Mau Apa Usai Pandemi? Mancing

Azwar Anas
UGC Coordinator kumparan
Konten dari Pengguna
7 Juni 2021 12:46 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
24
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azwar Anas tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Awal-awal mancing yang masih belum tahu mau mencari ikan apa.
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Awal-awal mancing yang masih belum tahu mau mencari ikan apa.
ADVERTISEMENT
Judul ini akan membuat orang melipat dahi dan bertanya, memangnya mancing selama pandemi gak bisa?
ADVERTISEMENT
Duduk dulu. Sabar, biar saya jelaskan!
Sejak kantor menerapkan WFH, saya memutuskan hidup dan tinggal di kampung halaman, di sebuah desa terpencil di Kabupaten Rembang. Desa yang berada di kaki gunung dengan lanskap yang langsung menghadap ke laut.
Saya tidak perlu bertanya, apakah kamu tahu Rembang atau tidak. 10 orang yang pernah mendengar nama Rembang, hanya dua di antaranya yang mengerti. Sisanya samar, sebatas pernah dengar.
Rembang merupakan kabupaten yang terbentang di Pantai Utara, di bagian paling timur Jawa Tengah. Letaknya berbatasan dengan Kabupaten Tuban di bagian Timur, Pati di bagian Barat, dan Blora di bagian Selatan, sedangkan di bagian Utara langsung berbatasan dengan Laut Jawa.
Oleh karena beberapa meter dari rumah saya adalah laut, maka memancing adalah pilihan paling masuk akal antara tetap mematuhi protokol kesehatan sekaligus memenuhi kebutuhan dasar manusia; bersenang-senang khususnya di kala pandemi yang notabene tak bisa plesiran ke luar kota.
ADVERTISEMENT
Saya bukan pemancing mulanya. Bahkan tak pernah terpikir akan melakoni hobi ini sebelumnya, namun pandemi mengubah banyak hal, bukan? Hal-hal yang tak pernah terpikirkan, tiba-tiba jadi kegemaran. Celakanya saya jadi gandrung.
Foto: Menunggu jemputan perahu menuju lokasi bebatuan karang.
Layaknya orang awam, mulanya saya kira mancing hanya soal menunggu keberuntungan, jika memang beruntung umpan akan disambar ikan. Jika tidak mau ngapain lagi? Dan apa yang lebih membosankan dari menunggu? Pandangan seperti itu rupanya keliru.
Memancing bukan hanya perkara melempar umpan, menaikkan ikan dari air ke darat, tapi lebih daripada itu. Memancing lebih ke persoalan kamu mengukir satu target lalu berusaha mewujudkan tujuan itu.
Dalam proses itu sudah pasti ada yang namanya kegagalan dan kesuksesan. Saat sukses itulah rasanya, tak ada hal apa pun yang bisa menggantikan. Begitu juga saat gagal, tidak ada satu pun motivasi yang mampu melegakan hati, selain coba lagi. Masa orang kalah pintar sama ikan.
ADVERTISEMENT
Maka jika ada orang yang bilang memancing sepenuhnya soal keberuntungan, sebaiknya orang itu menggeluti dunia pertogelan. Tidak ada yang namanya keberuntungan dalam memancing, yang ada hanya kesempatan. Dan untuk mengeksekusi kesempatan itu dengan baik maka dibutuhkan dua hal, skill dan knowledge.
Berbulan-bulan saya menjadi pemancing boncos. Pemancing yang bahkan merasakan sensasi strike pun tidak apalagi mendapat ikan. Pada kondisi seperti ini nasib bagaikan tulisan yang dicetak di bokong truk ‘pulang malu gak pulang rindu’. Saking kesalnya, pernah pulang mancing saya mampir ke TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan memborong ikan sebanyak-banyaknya.
Tapi ternyata, perbuatan itu malah membuat buruk keadaan. Ikan yang saya beli rupanya ikan tengahan macam tenggiri dan tongkol. Sedangkan saya mancing di pinggir yang rasa-rasanya sampai tua pun tidak akan mungkin memperoleh ikan-ikan jenis itu. Sudah gak bisa mancing, bohong, dan ketahuan pula. Triple kill!
ADVERTISEMENT
Mulanya saya berpikir memancing asalkan di laut, berpeluang mendapatkan ikan apa saja bahkan mungkin ikan hiu. Saya bahkan baru tahu bahwa ikan hidup di laut itu tidak campur jadi satu, tapi beda-beda kawasan sesuai kedalaman.
Dari kejadian itu saya belajar bahwa memancing itu sebagaimana hidup, harus punya target yang jelas.
Setelah target ikan saya kunci, saya kemudian mempelajari. Mulanya hanya bermodal tutorial dari YouTube lalu observasi, wawancara dengan orang-orang yang berpengalaman, dan riset pustaka pun saya lakoni.
Foto: Ikan Primadona dan paling dicari. Kakap Putih. Entah tangkapan yang ke berapa.
Bahkan saya tak keberatan membaca penelitian setebal 148 lembar dari mahasiswa Kelautan dan Ilmu Perikanan Undip yang meneliti soal karakteristik ikan. Saat itu target saya ikan primadona paling dicari, kakap putih alias Barramundi alias Lates calcarifer.
ADVERTISEMENT
Saya hanya mancing ketika akhir pekan dan libur kerja. Karena butuh waktu seharian di laut. Tanpa sinyal tanpa penerangan kala malam. Hari-hari lainnya, kerja seraya riset. Evaluasi apa yang salah. Menambah apa yang masih kurang. Setahun di rumah, saya dan beberapa teman mancing kini memiliki perahu kecil yang kami beli dari nelayan setempat. Prianti memancing lengkap dari mata pancing hingga ujung joran.
Kini bisa dipastikan ketika pulang memancing, saya membawa seekor atau dua ekor kakap putih berukuran lumayan, sekitar 2-3 kg. Malah di tahap ini, saya nyaris bosan dengan kakap. Padahal setahun lalu, jangankan kakap, anakan GT saja saya tak bisa menangkap.
Tampaknya, target harus segera diganti. Masih ada ratusan jenis ikan di lautan.
ADVERTISEMENT
Jadi jika ditanya, mau apa pandemi? Saya mau tetap bisa mancing, kalau pun pada akhirnya kembali ke Jakarta. Walau saya sendiri tak terlalu yakin dengan spot mancing di sana, tempat yang tak hanya sudut kotanya saja yang dipolitisasi, lautnya juga.