Masalah Risiko POPs dan Strategi Kebijakan Iptek

Angga Wijaya Holman Fasa
Analis Kebijakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Konten dari Pengguna
22 Januari 2021 20:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Angga Wijaya Holman Fasa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi risiko bahan kimia bagi lingkungan. Sumber:freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi risiko bahan kimia bagi lingkungan. Sumber:freepik.com
ADVERTISEMENT
Pemerintah Indonesia sebagai negara anggota Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten (POPs) sejak tahun 2001, yang dikukuhkan berdasarkan UU No. 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm tentang Bahan Pencemar Organik yang Persisten), mengadopsi annexes terbaru konvensi tersebut. Substansi dari pengaturan (Annexes) tersebut adalah penambahan daftar bahan kimia POPs yang berbahaya bagi manusia, hewan, dan lingkungan hidup, yaitu dicofol dan asam perfluorooktanoat (PFOA).
ADVERTISEMENT
Berdasarkan penelitian Roberts dkk. (2007), dicofol yang umumnya terkandung dalam produk pestisida mempunyai sifat toksik bagi mahluk hidup dan dapat bertahan lama di lingkungan (persistent). Penggunaan senyawa dicofol di bidang pertanian akan menyebabkan semakin banyaknya residu dari golongan senyawa ini yang terakumulasi di alam. Hal ini dapat menimbulkan efek serius pencemaran lingkungan yang berada di sekitar daerah pertanian tersebut.
Begitu pula dengan PFOA yang jamak dipergunakan dalam industri tekstil, kimia, furnitur, peralatan rumah tangga, kemasan makanan, dan lain-lain, serta disukai karena sifat ekonomisnya (Emmet dkk., 2006). Namun, menurut Nicole W. (2013), akibat paparannya dapat meningkatkan risiko kesehatan pada manusia, antara lain penyakit kanker.
Mengingat risiko dan dampak negatif yang ditimbulkan akibat penggunaannya apabila terus meningkat, dibutuhkan pencarian alternatif senyawa POPs melalui kegiatan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan (litbangjirap). Dalam hal implikasi di bidang iptek, menurut Nygaard, I., dan Hansen, U. E. (2015), terdapat dua pendekatan untuk merespon isu tersebut, yaitu adaptasi dan mitigasi.
ADVERTISEMENT
Pendekatan adaptasi bertujuan untuk mengatur tata kelola litbangjirap teknologi ramah lingkungan di Indonesia. Sedangkan pendekatan mitigasi bertujuan untuk mengakselerasi proses litbangjirap teknologi ramah lingkungan sehingga apa yang telah diatur di dalam kerangka regulasi dapat diterjemahkan menjadi bahasa operasional dan terterapkan dengan baik secara komprehensif.

Pendekatan Adaptasi Teknologi Ramah Lingkungan

Pada sisi kebijakan, UU No. 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (UU Sinasiptek) mengamanatkan bahwa pelaksanaan UU Sinasiptek berasaskan pada "asas keamanan dan keselamatan". Gamblangnya, penyelenggaraan ilmu pengetahuan dan teknologi menjamin keamanan dan keselamatan masyarakat dan lingkungan hidup. Pada poin ini jelas bahwa litbangjirap teknologi ramah lingkungan menjadi bentuk pengejawantahan amanat tersebut.
Dilihat dari pendekatan adaptasi, keberadaan regulasi ini belum terejawantahkan oleh pemerintah karena amanat UU Sinasiptek yang berkaitan dengan litbangjirap teknologi ramah lingkungan belum diturunkan dalam bentuk peraturan pelaksanaan. Sehingga tata kelola litbangjirap teknologi ramah lingkungan di Indonesia belum diterjemahkan dalam bahasa operasional berbentuk peraturan presiden.
ADVERTISEMENT
Perkembangan mutakhir telah terdapat beberapa invensi yang dihasilkan para peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang dapat menjadi substitusi dicofol dan PFOA. Keberadaan dicofol dapat disubstitusikan dengan invensi “Pupuk Organik Hayati”, yang terbuat dari bakteri potensial, dan bahan baku organik berbasis sumber daya lokal.
Penggunaan bahan kimia PFOA, yang berhubungan dengan penguat polimer, dapat disubsitusikan dengan invensi “Serat Alam berukuran Nano dari Serat Bambu untuk Bahan Penguat Polimer”. Invensi ini dapat dimanfaatkan untuk pembuatan peralatan elektronik, bahan bangunan serta peralatan rumah tangga. Selain kedua paten tersebut, terdapat beberapa varian invensi yang dapat menjadi kandidat substitusi bahan kimia POPs tersebut yang dalam proses pendaftaran paten, atau masih dalam tahap penelitian dan pengembangan.
ADVERTISEMENT

Pendekatan Mitigasi Teknologi Ramah Lingkungan

Namun demikian, hingga saat ini kegiatan litbangjirap masih belum terintegrasi. Pada pendekatan mitigasi dibutuhkan langkah konkret dalam rangka mengintegrasikan fragmentasi tersebut. Seyogianya dibangun komunikasi dan kolaborasi antar pemangku kepentingan litbangjirap yang melibatkan unsur triple helix, yakni akademisi, industri, dan pemerintah.
Hal tersebut dibutuhkan agar terdapat keselarasan visi dan misi diantara para pemangku kepentingan sehingga kegiatan litbangjirap teknologi ramah lingkungan di Indonesia dapat terkonsolidasi dan terakselerasi dengan baik. Praktik konkret pendekatan mitigasi lainnya adalah dengan cara hilirisasi beragam invensi yang telah ada. Alih teknologi hasil penelitian dan pengembangan menjadi kunci.

Langkah Strategis Kebijakan Iptek

Belum eksplisitnya regulasi pemerintah yang mengatur litbangjirap teknologi ramah lingkungan, pengertian litbangjirap beserta klasifikasi bidang teknologi ramah lingkungan sehingga perlu diatur secara tegas dan komprehensif. Perlu disusun regulasi dalam bentuk peraturan presiden yang mengatur tentang litbangjirap teknologi ramah lingkungan yang substansinya adalah kewajiban litbangjirap teknologi ramah lingkungan beserta mekanisme teknisnya.
ADVERTISEMENT
Untuk mengakselerasi litbangjirap teknologi ramah lingkungan dibutuhkan peningkatan komunikasi dan kerja sama antar lembaga litbang, akademisi, pemerintah dan industri sehingga perlu dilakukan inisiasi pembentukan konsorsium, yang diinisiasi oleh pemerintah dan perlu memfasilitasi konsorsium tersebut. Tujuan utama dibentuknya konsorsium litbangjirap teknologi ramah lingkungan adalah untuk menyusun peta jalan (roadmap) litbangjirap teknologi ramah lingkungan di Indonesia, termasuk didalamnya menentukan arah riset, strategi pengembangan dan faktor-faktor yang perlu dipersiapkan untuk litbangjirap teknologi ramah lingkungan di Indonesia. Selain itu, dibutuhkan hilirisasi teknologi dengan cara kerja sama atau kolaborasi alih teknologi yang melibatkan ketiga entitas triple helix. (Awhf)