Konten dari Pengguna
Menggugat Kewarisan Intelektual Bung Karno: Apa yang Sebenarnya Kita Abaikan?
16 Juni 2025 13:49 WIB
·
waktu baca 2 menitKiriman Pengguna
Menggugat Kewarisan Intelektual Bung Karno: Apa yang Sebenarnya Kita Abaikan?
Soekarno bukan sekadar pemimpin politik. Ia adalah thinker—seorang pemikir kebangsaan yang membangun sistem gagasan yang kompleks dan mendalam. Axel Christian Limau (Aktivis dan Analis Politik Muda)

Tulisan dari Axel Christian Limau (Aktivis dan Analis Politik Muda) tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap bulan Juni, bangsa ini kembali menyebut nama Bung Karno. Seremonial peringatan Bulan Bung Karno diselenggarakan di berbagai penjuru negeri—dengan poster, pidato, dan upacara. Namun, di balik peringatan yang rutin itu, pertanyaan yang jarang diajukan secara jujur adalah: apakah kita benar-benar memahami, apalagi mewarisi, pikiran besar Bung Karno?
ADVERTISEMENT
Soekarno bukan sekadar pemimpin politik. Ia adalah thinker—seorang pemikir kebangsaan yang membangun sistem gagasan yang kompleks dan mendalam. Sayangnya, warisan intelektual itu sering kali dikerdilkan hanya menjadi kutipan “berapi-api” atau slogan-slogan populer yang kehilangan konteks. Bahkan lebih jauh, pemikiran Bung Karno kerap dibaca dalam kacamata politik kekuasaan, bukan sebagai bahan pembelajaran kritis untuk masa depan bangsa.
Padahal, dalam sejarah pemikiran politik Indonesia, Bung Karno adalah satu dari sedikit tokoh yang berhasil merumuskan ideologi bangsa—Pancasila—sebagai jalan tengah antara sosialisme, spiritualitas Timur, dan nasionalisme progresif. Melalui konsepsi Marhaenisme, ia menyuarakan perlawanan terhadap sistem kapitalisme global, sembari menyuarakan keadilan bagi rakyat kecil. Ia berbicara tentang “ekonomi rakyat”, “revolusi mental”, “berdikari dalam ekonomi dan budaya”—jauh sebelum istilah itu menjadi tren politik modern.
ADVERTISEMENT
Namun, pertanyaannya kini menjadi lebih tajam: apakah pemikiran Bung Karno benar-benar diajarkan di ruang-ruang kelas, diperdebatkan di forum-forum intelektual, atau hanya dijadikan simbol yang tidak membentuk kesadaran? Apakah kita, sebagai generasi penerus, benar-benar memahami Marhaenisme dalam konteks kemiskinan struktural hari ini? Apakah kita membaca pidato-pidatonya bukan hanya untuk dikutip di media sosial, tapi untuk mencari solusi atas krisis identitas nasional?
Warisan intelektual Bung Karno bukanlah pusaka museum. Ia hidup, bergerak, dan seharusnya terus diperdebatkan. Dalam menghadapi tantangan globalisasi, kemiskinan yang sistemik, konflik identitas, dan kerusakan demokrasi, pemikiran Bung Karno tetap menawarkan alat baca yang tajam dan relevan. Tetapi, justru dalam konteks inilah kita perlu menggugat: bukan menolak warisan itu, tetapi mempertanyakan—dengan serius dan kritis—apa yang telah kita abaikan selama ini?
ADVERTISEMENT
Kita telah terlalu lama menjadikan Bung Karno sebagai mitos, bukan sebagai sumber gagasan. Kita terlalu mudah mengulang kalimatnya tanpa memahami maknanya. Dalam dunia yang penuh ketidakpastian ini, saatnya kita tidak hanya mengagumi Bung Karno, tapi mulai membaca ulang, membedah ulang, dan menghidupkan kembali api pemikirannya—bukan sebagai doktrin, tapi sebagai inspirasi perlawanan terhadap ketidakadilan.
Bulan Bung Karno seharusnya menjadi ruang belajar, bukan hanya ruang hening. Ia adalah panggilan untuk berpikir ulang tentang arah bangsa. Jika kita terus mengabaikan substansi intelektual dari pemikiran Bung Karno, maka kita bukan hanya lupa sejarah—kita sedang mengkhianati masa depan.
Israel meluncurkan serangan ke sekitar Istana Kepresidenan di Suriah, Rabu (16/7). Serangan Israel diluncurkan ke beberapa kawasan di Damaskus. Kantor Kemhan Suriah dilaporkan mengalami kerusakan. AS pun minta Israel menghentikan serangan tersebut.