My Own Story, Baby Blues is Real

Babyologist
The trusted and resourceful media for pregnancy & maternity in Indonesia. Our vision is to make The Journey beautiful and enjoyable!
Konten dari Pengguna
29 Mei 2019 11:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Babyologist tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi seorang perempuan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi seorang perempuan
ADVERTISEMENT
Sebetulnya sedih jika mengingat dulu saya pernah mengalami syndrome baby blues. Sebelum memiliki bayi, saya pikir saya tidak akan mengalami hal tersebut karena tentunya saya sangat bahagia karena kehadiran si Kecil ke dunia.
ADVERTISEMENT
Pasca-melahirkan saya pulang ke rumah orang tua, dikarenakan memang kondisi saya belum punya rumah. Selama 10 hari di rumah mama, saya merasa baik-baik saja karena mama saya dengan sigap membantu saya seperti memandikan dan mengganti baju baby, hingga membuatkan saya sarapan dan makan siang.
Pokoknya semuanya terima beres, bahkan saya diizinkan untuk tidur siang dan mama membantu menjaga baby saat saya tidur dan membangunkan saya ketika baby ingin menyusu. Soal ASI, pada tiga hari pertama memang belum keluar dan setelah itu Alhamdulillah lancar, namun dikarenakan baby saya menangis terus akhirnya baby diberi susu formula, itu pun hanya beberapa botol karena setelah itu ASI-nya sudah kembali lancar.
Lalu suami meminta kami untuk tinggal di rumah mama mertua. Mertua saya dan ipar-ipar saya semuanya baik, tapi saya juga bingung kenapa saya merasa seperti tidak ingin berpisah dengan mama. Rasanya ingin terus bersama mama. Sebelum berangkat tiba-tiba saya duduk ter-henyak, rasanya lemas segala rasa bercampur, dan tanpa terasa air mata saya jatuh. Saya menangis tertunduk kemudian suami saya menghampiri dan tidak berkata apa-apa, ia hanya mengelus-elus lembut kepala dan punggung untuk menenangkan saya.
ADVERTISEMENT
Saya tidak punya pilihan lain, mama bilang 'mama juga penginnya teteh tetep di sini gimana atuh' saya merasa kok suami tega sekali. Namun setelah saya pikir kasihan juga mama mertua saya yang sangat mengidam-idamkan adanya baby di rumahnya, karena ini adalah cucu pertamanya.
Kami pun berangkat menuju rumah suami, diantar oleh mama, emak (nenek saya) dan Haikal (keponakan saya). Hingga akhirnya mama, emak, dan Haikal harus pulang dan meninggalkan kami. Air mata saya tiba-tiba jatuh saat mengantar kepulangan mereka, hati saya rasanya hancur, sampai mama bilang, "Sama aja teteh di sini juga, mama (mertua) juga kan ada". Tapi saya tetap menangis sesenggukan seperti anak kecil.
Dimulailah hari-hari yang menantang itu, tiga hari pertama mama mertua masih bisa mengurusi saya, karena masih libur mengajar namun setelah itu saya harus mengurus anak saya sendiri dikarenakan mama mertua kembali mengajar dari pagi hingga sore. Pagi hari saya memandikan baby, menjemur, memakaikan baju, menyusuinya, menidurkannya, dan kegiatan ini saya lakukan berulang setiap hari. Saya mulai merasa kesepian, bosan, tidak ada teman mengobrol, kelaparan, dan sangat menyedihkan rasanya.
Ibu menggenggam sang anak (ilustrasi) Foto: Pixabay/cartersbebemom
Anak saya adalah tipe baby yang cengeng, pernah suatu hari dia sama sekali tidak mau lepas dari gendongan hingga saya kesulitan bahkan hanya sekadar untuk makan dan buang air.
ADVERTISEMENT
Dia juga sering mengajak kami begadang karena sering menangis dan terjaga sepanjang malam. Ditambah kondisi kamar yang pengap dan jauh dari kata nyaman, hampir setiap hari kami (saya, suami, baby) tidur di luar kamar dikarenakan baby kegerahan jika berada di dalam kamar karena kondisi kamar yang kecil dan pengap.
Kami tidur dengan para nyamuk (kecuali baby karena baby pakai kelambu anti nyamuk) dan tidak jarang terbangun karena gigitan nyamuk yang ganas. Selain itu saya juga harus terbangun untuk menyusui setiap kali baby menangis dan terbangun untuk menyusu.
Hampir setiap hari juga saya menangis di bahu suami, menangis saja karena saya juga tidak mengerti kenapa saya ingin menangis. Rasanya sedih dan itu tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Rasa sedih saya bertambah parah ketika saya melihat sebuah mainan yang Haikal berikan untuk sepupunya (anak saya), saya selalu teringat kata-katanya 'ateu kalau Dede Asta nangis kasih ini, ini buat Dede Asta dari aku'.
ADVERTISEMENT
Kerinduan saya semakin dalam, saya sedih dan berpikir seandainya di rumah mama saya tidak akan seperti ini, saya tidak akan kelaparan, kecapaian, pun ketika saya bosan pasti banyak yang menghibur, tidak seperti di sini, sepi dan membosankan.
Saya jadi berpikir semua orang di rumah ini tidak peduli terhadap saya, pun suami. Belum lagi perihal ASI. Mama mertua saya suka memberi baby susu formula tanpa persetujuan saya, saya tahu ASI saya memang tidak sebanyak yang lain, tapi saya yakin itu cukup untuk baby saya. Katanya karena baby saya terus menangis, padahal menangis memiliki banyak arti bisa jadi baby kegerahan, popoknya basah, dan lain-lain.
Ditambah dengan terkadang mama mertua saya mengajak baby tidur di kamarnya dikarenakan kamar saya pengap dan panas sedangkan di kamar beliau ada AC. Saya semakin sedih karena tidak bisa tidur dengan anak saya sendiri. Respons suami ketika saya ceritakan semuanya hanya, "Sabar mamah (mertua) juga kan cuma pengin yang terbaik buat cucunya". Namun entah kenapa hati saya tidak menerima itu. Saya masih mampu menyusui, saya ingin bersama anak saya dan itu tidak bisa saya lakukan, saya sedih.
ADVERTISEMENT
Saya tidak menyalahkan siapa pun, saya hanya merasa aneh ketika itu saya sangat perasa, mudah menangis, cepat lelah, stres hingga saya banyak baca di Instagram dan googling, dan akhirnya saya mengambil kesimpulan bahwa saya terkena baby blues.
Mungkin ada yang berkata saya berlebihan dan terlalu ambil pusing dengan apa yang terjadi, namun memang inilah kenyataannya yang saya alami sendiri.
Maka dari itu sejak saat ini saya belajar untuk memaafkan diri saya sendiri, mencoba menjadi ibu yang terus bahagia dalam mengurus anak saya. Ketika ibu lain mengalami hal yang sama saya tidak sungkan untuk menawari 'kuping' untuk ia bercerita, karena saya sadar bahwa hanya ibu yang mampu memahami keadaan ibu yang lain. We can support and care each other moms.
ADVERTISEMENT