Pengalaman Saya Hadapi Anak Tantrum

Babyologist
The trusted and resourceful media for pregnancy & maternity in Indonesia. Our vision is to make The Journey beautiful and enjoyable!
Konten dari Pengguna
9 Oktober 2019 10:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Babyologist tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pengalaman Saya Hadapi Anak Tantrum
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kali ini saya pengin cerita pengalaman pribadi menghadapi tantrumnya Nabilla. Sebelum kita ngomongin cara menghadapi tantrum, kita harus tahu dulu penyebab anak tantrum.
ADVERTISEMENT

Dari pengalaman saya, anak tantrum kalau:

1. Keinginannya tidak kita penuhi.
2. Kesenangannya dihentikan secara semena-mena oleh kita. Anak lagi asyik main air, kita langsung angkat. Anak lagi nonton TV, kita langsung matiin.
3. Ngantuk dan lelah. Kalau ini penyebab tantrum, saya cuma bisa kasih satu solusi: ajak anak tidur/istirahat :)
Penyebab 1 dan 2 seharusnya bisa dihindari dengan komunikasi yang baik.
Orang tua perlu memahami jenis-jenis tantrum pada anak Foto: Shutterstock

Beginilah saya menghadapi tantrum anak saya:

1. Saya bicara dengan nada tenang kepada anak saya
"Bicaranya baik-baik, diam dulu, lalu bicara sama mamah baik-baik" atau "Ngomong baik-baik, kalau sambil nangis dan teriak-teriak mamah enggak ngerti." Sambil ngomong begitu saya menghadap anak saya (saya tatap matanya dan kalau dia menghindar dari tatapan mata saya, biasanya saya minta dia untuk melihat saya), posisi sejajar (saya berlutut), dan kadang ada sentuhan.
ADVERTISEMENT
Bisa dengan memegang tangannya atau mengelus-elus pipi/rambutnya. Kalau tantrumnya masih level rendah, cara pertama ini langsung ampuh. Ketika dia tenang, kami langsung berdiskusi tentang apa yang diinginkannya dan saya menjelaskan kenapa saya tidak membolehkannya. Intinya, negosiasi, win-win solution, anak senang, Moms juga senang.
2. Diam atau lakukan aktivitas yang ingin dilakukan/sudah Moms lakukan sebelum anak tantrum
Kalau level tantrum sudah menengah ke tinggi, anak saya akan menangis lebih keras jika disuruh bicara baik-baik. Kalau saya memaksa memberi penjelasan dalam keadaan dia menangis keras, percuma. Dia tidak mau dengar, padahal volume suara saya sudah makin tinggi. Dia juga akan meninggikan volume tangisan dan teriakannya. Saat itulah saya memutuskan untuk diam. Kalau saya lagi masak, saya tetap masak.
ADVERTISEMENT
Aksi diam ini bukannya sekadar diam, tapi saya berusaha mengirimkan pesan melalui bahasa kalbu, mamah ingin bicara baik-baik denganmu, nak. Sambil diam ini juga saya sambil berpikir apakah saya sudah benar untuk tidak memenuhi keinginannya?
Apakah yang saya larang adalah sesuatu yang memang benar-benar harus saya larang, atau sebenarnya bisa saya kasih izin dengan syarat-syarat tertentu. Saya juga berpikir akan kata-kata baik yang harus dikeluarkan ketika kami akhirnya bicara. Sebelum/ketika sedang berlangsung aksi diam ini, saya juga memberitahu dia lagi bahwa saya baru akan bicara lagi dengannya kalau dia sudah mau diam, berhenti menangis teriak-teriak dan mau mendengarkan.
3. Time Out
Anak belum juga mau diam dan mereda. Dia malah semakin marah dengan aksi diam kita. Kita merem, dia teriak. "Jangan mereeemm, jangan tiduuur." Kita masak, makan, ke kamar mandi, dll, dia mengikuti dan meraung-raung di sebelah kita. Kadang sambil narik-narik baju atau ada juga anak yang suka pukul/tendang. Biasanya situasi seperti ini membuat ibu terpancing emosi, bawaannya pengin nyubit, pengin bentak.
ADVERTISEMENT
Nah, inilah waktunya time out. Time out versi saya adalah memisahkan kami berdua. Caranya time out, saya mendudukkan Nabilla di kursi khusus, menyuruhnya tetap duduk di situ sampai tenang, baru kami bicara sementara saya di ruangan lain. Apakah anak akan langsung diam dan tenang? Ooo, tentu tidak. Dia akan mengamuk, teriak-teriak, mencoba berlari mengejar kita.
Di saat itulah konsistensi kita sedang diuji. Apakah kita bertahan dengan time out itu atau kita luluh dengan teriakan dan tangisnya yang semakin memilukan dan menyayat hati. Jujur, gak tega. Tapi saya harus menunjukkan bahwa ketika saya mensyaratkan dia untuk tenang agar bisa bicara, itu adalah syarat serius, bukan ancaman, bukan gertakan yang segera luluh dengan tangisannya.
ADVERTISEMENT
Supaya anak juga bisa mengerti bahwa untuk mendapatkan keinginannya, bukanlah dengan menangis teriak-teriak melainkan dengan bicara baik-baik. Oh iya, time out ini juga ada waktunya, ya. Pernah baca kalau sebaiknya time out adalah selama beberapa menit sesuai usia anak. Kalau waktu time out sudah habis dan dia belum juga reda, saya akan bertanya. "Sudah siap bicara sama mamah?"
4. Kembali bicara baik-baik
Saat anak sudah tenang, ibunya juga tenang. Inilah saatnya bicara. Biasanya saya mulai dengan mengajak Nabilla berpelukan meski Nabilla sering menolaknya. Maklum meski sudah tenang, dia masih 'marah' dengan saya. Saya ambil posisi sejajar dengannya, menatap matanya, dan saya pegang tangannya. Saya memberi penjelasan, kami bernegosiasi dengan baik-bai. Jika penyebab tantrumnya saya sadari adalah kesalahan saya, saya minta maaf lalu mengajaknya berpelukan lagi dan kasih dia ciuman.
ADVERTISEMENT
Begitulah pengalaman saya menghadapi tantrum. Alhamdulillah, saya lihat Nabilla sudah mulai mengerti. Kalau dia mau marah/nangis, dia bisa langsung tenang jika saya memintanya bicara baik-baik. Kalau akhirnya tantrum dan sampai time out, Nabilla cepat menyadari bahwa dia harus bicara baik-baik jika ingin time out berakhir. Saya percaya bahwa kami berdua sama-sama belajar berkomunikasi dan kami sedang berproses menuju yang lebih baik.