Surabaya dalam Kenangan Legenda Musik Nasional, Semangat Rek !

Award News
oleh : pandangan Jogja
Konten dari Pengguna
15 Mei 2018 20:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Award News tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
 Surabaya dalam Kenangan Legenda Musik Nasional, Semangat Rek !
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Surabaya masih berduka, serangkaian bom meledak di tempat ibadah, Mapolrestabes, dan di kamar sebuah rumah susun. Untuk semua korban jiwa yang gugur, doa musti terus dipanjatkan. Untuk yang hidup, mari memulihkan semangat menghidupkan energi kembali demi masa depan Surabaya yang gemilang.
ADVERTISEMENT
Untuk melangkah ke depan, ingatan buruk tentang Surabaya hari ini, jangan sampai mendominasi pikiran kita. Untuk itu marilah mengenang bagaimana para legenda musik nasional yang lahir atau tumbuh di Surabaya dan menuliskan relasi mereka dengan kota buaya itu di musik-musik abadi mereka.
1. Dara Puspita, Surabaya
Surabaya, Surabaya, oh Surabaya. Kota kenangan, kota kenangan takkan terlupa. Akrab dengan lirik itu kan ?. Hari ini saat yang tepat untuk mengingat lagi band wanita pertama Indonesia, Dara Puspita. Berdiri tahun 1964, band ini bersama Koes Bersaudara adalah beberapa nama penting peletak dasar musik musik pop di Surabaya. Maka jangan heran kalau kemudian Surabaya melahirkan band-band besar seperti Dewa, Padi, dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Personelnya Dara Puspita adalah Titiek Adji Rachman (gitar melodi), Lies Soetisnowati Adji Rachman (bass), Susy Nander (drum), Ani Kusuma (gitar pengiring). Untuk lagu "Surabaya" yang abadi ini, sebenarnya sudah ada sejak tahun 1928 dan dipopulerkan oleh kelompok sandiwara Bintang Soerabaia. Tapi liriknya kemudian dimodifikasi oleh ayah Lies dan Titiek, yakni A . Rachman.
Mulai tahun 1968 hingga 3 tahun berikutnya Dara Puspita manggung keliling di 250-an kota di Eropa.Tahun 1971, Dara Puspita kembali ke Indonesia sempat manggung keliling Indonesia bersama band-band papan atas saat itu seperti Panbers dan The Rollies. Setahun kemudian, band wanita legenda terbesar Indonesia ini bubar karena beberapa alasan yang kurang jelas, salah satu isunya karena tidak adanya kecocokan lagi antar anggota. Padahal saat itu mereka sedang berada di puncak karirnya.
ADVERTISEMENT
2. Koes Plus, Surabaya
Tidak ada nama band Indonesia yang lebih besar dari band ini : Koes Plus. Hampir semua lagunya abadi. Dan "Surabaya" yang liriknya bercerita tentang Surabaya kota pahlawan kota sejarah, yang pemudanya bersatu padu, rela berkorban, dan pantang menyerah, menjadi salah satu pengingat penting lekatnya grup band ini dengan peristiwa politik di Indonesia.
Koes Plus dipenjara pemerintah Soekarno pada tahun 1965 saat manggung salah satunya dengan Dara Puspita, karena dianggap memainkan musik ngak-ngik-ngok, musik Beatles yang kebarat-baratan yang jauh dari kepribadian bangsa. Namun beberapa tahun terakhir terungkap kisah rahasia dari peristiwa itu, bahwa penangkapan Koes Plus hanyalah skenario Soekarno agar Koes Plus bisa manggung di Malaysia, yang saat itu sedang bermusuhan dengan Soekarno. Tujuannya, tentu saja menjadi mata-mata Indonesia apakah ada anti pati yang besar terhadap Indonesia dari masyarakat Malaysia.
ADVERTISEMENT
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto juga menggunakan popularitas Koes Plus untuk mendeteksi sampai di mana besarnya masyarakat yang pro-Indone¬sia di Timor Purtugis (sekarang Timor Leste) pada awal 1970-an dengan mengirim Koes Plus manggung di sana.
3. The Gembells, Balada Kalimas
Dahulu kala, Sura dan Baya, Bertarung berperang memilikimu, Pernah kau tampung darah pahlawan, Memerah jembatan memerah pula airmu, Kalimas, kalimas, kalimas.
Lahir tahun 1969, The Gembells adalah akronim dari “Gemar Belajar.” Di jamannya The Gembells dikenal sebagai band yang kritis pada situasi sosial tapi juga konsisten mengangkat tema kepahlawanan dan perjuangan kebangsaan khususnya yang terjadi di Sura dan Baya. Kekritisannya membuat band "cerdas" ini sering berurusan dengan pemerintah Surabaya kala itu. Seperti lagu “Peristiwa Kaki Lima” dan “Hey Dokter.”
ADVERTISEMENT
"Balada Kalimas" adalah salah satu lagu abadi The Gembells karena bercerita tentang sungai Kalimas, sungai besar yang membelah Surabaya.
Gembells bubar pada 1987 karena salah satu personilnya harus melanjutkan studi ke ITB, dan ia, sang keybordist, Binarul Anas Zaman saat ini malah sekalian menjadi profesor di Seni Rupa dan Design ITB. Tak jadi ngeband, jadi profesor seni juga oke.
4. Leo Kristie, Tepi Surabaya
Terlahir pada 1949 dengan nama Leo Imam Sukarno, legenda musik Indonesia menghabiskan seluruh hidupnya sebagai seorang musisi pengelana. Sebagai musisi Leo sangat kritis pada kenyataan sosial tapi bahasa ungkapnya bukanlah bahasa protes atau gugatan yang lahir dari konsep dan teori-teori sosial. Sebaliknya, dunia dalam lirik dan musik Leo Kristie adalah dunia yang lahir dari persentuhan dengan tubuhnya sendiri. Leo menolak menjadi konsep-konsep dan menyorongkan pengalaman yang sangat personal atas kenyataan. Suatu waktu dia cerita tentang nelayan, petani, kesepian, stasiun, dan juga ini : kerinduan berat pada kota kelahirannya, Surabaya.
ADVERTISEMENT
Leo melahirkan banyak lagu tentang Surabaya, kota masa kecilnya yang telah berubah, seperti "Oh Surabaya," "Sudut Jalan Surabaya 1979," "Nyiur Melambai di Plaza Surabaya", "Surabaya", hingga "Surabaya Bernyanyi!." Tapi yang kemudian selalu dikenang sebagai karya terbesarnya tentang Surabaya adalah "Tepi Surabaya." Sebuah lagu balada yang meratap karena Surabaya-nya yang dulu tak akan pernah kembali. Kota telah berubah dengan segala isinya, menyisakan seorang nenek yang makin tua dan sepi ; gema pahlawan yang tinggal nyanyian wayang dengan pasang surut Kalimas sebagai saksi. Tepi Tepimu Oh Surabaya.
5. Gombloh, Selamat Pagi Kotaku
Kon ojok ngaku Suroboyo lek gak genal lague Gombloh !. Lahir di Jombang pada 14 Juli 1948 dengan nama asli Soedjarwoto Soemarsono, sang ayah memanggilnya dengan "Gombloh" yang artinya adalah "tolol" atau "bodoh sekali". Tapi si tolol inilah yang melahirkan lagu "Kebyar-Kebyar" setiap kali negeri ini memperingati kemerdekaan. Ini adalah lagu pop terkuat mengenai nasionalisme. Tiada dua, tiada banding, lainnya hanya tai kucing. Dan "Selamat Pagi Kotaku" adalah lagu Gombloh yang mengenang kota kelahirannya : sangat personal, seperti halnya Leo Kristie, Gombloh menghadapi dunia secara live, langsung dan tanpa tedeng aling-aling, merayakan pengalaman dan spontanitas.
ADVERTISEMENT
Daftar bisa sangat panjang, Franky Sahilatua memiliki nomor "Bis Kota," dan sang maestro Gesang memiliki "Jembatan Merah" yang letaknya tak jauh dari Mapolrestabes Surabaya. Tapi artikel ini akan diakhiri dengan Mus Mulyadi.
6. Mus Mulyadi, Rek Ayo Rek
Mus adalah "King of Keroncong" dan lagu "Rek Ayo Rek" yang menjadi lagu kebangsaan orang Surabaya ini justru diciptakan oleh seorang maestro pencipta lagu yang uniknya justru berasal dari Solo, yakni, Is Haryanto. Is Haryanto adalah maestro pencipta lagu yang sangat populer pada 1970-1980-an, selain "Rek" beberapa lagu dari total 3 ribuan lagu ciptaannya yang sampai sekarang masih terus dikenang diantaranya, Sepanjang Jalan Kenangan, Hilang Permataku, dan Tanpamu. Pada tahun 1973 Mus Mulyadi dan Is Haryanto pernah bergabung menjadi grup band Favourite Group bersama A. Riyanto. Namun, peruntungan Mus dan Is adalah saat lagu ciptaan Is dibawakan Mus secara solo.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan lagu-lagu bertema Surabaya yang disebutkan lebih awal, "Rek ayo Rek" sangat ceria dan terbuka dengan dunia orang kebanyakan seperti pusat perbelanjaan terbesar kala itu, Tunjungan, atau makanan khas Rujak Cingur, dan malam minggu yang haram untuk dibawa melamun. Sopo ngerti nasib awak lagi mujur kenal anake sing dodol Rujak Cingur.
Sering, lagu ringan hati semacam "Rek Ayo Rek" adalah penawar yang tepat bagi waktu yang sedang tak baik, seperti hari-hari ini. Wes ta lah, Sing Penting Terus Semangat Rek ! (Sarivita / YK-1)