Catatan Akhir Tahun di Bidang Hukum

Bakhrul Amal
Penulis Buku Hukum dan Masyarakat, Mahasiswa Doktoral UNDIP
Konten dari Pengguna
24 Desember 2020 17:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bakhrul Amal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pengadilan. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Tahun hampir tutup. Desember, yang menjadi akhir daripada bulan, telah memasuki pertengahan.
ADVERTISEMENT
Begitu banyak catatan penting di tahun 2020. Dari mulai virus corona, era baru dunia dengan protokol kesehatan, disahkannya omnibus law dalam bentuk UU Cipta Lapangan Kerja, korupsi bantuan sosial, hingga yang terakhir adalah geger penembakan enam anggota Ormas Islam di KM 50 Karawang. Tulisan ini sedikit banyaknya akan meninjau semua yang viral itu dari sudut pandang hukum.
Sistem hukum tidak bisa dinilai bekerja hanya karena hukum itu telah ada. Keberadaan hukum dan isinya hanyalah sebuah substansi. Substansi tersebut perlu dikawal dengan penuh integritas oleh struktur dan didukung penuh dengan kesadaran akan budaya hukum. Oleh sebab itu, agar lebih sistematis, maka penjelasan catatan di bidang hukum akan dibagi ke dalam tiga sub bagian. Bagian substansi, struktur, dan kultur hukum.
ADVERTISEMENT
Substansi Hukum
Jika hukum dimaknai sebagai undang-undang maka hukum di Indonesia jumlahnya amat banyak. Sebagai catatan, di tahun 2016, yang artinya saat ini semakin bertambah, Indonesia mencatatkan diri sebagai negara hukum dengan jumlah peraturan perundang-undangan terbanyak. Ada sekitar 40.000 peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Peraturan perundang-undangan yang banyak itu bentuknya bermacam-macam. Mengatur banyak sektor.
Jauh panggang dari api nyatanya ketertiban sosial, keadilan, dan kesejahteraan berbanding terbalik dengan jumlah peraturan perundang-undangan yang fantastis itu. Substansi hukum, sejalan dengan fakta tersebut, dinilai belum sempurna dan masih perlu dibenahi.
Pada awal kemunculannya narasi omnibus law mungkin adalah jawaban untuk merapihkan banyaknya peraturan perundang-undangan itu. Hanya saja, sebab kurang matangnya persiapan, pada perjalanan pembentukannya persoalan pertentangan tradisi hukum, persoalan hierarki hukum, dan persoalan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik ternyata muncul dan lantas menimbulkan pro dan kontra terhadap metode omnibus law. Terlebih omnibus law kemudian dihadapkan pada isu keberpihakan hukum. Hukum lahir mestinya untuk memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Sedangkan menurut masyarakat, disebabkan kurangnya komunikasi, omnibus law ini dipertanyakan dan dikhawatirkan justru hanya bermanfaat bagi sebagian kecil pihak.
ADVERTISEMENT
Struktur Hukum
Elemen penting dari efektifnya sebuah aturan adalah law enforcement. Law enforcement ini dimiliki oleh lembaga-lembaga yang disebut Friedman sebagai struktur hukum. Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung adalah tiga institusi yang paling berperan.
Charta Politika menyebutkan adanya tren penurunan kepercayaan publik terhadap ketiga institusi itu. Hasil berbeda ditunjukkan oleh Indakor Politik Indonesia. Indikator Politik Indonesia justru menunjukkan kepercayaan publik meningkat terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Dua hasil berbeda tersebut mengisyaratkan bahwa masyarakat dalam kondisi yang ragu-ragu. Di sisi lain masyarakat membutuhkan perlindungan. Di sisi yang lainnya lagi masyarakat memandang ada fakta bahwa hukum belum sepenuhnya diberlakukan secara sempurna (baca: terbang pilih).
Persoalan penegakan hukum secara faktual nyatanya memang perlu perbaikan. Meskipun kita ketahui bersama sesungguhnya pasca reformasi keterbukaan informasi publik sudah berjalan baik dan dikawal oleh lembaga Komisi Penyiaran Indonesia. Masyarakat juga bisa memaksimalkan fungsi Komnas HAM, Kompolnas, Komisi Kejaksaan, maupun Komisi Yudisial. Tetapi bagi masyarakat perbaikan itu letaknya bukan di situ. Bukan pada pemaksimalan lembaga pengawas. Perbaikan itu letaknya ada pada semangat struktur hukum mewujudkan equality before the law yang belum nampak dan dirasakan betul oleh masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kultur Hukum
Selain struktur hukum, komponen yang tak kalah penting untuk membantu bekerjanya substansi hukum adalah budaya hukum masyarakat.
Budaya hukum masyarakat ini belum terlalu terbangun sebab, dalam bahasa Russel, masih adanya pertentangan kepatuhan moral. Dengan keragaman suku, agama, dan ras, di Indonesia masih begitu banyak hukum di luar hukum negara yang diakui, dipercaya, dan patut ditaati oleh masyarakat. Hukum yang hidup itu, atau biasa dikenal living law, bahkan kadang dianggap lebih tinggi dari hukum negara.
Secara konsep ketatanegaraan seorang warga negara semestinya hanya diatur oleh satu sumber hukum, yaitu hukum negara. Di Indonesia hukum yang diakui adalah hukum dalam bentuk undang-undang. Hal inilah yang kadang belum dipahami secara menyeluruh sehingga masih sering terjadi kegamangan kepatuhan hukum di masyarakat, mematuhi hukum negara yang formalistik atau hukum kebiasaan yang lebih substantif.
ADVERTISEMENT
Solusi untuk memperbaiki budaya hukum akibat pertentangan itu adalah dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai kesadaran akan hukum. Sosialisasi ini bukan bertujuan melemahkan kepercayaan masyarakat akan hukum di luar hukum negara. Sosialisasi ini untuk memberikan pemahaman bahwa masyarakat adalah bagian dari negara yang terikat juga pada hukum negara. Artinya mereka diatur dan diperlakukan sama ketika berhadapan dengan hukum negara tanpa peduli suku, ras, dan agamanya.
Selain mengenai eksistensi hukum negara, budaya hukum juga dipengaruhi oleh bertebarannya asumsi liar mengenai suatu hal yang dikomentari oleh orang-orang yang tidak kompeten. Padahal, jika budaya hukum sudah terbangun, masyarakat akan mampu memahami bahwa asumsi itu bukan fakta. Sesuatu yang bukan fakta artinya belum tentu benar dan di dalam hukum “in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores” (dalam perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya).
ADVERTISEMENT
Terakhir, belum terbangunnya budaya hukum sesungguhnya bukan hanya problem masyarakat awam hukum. Belum terbangunnya budaya hukum juga menjangkit manusia-manusia yang merasa superior atau dalam bahasa Fukuyama disebut sebagai manusia dengan kecenderungan megalothymia. Manusia yang karena perasaan memiliki jabatan, memiliki pengaruh, dan memiliki jumlah pengikut besar menjadi ingin di atas yang lain, diperlakukan eksklusif, hingga akhirnya abai dan terkesan meremehkan aturan hukum. Persoalan ini tidak kalah pentingnya untuk diatasi dengan ketegasan struktur hukum.
Penutup
Hal-hal di atas sebenarnya adalah persoalan klise. Persoalan yang terjadi setiap tahunnya. Persoalan yang belum sepenuhnya berubah dikarenakan penyelesaiannya selalu didekati secara formalistik.
Padahal sesekali bolehlah dicoba untuk membuat metode menyelesaikan persoalan hukum secara progresif a la Prof. Satjipto Rahardjo atau model Bryan Tamanaha dengan model hukum realistis. Terlebih di negara yang kaya akan budaya. Hukum sejatinya tidak melulu soal pengganti rugian, pembalasan dan pemidanaan. Ada konsep restorative justice, ada proses mediasi, dan proses hukuman tanpa vonis yang lebih bisa mengambil kebahagiaan bagi semua pihak, yang itu juga adalah hukum. Terobosan pembaharuan tersebut dapat dimulai dengan upaya menggabungkan dua tradisi hukum dalam satu sistem hukum, menggabungkan tradisi common law dan civil law dalam bingkai negara hukum Indonesia.
ADVERTISEMENT