Mendidik Anak soal Rasa Kecewa

Babyologist
The trusted and resourceful media for pregnancy & maternity in Indonesia. Our vision is to make The Journey beautiful and enjoyable!
Konten dari Pengguna
19 April 2019 11:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Babyologist tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak sedang merenung.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak sedang merenung.
ADVERTISEMENT
Setiap orang pasti pernah kecewa. Tapi tidak semua orang mampu mengatasi rasa kecewa dan mengubahnya menjadi sesuatu yang positif. Hal ini yang ingin saya ajarkan pada anak saya.
ADVERTISEMENT
Semenjak saya menjadi orang tua, saya selalu mengingatkan pada diri saya adalah kebahagiaan anak bukan kewajiban saya untuk saya berikan cuma-cuma.
Jika dia ingin bahagia, dia harus mendapatkannya. Dia harus menjalani prosesnya, mengalami seluk beluknya, sehingga ia dapat meraih kebahagiaannya sendiri, termasuk di dalamnya adalah bagaimana mengatasi rasa kecewa.
Rasa kecewa datang tidak hanya dari orang tua, tetapi setiap orang yang dia temui berpotensi memberikan rasa kecewa baginya.
Oleh sebab itu, saya merasa sangat penting untuk mengajarkan anak bagaimana untuk memahami dan mengatasi rasa kecewanya.
Berikut adalah beberapa prinsip dasar yang saya pelajari dan saya coba terapkan dalam perjalanan tumbuh kembang anak saya.

Prinsip Dasar dalam Mendidik Anak

ADVERTISEMENT
Konsep ini sesederhana konsep "Bagaimana orang tua mengajari anak makan dengan sendok, kalau mereka tidak tahu apa itu sendok dan bagaimana menggunakannya sendiri?"
Sebelum mengajari anak untuk menguasai diri, orang tua harus bisa melakukannya terlebih dahulu dan memperlihatkan kepada anak bagaimana cara mengatasi rasa kekecewaan.
Manfaatkan kecerdasan anak dalam meniru orang dewasa. Tunjukkan bahwa anda kecewa, dan anda bisa mengatasinya, sembari memperlihatkan dan menceritakan cara-caranya dalam bahasa dan gerak-gerik yang mudah dipahami anak. 
Beritahukan anak bahwa kekecewaan itu sesuatu yang normal dan biasa, tidak perlu berkembang menjadi situasi yang dramatis, tetapi juga bukan situasi yang patut diremehkan.
ADVERTISEMENT
Terkadang, kekecewaan anak hadir karena alasan sederhana, dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan dan harapkan. Maka, anda dapat mencoba untuk menjelaskan dalam setiap kondisi, apakah ini boleh dan apakah ini tidak boleh.
Sesuatu yang tidak boleh, harus selalu dikatakan tidak boleh secara konsisten, yaitu tidak berubah-ubah dalam setiap kondisi.
Konsistensi itu mampu mengubah rasa kecewa menjadi pemahaman. Anak akan belajar apa yang tidak boleh maka tidak boleh, untuk kebaikannya sendiri.
Proses bermain memberikan banyak stimulasi, rangsangan dan menghadirkan hubungan sosialisasi yang baik untuk anak. Walaupun dalam bermain, anak bisa menangis karena berebut mainan, terluka karena ada yang memukul dan mencakar, tetapi anak belajar banyak.
ADVERTISEMENT
Dalam contoh kasus, misalnya anak ingin memainkan mainan orang lain, anda dapat mengingatkan, "Tanya dulu sama temannya, kamu boleh pinjam tidak? Kalau tidak boleh, kamu mainkan mainan yang lain." Jika anak itu memberikan mainannya, maka ia harus mengucapkan terima kasih.
Di sisi lain, ketika ada anak lain yang mencoba merebut mainan anak, anda dapat bertanya kepada dia, "Apakah dia boleh pinjam mainanmu?"
Jika anak terlihat tidak mau memberikan, maka anda dapat mengatakan "Enggak apa-apa kamu mau main. Bilang sama temanmu, 'Saya masih mau main. Nanti saja ya kita gantian.' Temanmu akan belajar mengerti."
Tujuannya adalah untuk mengajarkan dia memahami rasa kecewa karena tidak bisa mendapatkan apa yang dia inginkan, tetapi di lain pihak juga menjelaskan pentingnya keadilan, dan ia memiliki hak utuh untuk membela dan melindungi apa yang ia anggap penting.
Ilustrasi marah pada anak Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Ketika anak merasa kecewa, dorong dia untuk berbicara dan mengungkapkan. Apa yang membuat kamu kecewa? Jelaskan ceritanya. Ketika ia bercerita, tidak hanya anda yang menilai ceritanya, tetapi anak juga akan mendengar kembali kejadian (dengan versinya sendiri) dan ikut belajar menilai cerita tersebut.
Dalam proses belajar seperti ini, dia belajar memahami penyebab dari kekecewaannya. Apa yang ia harapkan dari kejadian ini? Jika kejadian ini adalah kejadian yang dapat ditoleransi atau terjadi karena kesalahan orang lain, maka orang tua dapat meminta orang yang bersangkutan untuk meminta maaf.
Dengan meminta orang yang bersangkutan meminta maaf, maka anda memberikan pesan kepada anak, bahwa anda siap membela jika dia benar.
Di sisi lain, jika kejadian ini terjadi karena kesalahan atau kelalaian anak, maka orang tua dapat menjelaskan kepada anak bagaimana seharusnya ia bersikap, dan anda mendukungnya untuk memperbaiki situasi tersebut.
ADVERTISEMENT
Dari proses ini, akan terjadi hubungan komunikasi dua arah yang sangat baik antara anak dan orang tua, serta terbangun hubungan kepercayaan yang positif. Anak tidak merasa dihakimi atau diabaikan, tetapi ditanggapi dan didukung dalam proses pembelajarannya.

Pengalaman Saya Mengajarkan Anak Merasakan Kecewa

Ketika anak saya berumur 1 tahun, saya masih menganggap anak saya adalah bayi yang tidak mengerti apa-apa kecuali makan dan tidur.
Ada satu momen di mana saya masih ingat sekali. Malam itu, saya dan papanya berencana keluar rumah sebentar, bertepatan ketika ia sudah mengantuk dan siap ditidurkan pengasuhnya.
Karena dia menangis melihat saya dan papanya sibuk bersiap-siap, saya bilang kepadanya, "Tidur ya, Papa dan Mama enggak kemana-mana, cuma di depan aja." Nyatanya, kami keluar rumah.
ADVERTISEMENT
Tak lama setelah kami kembali, dia sudah tertidur. Kurang lebih 2-3 jam kemudian di saat ia meminta susu, tidak seperti biasanya dia terbangun dan ketika melihat saya, bibirnya berkerut dan dia menangis.
Bukan tangisan lapar, bukan tangisan sakit, tetapi tangisan kecewa. Dari mana saya tahu? Ketika saya menggendongnya, dia memukul dada saya sambil tersedu-sedu. Saya dan papanya sama-sama bingung.
Dia menangis terus menerus, hampir 30 menit.
Akhirnya saya katakan seperti ini kepadanya, "Maaf ya, Nak, tadi Papa dan Mama bohong ya. Sebenarnya kita enggak mau bohong, cuma kamu kelihatan sedih sekali waktu liat Papa dan Mama siap-siap mau pergi. Papa sama Mama enggak tega lihatnya. Tapi bagaimanapun juga, Papa sama Mama, salah. Kita seharusnya enggak bohong."
ADVERTISEMENT
Saya lanjut berkata, "Kamu pasti kecewa ya, karena Papa dan Mama bohong, katanya cuma di depan, tapi ternyata keluar rumah. Kalau Mama jadi kamu, Mama juga pasti kecewa dan sedih. Maaf ya, Mama dan Papa bener-bener minta maaf, dan janji lain kali akan bicara yang sebenarnya, kalaupun kamu masih nangis, setidaknya kamu tidak dibohongi. Sekarang, kamu sudah bisa maafin Mama dan Papa?"
Suami saya hanya tertawa mendengar perkataan saya, masa iya anak umur 1 tahun bisa mengerti ucapan saya seperti itu? Kenyataannya, selama saya berbicara, dia menatap mata saya. Ketika saya sudah selesai berbicara, dia memeluk saya, tiba-tiba mencium pipi saya, dan menyenderkan kepalanya ke pundak saya lalu tertidur. Saya dan suami sama-sama seperti tidak habis pikir.
ADVERTISEMENT
Momen ini benar-benar menyadarkan saya, bahwa saya bertanggung jawab atas apa yang saya lakukan kepada anak saya. Jika anak kecewa karena saya, maka saya wajib untuk meminta maaf dan memperbaiki situasinya, sehingga ia juga dapat melihat bahwa saya berusaha memperbaiki situasi. Jika suatu saat dia berada di situasi seperti ini, dia juga berani dan tidak menunda dalam mengambil sikap.
Jadi, kecewa itu tidak selamanya menjadi hal negatif, Moms. Tidak hanya kita mengajari anak, tapi ada kalanya kita juga belajar dari anak. Ketika anak bisa belajar menghadapi dan mengatasi rasa kecewanya, dia akan belajar untuk tidak menyerah atas dirinya sendiri dan juga atas orang lain.
Semoga bermanfaat.
By: Missy Melita
Copyright by Babyologist
ADVERTISEMENT