Menakar Antara Kritik dan Nyinyir di Media Sosial

Abdul Aziz
Alumnus Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta, Alumni Ponpes Roudlotul Qur'an (PATI) dan Ponpes Nurul Qur'an (Pamulang), sekarang aktif menjadi Guru di SD Islam Al Azhar 8
Konten dari Pengguna
22 Februari 2021 5:51 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Abdul Aziz tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi "polusi media sosial" oleh Indra Fauzi/kumparan Foto: -
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi "polusi media sosial" oleh Indra Fauzi/kumparan Foto: -
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini, masyarakat dibuat heboh sekaligus kebingungan dengan pernyataan Presiden Jokowi tentang kritik, Jokowi meminta agar masyarakat aktif mengkritik pemerintah dan mengajak seluruh elemen bangsa untuk berkontribusi dalam perbaikan pelayanan publik.
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini muncul saat masyarakat takut menyampaikan kritik, ketakutan ini terasa wajar mengingat ada beberapa kritikan yang berurusan dengan polisi setelah mengkritik pemerintah di media sosial. Hal ini pula yang menyebabkan pak JK membuat statement “bagaimana cara mengkritik pemerintah tanpa ditangkap polisi”.
Berdasarkan konstitusi, menyampaikan pendapat di muka umum dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang”.
Seiring majunya dunia teknologi, kebebasan berpendapat semakin tak terkendali, sebagai bukti akan hal itu adalah maraknya orang menyampaikan kritik, bullying, bahkan sampai menghujat individu, kelompok maupun pemerintah melalui media sosial.
Di media sosial, orang bebas berpendapat, mengeluarkan unek-uneknya, baik itu kritik, curhat, gosip, bahkan sampai menghujat. Menyikapi hal ini, pemerintah kemudian mengaturnya melalui UU ITE agar kebebasan berpendapat tidak kebablasan.
ADVERTISEMENT
Maka dari itu, jika ingin mengkritik melalui media sosial maka perlu membaca dan menyimak UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), salah satunya adalah ketentuan pidana di Pasal 45 pada UU tersebut. Sementara itu, jika ingin menyampaikan kritik dengan unjuk rasa maka harus membaca dan menyimak UU Nomor 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Makna Kritik
Kritik sudah menjadi bagian dari dinamika kehidupan bermasyarakat maupun bernegara, terkadang kita tidak sadar dengan apa yang kita lakukan, apakah itu kritik atau bukan. Jika merujuk pada kbbi online arti kritik adalah “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya”.
ADVERTISEMENT
Tujuan orang menyampaikan kritik adalah agar yang dikritik menjadi lebih baik, mengajak kepada kebaikan, atau mencegah kepada keburukan (amar ma’ruf nahi mungkar), oleh karena itu etika dalam memberi kritik harus diperhatikan, di antaranya adalah:
Pertama, ketika berniat memberikan kritik maka harus siap dengan solusi dan saran yang membangun jika tidak punya solusi atau saran atas kritik yang telah disampaikan, itu sama saja dengan bullshit. Kritik yang demikian banyak mafsadatnya baik bagi pengkritik maupun yang di kritik, bisa jadi akan timbul perselisihan di antara keduanya.
Kedua, sampaikan kritik secara objektif, mengedepankan objektivitas dalam memberikan kritik adalah bukti kejujuran kita dalam mengkritik, katakan benar jika memang benar, dan katakan salah jika memang itu salah, bukan malah sebaliknya mentang-mentang berasal dari kelompok kita terus tidak kita kritik tetapi ketika kelompok lain kita cari-cari kesalahannya untuk dikritik.
ADVERTISEMENT
Ketiga, lembut dan santun, dengan etika yang lembut dan santun kritik yang terlontar akan mudah diterima dibanding mengkritik dengan sikap memaksa dan keras, karena orang yang di kritik tidak merasa dipaksa untuk menerima kritik tersebut.
Lantas, Bagaimana dengan Nyinyir?
Dewasa ini jamak ditemui status di media sosial yang berbau kritikan, namun sejatinya jika ditelusuri itu bukanlah sebuah kritik namun biasa disebut oleh warganet dengan nama nyinyir, ini bisa dilihat dari gaya bahasa dan tujuan yang tidak jelas, mencari kesalahan, dan bahkan terkesan menjatuhkan.
Netizen tentunya sudah tidak asing dengan kata “nyinyir”, kata ini sering berseliweran di beranda medsosnya, entah dia sebagai pelaku, korban atau pengamat nyinyir itu sendiri, yang jelas kata ini sudah mendapat justifikasi negatif dari netizen, pun demikian dengan penyinyir itu sendiri yang dijuluki tukang nyinyir.
ADVERTISEMENT
Jika merujuk pada kbbi (versi online) nyinyir adalah mengulang-ulang perintah atau permintaan; nyenyeh; cerewet:, dari pengertian ini, kita bisa menyimpulkan bahwa nyinyir berbeda dengan kritik, namun pada kenyataanya masih ada yang menyamakan antara keduanya dengan berbagai alasan dan menganggap nyinyiran itu sebagai sebuah kritikan.
Kritik dan nyinyir memang berbeda, baik dari sisi latar belakang, objektivitas, positif, dan negatif, maupun tujuanya. Dalam bermedsos kita harus cerdas membedakan antara yang positif dan negatif, jangan sampai semangat bermedsos menghapus sekat antara kritikan dan nyinyiran, hal ini akan berdampak pada predikat seseorang/netizen, apakah tergolong sebagai kritikus atau nyinyirus (tukang nyinyir).
Dengan memperhatikan etika dalam mengkritik dan cerdas dalam bermedia sosial maka akan muncul kritikus-kritikus handal yang akan membangun sebuah peradaban. Semoga !!!
ADVERTISEMENT
Abdul Aziz, M. Pd
Alumni Pascasarjana Institut PTIQ Jakarta, Penulis buku “Menggapai Cahaya Al-Qur’an” dan “I am A Teacher”