Aku Bisa Sukses, tapi Bukan dengan Musik

Konten dari Pengguna
1 Juni 2018 0:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bagas Putra Riyadhana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi kesuksesan (Foto: Pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kesuksesan (Foto: Pixabay)
ADVERTISEMENT
Aku seorang anak laki-laki biasa dari keluarga sederhana. Aku terlahir ke dunia dengan berat 3,5 kilogram dan sama sekali belum punya keinginan akan menjadi apa.
ADVERTISEMENT
Aku tumbuh sebagaimana layaknya bocah. Hingga saat ku berumur 4 tahun, aku ingat sekali punya cita-cita ingin menjadi seorang tentara.
Sungguh, itu hanya gurauan anak kecil yang waktu itu bahkan belum bisa mengayuh sepeda. Namun, tak ada yang tau seperti apa masa depan kelak bukan?
Saat SD cita-citaku berubah, aku punya keyakinan kalau-kalau nanti sudah besar, sudah jadi orang, aku ingin jadi seniman. Ya, keluargaku memang tak lepas dari seni, tapi sangat sulit bagiku sendiri untuk hidup "nyeni". Ibuku pernah bilang, Seni itu bisa, karna terbiasa".
Masalahnya aku bukan anak yang tekun dan bisa selalu fokus dengan satu pekerjaan. Aku pun menyerah. Menjadi anak dari ibu yang berprofesi guru seni dan ayah penabuh gendang gamelan nyatanya tak serta merta dapat menyeretku ke dalam "lubang" yang sama.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan hidup namanya jika kita kehabisan akal. Ayah dan Ibu berasal dari keluarga Jawa yang "njawani", kalian tahu maksudnya? Artinya mereka berasal dari keluarga yang tekun dan pekerja keras.
Dari predikat keluarga "njawani" itu, aku pun banting setir, mencoba untuk berusaha unggul dalam pelajaran. Aku memang tak pandai matematika, bahkan nilaiku selalu jeblok menyoal kimia dan fisika. Tapi aku punya minat pada ilmu sosial.
Entah karena kutukan tuhan atau takdir dari-Nya, aku dan kakak semata wayangku bergelut di bidang yang sama. Kami sama-sama punya passion di bidang sosial-humaniora.
Ketika SMP aku sama sekali yang menduga-duga, aku kembali menemukan hal yang sejak awal ku pikir menjadi jalan hidup keluargaku, seni.
ADVERTISEMENT
Aku bertemu dengan seorang teman yang pandai bermain gitar. Tak perlu banyak soal, aku mulai "berguru" padanya. Itulah pertama kalinya aku lebih banyak mengenal musik, bahkan lebih dari ketika diajarkan oleh orang tuaku.
Ibuku memang seorang guru seni, tapi itupun lebih condong seputar seni rupa. Dan kau tahu, aku tak pandai melukis, bahkan menggambar pemandangan pun tak sebagus ponakanku yang berumur 5 tahun. Sejak saat itu aku sadar minatku sudah bersebrangan dari Ibu.
Hari-hariku mengenal musik berlanjut hingga SMA. Aku bergabung dengan ekstrakulikuler band di sekolah, manggung sana-sini, dan dapat prestasi. Aku juga memutuskan ikut les musik, bahkan sempat satu panggung dengan salah satu musisi idolaku, Dewa Budjana, ketika ada acara jamming di tempat lesku.
ADVERTISEMENT
Namun, orang tua memang selalu punya keinginan tersendiri bagi anak-anaknya. Perjuanganku selama ini mengenal musik, tak selalu diamini oleh orang tuaku. Ayah dan Ibu takut bakat musikku terbawa hingga menjadi jalanku untuk mencari uang kelak.
Perjuanganku pun terhenti, aku terpaksa harus memilih fokus dengan akademik. Nilaiku harus bagus, begitu pesan yang selalu disematkan Ayah. Sebagai anak yang selalu menurut tuturan orang tua, aku tak punya kuasa, dan sekali lagi harus menuruti.
Lulus SMA, aku berhasil lolos seleksi masuk salah satu unversitas negeri terbaik. Orang tuaku senang bukan kepalang, masuk negeri ditambah masuk ke jurusan sastra jawa, sesuai keinginan Ayah.
Aku? jangan ditanya. Senang, karena aku juga suka sastra, dan memang itu jadi salah satu pilihanku ketika mendaftar di perguruan tinggi. Tapi, harus ku ikhlaskan harapanku masuk ke jurusan seni musik.
ADVERTISEMENT
Akhirnya dalam masa-masa perjalanan hidupku berikutnya aku lebih banyak mengenal dan menghayati sastra dan sejarah. Musik? aku memang belajar gamelan Jawa dan bergabung dengan klub marching band di kampus, bahkan pernah berprestasi di tingkat nasional. Tapi, semua itu aku lakukan diam-diam, tanpa sepengetahuan orang tua.
Aku tak ingin menciderai harapan kedua orang tuaku. Aku selalu ingat pesan Ibu "kamu bisa sukses, tapi bukan dengan musik". Awalnya aku mengira hidup ini tak adil, tapi bukan hidup namanya jika kita menyerah dengan keadaan.
Aku belajar mengerti bahwa apa yang kita inginkan tak selalu bisa kita dapatkan. Tapi Tuhan juga tak akan begitu saja meninggalkan. Buktinya, aku bisa lulus kuliah dengan nilai dan prestasi yang baik. Ayah dan Ibu sekali lagi bisa senang. Aku sangat bersyukur dengan itu, dan belum tentu dengan musik aku bisa mendapatkan hal yang sama.
ADVERTISEMENT
Hari ini dengan berani aku memutuskan jadi seorang jurnalis, masih belajar dan akan terus begitu selama itu bukan musik. Biarlah wujudnya tak benar-benar ku lakukan setiap hari, tapi seni dan musik akan selalu jadi semangatku hingga nanti.
Masa depan memang tak benar-benar bisa diprediksi. Segalanya sudah ada yang mengatur. Akupun tak bisa ikut campur, hanya bisa selalu mencoba, berusaha, dan biarlah Tuhan yang memutuskan.