Nasib Batu Bara dalam Transisi Energi G20

Azis Saputra
Renewable Energy Engineer
Konten dari Pengguna
19 Februari 2022 8:05 WIB
ยท
waktu baca 5 menit
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azis Saputra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menggenggam batubara.(Shutterstock/Vladyslav Trenikhin)
zoom-in-whitePerbesar
Menggenggam batubara.(Shutterstock/Vladyslav Trenikhin)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ditetapkan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) atau summit G20 ke-15 di Riyad, Arab Saudi, Indonesia resmi menjadi Presidensi G20 tahun 2022 mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022. Tema yang diusung adalah Recover Together, Recover Stronger, dengan 3 fokus utama yaitu kesehatan global yang inklusif, transformasi ekonomi berbasis digital, dan transisi menuju energi yang berkelanjutan. Menjadi 1 dari 3 pilar utama, isu energi diangkat melalui banyak pertimbangan. Mulai dari angka yang menunjukkan bahwa 77% konsumsi energi dunia berasal dari negara-negara anggota G20, hingga masalah emisi yang 81% nya berasal dari sektor energi itu sendiri. Jika kita renungkan kembali, apa sebenarnya yang dimaksud dengan transisi energi ?
ADVERTISEMENT
Dalam kick-off Pemuda & Transisi Energi Indonesia 8 Februari 2022, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia Bapak Luhut Binsar Panjaitan menyebutkan bahwa transisi energi adalah tentang bagaimana negara kita bisa menghasilkan energi yang lebih bersih serta pada akhirnya bisa menarik investasi ke dalamnya. Dalam kata lain, kita sesegera mungkin meninggalkan sumber energi yang tidak dapat diperbarui seperti minyak bumi, gas bumi, dan batubara, ke energi yang dapat diperbarui seperti matahari, air, dan angin. Hal ini yang pada akhirnya merumuskan target Indonesia yaitu sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2050 pasokan energi Indonesia berasal dari Energi Baru Terbarukan (EBT). Itu artinya cepat atau lambat energi fosil akan kita tinggalkan. Tak terkecuali batubara yang merupakan energi fosil dengan cadangan terbesar jika dibandingkan dengan minyak dan gas bumi. Lantas bagaimana nasib batubara dalam transisi energi G20? Bagaimana dengan PLTU yang bahan baku utamanya adalah batubara dan menyumbang 49% listrik Indonesia per Juni 2020? Bagaimana dengan emisi yang dihasilkan PLTU? Apakah kita melupakan itu semua begitu saja dengan adanya transisi energi G20? Mari kita bahas!
ADVERTISEMENT
Tentu kita masih ingat dengan berita akhir-akhir ini mengenai batubara yang menggemparkan dunia. Ya, larangan ekspor batubara pada januari 2022 yang hanya berlaku satu bulan sudah cukup membuat negara-negara di dunia menjerit. Walaupun pada 1 februari 2022 larangan itu dicabut kembali. Dari situ kita belajar bahwa begitu besar ketergantungan negara-negara di dunia akan batubara sebagai sumber energi. Hal ini dikarenakan 38,3% kontribusi listrik dunia masih berasal dari batubara. Sementara itu, Indonesia merupakan 3 negara dengan produksi batubara terbesar di dunia, bersama China dan India. Tak heran ketika larangan ekspor itu diberlakukan, negara-negara lain menjerit.
Gambar cadangan energi fosil Inodnesia 2020
Sumber: KESDM
Melihat kembali ke dalam negeri, Indonesia saat ini masih memiliki cadangan batubara sebesar 38,8 Miliar ton. Angka ini cukup untuk menerangi Indonesia selama 69 tahun ke depan sampai benar-benar habis. Itupun dengan catatan tidak ada sumber batubara lain yang ditemukan. Jika tidak melihat dampak negatif dari PLTU, mungkin Indonesia akan tetap menggunakan batubara sebagai pilihan utama dalam mencukupi kebutuhan energi dalam negeri. Meskipun demikian, batubara tetap akan membersamai transisi energi Indonesia. Maksudnya adalah, PLTU tidak akan lenyap begitu saja, begitu juga batubara. Berdasarkan data dari kementerian ESDM dalam grafik Electricity supply plan, batubara tetap akan mendominasi hingga tahun 2031. Sampai pada akhirnya akan ada kontribusi besar dari PLTS. Meskipun demikian, penurunan penggunaan batubara dari tahun 2031 tidak begitu signifikan. Penggunaan batubara akan berkurang secara bertahap, dikit demi sedikit, hingga diperkirakan akan benar-benar tidak digunakan lagi pada tahun 2052.
ADVERTISEMENT
Dari data tersebut, itu artinya kita akan tetap bersama batubara sekitar 30 tahun. Dengan demikian, kita tidak bisa mengabaikan batubara begitu saja. Termasuk PLTU dan dampak emisi yang dihasilkan. Di awal pembicaraan sudah disampaikan bahwa 81% emisi dunia berasal dari sektor energi. Di dalam negeri pun demikian, oleh karena itu pemerintah telah mensiasati hal tersebut dengan menargetkan penurunan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) 2022 sebesar 91 Juta ton CO2. Tak hanya itu, Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan telah mengeluarkan peraturan yang mewajibkan 10 sektor industri untuk mengumpulkan laporan emisi yang dikeluarkan. Di antara 10 sektor tersebut adalah sektor energi, yaitu pembangkit listrik tenaga termal. Pembangkit listrik tenaga termal ini termasuk di dalamnya yang terbesar menyumbang emisi adalah PLTU. Dan pada akhirnya kita akan berhubungan lagi dengan batubara.
ADVERTISEMENT
Batubara adalah sumber energi terbesar saat ini. Baik itu di dunia, maupun di Indonesia tercinta ini. Transisi energi G20 dapat menjadi titik balik kita untuk menciptakan perubahan dunia dalam sektor energi. Kita dapat mempercepat penggunaan energi baru terbarukan yang berkelanjutan. Tetapi satu hal yang perlu kita ingat, kita tidak bisa meninggalkan begitu saja apa yang sudah kita perbuat. Termasuk bertanggung jawab atas emisi yang dihasilkan oleh PLTU batubara. Sebagai putra bangsa, banyak usaha yang dapat kita lakukan dalam mengatasi masalah emisi ini. Satu di antaranya yang paling penting adalah dengan Continous Emission Monitoring System (CEMS). Melalui CEMS ini kita dapat lebih mudah mengontrol emisi yang dikeluarkan oleh industri-industri yang, termasuk PLTU batubara. Setelah itu barulah kita dapat menentukan langkah selanjutnya yang cocok untuk permasalah tersebut. Selain itu, kita dapat membantu sistem integrasi data terkait emisi dari Kementerian Lingkungan dan Kehutanan, yaitu SISPEK (Sistem Informasi Pemantauan Emisi Kontinyu).
ADVERTISEMENT
Namun sebelumnya apa itu CEMS? Bagaimana teknologi CEMS di Indonesia? Dan seperti apa prospek bisnis CEMS ke depannya? kita akan bahas dalam artikel selanjutnya.