San Sebastian Film Festival, Tempat Kelahiran Para Maestro

Award News
oleh : pandangan Jogja
Konten dari Pengguna
2 Oktober 2018 1:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Award News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
San Sebastian Film Festival, Tempat Kelahiran Para Maestro
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
(Isaki Lacuesta, kiri, sesaat setelah menerima penghargaan. Sumber foto : thepeninsulaqatar.com )
ADVERTISEMENT
San Sebastian International Film Festival (SSIFF) ke-66, sebagai salah satu festival film tertua di dunia dan masuk dalam jajaran 14 festival berlabel “A” menurut Asosiasi Produser Film Internasional (FIAPF) telah resmi digelar pada 21-29 September. Dan pemenang terbesar pada malam itu adalah Isaki Lacuesta yang menenangkan penghargaan "Golden Shell" (film terbaik) atas filmnya Between Two Waters.
Film berbahasa Spanyol dengan judul asli Entre Dos Aguas merupakan seri lanjutan dari The Legend of Time yang digarap 2006 lalu. Fokus pada dua karakter utama yang jauh berbeda, bermain di antara dunia realitas dan fiksi sekaligus.
Between Two Waters bercerita tentang dua bersaudara Isra dan Cheito yang kembali bertemu setelah dewasa. Cheito bekerja sebagai angkatan laut dan melakukan perjalanan ke berbagai tempat; sementara saudaranya Isra baru saja dibebaskan dari penjara karena kasus narkoba. Mereka bertemu kembali di San Fernando, di mana memori tentang ayahnya yang meninggal ketika mereka masih remaja menghantui mereka.
ADVERTISEMENT
Isra yang baru dibebaskan dari penjara, berusaha untuk mengembalikan kepercayaan keluarganya. Namun situasi keluarga dan kota San Fernando sangat tidak bersahabat bagi mereka yang sebelumnya telah dikenal sebagai orang yang tidak baik.
Ilustrasi FIlm. (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi FIlm. (Foto: Pixabay)
Dengan menggabungkan kamera analog dan non-digital sebagaimana dalam film-filmnya yang lain, Lacuesta memotret sisi-sisi San Fernando yang familiar, sebuah kota yang berada di dekat Cadiz, di mana keindahan dan kejahatan menyatu. Cheito yang terdidik, berusaha sebisa mungkin untuk tetap dalam nuansa kemiliterannya, bertahan di tengah San Fernando.
Tangkapan Lacuesta akan kedekatan dua bersaudara tersebut menjadi begitu intim ketika istri Isra melahirkan anak perempuannya. Kamera Lacuesta memperlihatkan kulit kecokelatan mereka, bahu penuh tato, dan kaki telanjang.
ADVERTISEMENT
Dengan lihai Lacuesta memperlihatkan unsur-unsur pesaudaraan yang realistis, sehingga menciptakan potret dunia yang tampak begitu nyata. Film ini menggabungkan metoda dokumenter dan fiksi secara acak, membuat orang yang menontonya merasa apa yang terjadi di dalam film ini benar-benar peristiwa kehidupan yang nyata.
Between Two Waters ditulis oleh Isa Campo dan Fran Araujo, namun juga memberikan ruang bebas kepada para aktor pada spontanitas akting mereka serta humor-humor khas Spanyol selatan.
Dengan berfokus pada tema tentang balas dendam, persahabatan, dan kebangkitan kembali kedua bersaudara dengan permasalahannya masing-masing, Lacuesta menggambarkan dengan baik antara cinta dan penghormatan.
Musik digarap oleh Kiko Veneno dan Raul Refree, diproduksi oleh La Termita Films, Bteam Prods, All Go Film, dan Mallerich Films, bekerja sama dengan Bord Cadre Films (Swiss) dan SC Studio Indie SRL (Rumania). Film ini dijadwalkan rilis di Spanyol pada 30 November mendatang.
ADVERTISEMENT
Alexander Payne mewakili para juri memilih film Isaki Lacuesta karena, “mampu memotret kondisi sosial yang melatari tokoh-tokoh protagonis di dalam melakukan kejahatan, ketika mereka hendak membalaskan dendam,” dikutip dari Hollywood Reporter.
Isaki Lacuesta memulai debutnya pada 2002 dengan film Cravan VS Cravan. Pada 2006 merilis film The Legend of Time, The Condemned (2009) yang masuk dalam nominasi San Sebastian Festival.
Setelahnya ia merilis film Zabaltegi Specials (2010), The Clay Diaries (2011), The Double Steps (2011) yang memenangkan San Sebastian Festival pada tahun itu juga. Pada 2014 lalu merilis Dying Beyond their Means dan The Next Skin (2015) yang digarap bersama Isa Campo.
Festival yang Melahirkan Banyak Maestro
San Sebastian Film Festival, Tempat Kelahiran Para Maestro (2)
zoom-in-whitePerbesar
Sejak diadakan pertama kali pada 1953, SSIFF menjadi salah satu festival film dunia terpenting, menjadi salah satu festibal berlabel “A” menurut FIAPF. Festival ini telah berkontribusi banyak dalam dunia film dengan mengorbitkan beberapa judul seperti Vertigo karya Alfred Hitchcock, Melinda and Melinda oleh Woody Allen, dan juga film sains fiksi Star Wars.
ADVERTISEMENT
Beberapa aktor dan direktur juga telah datang dalam festival tahunan ini, seperti Elizabeth Taylor, Robert de Niro, Demi Moore, Naomi Watts, dan Brad Pitt. Festival ini pula merupakan ajang penghargaan pertama yang didapatkan oleh Roman Polanski, menjadi tangga karir bagi Francis Ford Coppola, dan Pedro Almodovar, di samping beberapa produser lainnya.
Meski pertama kali hanya ditujukan bagi film berbahasa Spanyol, pada 1955 lebih luas kepada seluruh film di berbagai negara, dengan bahasa yang berbeda. Namun karena festival ini menjadi ajang dengan dana terendah di antara 13 festival film intenasional lainnya, sehingga pemberitaan terhadap ajang ini tidak semewah yang lain.
Seperti ajang tahun ini, beberapa nama besar Hollywood memenangkan berbagai penghargaan, seperti Bradley Cooer (A Star is Born), Ryan Gosling (First Man), Alfonso Cuaron (Roma), Robert Pattinson (High Life), Chris Hemsworth (Bad Times at the El Royale), dan John C. Reilly (The Sisters Brothers).
ADVERTISEMENT
Film dan Negara
San Sebastian Film Festival, Tempat Kelahiran Para Maestro (3)
zoom-in-whitePerbesar
Selain Isaki Lacuesta, film Rojo garapan sutradara Argentina, Benjamin Naishtat, juga mencuri perhatian malam itu. Film tersebut memenangkan tiga kategori berbeda, sebagai film pilihan sutradara, fotografi terbaik, dan aktor terbaik oleh Dario Grandinetti. Film ini menjadi semacam anomali setelah beberapa waktu lalu Dinas Kebudayaan Argentina resmi ditutup.
“Dengan penghargaan ini, semua orang akan mengerti betapa baiknya perfilman di Argentina, namun kenyataannya seminggu yang lalu Dinas Kebudayaan Argentina ditutup,” kata Naishtat dalam sambutannya, dikutip dari Variety. “Budaya merupakan bagian dari martabat manusia. Kita tidak bisa memperlakukannya semena-mena.”
Rojo mengisahkan tentang sebuah daerah di Argentina pada 1975 melawan gelombang kekerasan sebagai imbas dari politik nasional. Di masa itu, banyak orang yang menjadi korban dari maraknya polisi ilegal yang melakukan kekerasan di mana-mana. Grandinetti memerankan pengacara terhormat yang pada kenyataannya dia terlibat dalam berbagai kasus pembunuhan dan korupsi.
ADVERTISEMENT
Paul Laverty yang memberikan sambutan setelah memenangkan screenplay terbaik untuk film Yuli, memprotes sanksi Amerika Serikat dan Israel kepada Kuba yang telah berjalan selama 58 tahun.
Louis Garrel juga memberikan pidato tentang seorang sutradara Ukraina, Oleg Sentsov, yang hingga kini masih berada di dalam tahanan Rusia dan melakukan aksi mogok makan, di mana ia dituduh merencanakan aksi terorisme.
Sutradara asal Jepang, Hiroshi Okuyama, menjadi salah satu wakil Asia malam itu setelah memenangkan kategori Best New Director untuk film pertamanya, Jesus. (Muhammad Aswar/YK-1)