu kemudian, sebuah laporan dari The New York Times mengikutinya. Liputan pers berbahasa Inggris besar-besaran telah melambungkan cerita melampaui ekspektasi New Academy.
“Gagasan itu meledak," kata Pascalidou dikutip dari Quartzy.
“Kita hidup di masa ketika orang-orang bebas berpendapat, mereka ingin berkontribusi, mereka menyukai sastra, mereka melihat pentingnya sastra sebagai penangkal budaya kekerasan yang menyebar di seluruh dunia,” tambah Pascalidou.
ADVERTISEMENT
Meski Pascalidou menjadi orang pertama yang melambungkan ide ini, namun dalam penjurian dan pekerjaannya, tak ada yang dijadikan pemimpin. “Tidak ada yang bertanggung jawab atas apa pun. Kami tidak memiliki bos besar atau bos kecil,” kata jurnalis Catharina Hansson, menggambarkan proses komunikasi yang informal, namun lancar di grup email, grup Facebook, Slack.
"Kadang-kadang agak berantakan karena Anda tidak ingat di mana letak utas itu," katanya.
Ada rumor, sebagai tanggapan dari wacana kekerasan seksual dalam tubuh Nobel Sastra serta kebangkitan gerakan 'MeToo', Nobel Alternatif ini juga memilih empat nominasi berdasarkan gender, dua perempuan dan dua lelaki.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Nobel Alternatif juga mencoba untuk lebih populis dengan memasukkan nama-nama penulis dari berbagai genre sastra, termasuk J.K. Rowling yang dinominasikan dalam 47 nama, namun tidak berhasil untuk sampai pada empat besar. (Muhammad Aswar/YK-1)