RUU PKS dan Perlindungan di Tengah Perjuangan yang Tertunda

Bakhrul Amal
Penulis Buku Hukum dan Masyarakat, Mahasiswa Doktoral UNDIP
Konten dari Pengguna
17 Agustus 2020 7:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Bakhrul Amal tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi perempuan. Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi perempuan. Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Akhir-akhir ini muncul dorongan dari berbagai elemen di berbagai daerah untuk menuntut segera disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). RUU PKS, menurut aliansi yang peduli kepada korban kekerasan seksual, perlu segera disahkan sebab dianggap penting untuk mengurangi korban kekerasan seksual yang secara statistik dari tahun ke tahunnya terus meningkat.
ADVERTISEMENT
Tuntutan tersebut sah. Secara hukum pun setiap orang bebas menyatakan pendapatnya. Terlebih pendapat itu untuk kemaslahatan bersama.
Akan tetapi problem yang muncul saat ini adalah RUU PKS tidak masuk dalam Prolegnas tahun 2020. Harapan agar RUU PKS dapat disahkan tahun ini pun menjadi muskyil. Terkecuali, merujuk Pasal 23 ayat (2) UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, RUU PKS adalah RUU yang memang diperuntukan mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam dan keadaan tertentu lain yang darurat. Sayangnya, lagi-lagi, RUU PKS dinilai tidak masuk kategori tersebut sehingga pengesahannya mesti melalui mekanisme yang umum.
Penundaan
Penundaan RUU PKS bukanlah akhir segalanya. Bukan pula kemudian dianggap sebagai upaya dari yang "pro kekerasan seksual" agar tetap dapat melancarkan aksi liarnya. Banyak hal yang perlu kita perhatikan betul dan mesti kita tinjau secara hukum maupun secara kondisi sosial yang aktual.
ADVERTISEMENT
Monistis
Secara isi dan konsep hukuman, diluar metode baru restitusi atau ganti rugi terhadap kerugian materiil korban, RUU PKS kita ketahui banyak bersinggungan dengan hukum pidana. Pembentukan dan pengesahan dari RUU PKS artinya haruslah harmonis serta selaras dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku.
KUHP, sebagai induk aturan pidana, yang ada dan berlaku di Indonesia saat ini kita mafhum adalah hukum warisan Belanda, atau VOC pada waktu itu. Secara historis artinya KUHP beserta dengan KUHAPnya adalah hukum yang tidak hadir dari rahim kebudayaan dan nilai-nilai yang hidup di Indonesia.
KUHP yang merupakan warisan Belanda tersebut masih menggunakan aliran klasik. Aliran klasik yang dimaksud adalah aliran monistis atau pandangan yang tidak memisahkan antara perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana. Aliran monistis, sebab tidak memisahkan perbuatan dan pertanggungjawaban pidana, seringkali dianggap sebagai aliran yang lebih memperhatikan hak pelaku ketimbang korban.
ADVERTISEMENT
Aliran monistis KUHP tercermin pada asas legalitas yang ada di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyebutkan bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada. Selain itu, aliran monistis terlihat pula dalam Pasal 182 ayat (4) KUHAP dimana hakim ketika memutuskan perkara harus didasari atas surat dakwaan dan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang. Yang ketika hakim ragu-ragu maka sesuai asas in dubio pro reo hakim harus menggunakan Pasal yang paling menguntungkan terdakwa.
Asas monistis ini tentunya kurang tepat dengan tujuan RUU PKS yang lebih melihat pada korban. Disahkannya RUU PKS terkesan akan membuat asas baru dalam hukum acara pidana yang tentunya berpotensi menyimpangi asas monistis dan semangat negara hukum. Negara hukum mengandung semangat equality before the law, dimana semua orang dianggap sama di mata hukum.
ADVERTISEMENT
RUU PKS tentu akan lebih harmonis apabila pengesahannya dilakukan setelah disahkannya RUU KUHP. Harmonisasi itu terlihat dari kesamaan pandangan antara RUU PKS dan RUU KUHP. Keduanya sama-sama menganut aliran dualistis yaitu pandangan yang memisahkan antara perbuatan dengan pertanggungjawaban pidana. Ringkasnya, setelah disahkannya RUU KUHP, RUU PKS adalah lex spesialis dari lex generalisnya RUU KUHP.
Masih Terakomodir
Selain alasan monistis, yang tentunya membuat RUU PKS menjadi sedikit tertunda, sejatinya rumusan-rumusan di dalam RUU PKS juga banyak yang oleh undang-undang yang berlaku saat ini masih terakomodir.
Kita bisa ambil contoh semisal mengenai perlindungan saksi agar jauh dari tekanan dan ancaman. Perlindungan itu diharapkan agar saksi dalam menyampaikan keterangannya bisa leluasa dan jujur menerangkan apa yang dilihat, didengar, dan dirasakan. Upaya itu terakomodir dalam Pasal 117 KUHAP yang menyebutkan bahwa keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapa pun dan atau dalam bentuk apapun. Hakim juga telah dipedomani Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Selain itu saksi dan korban juga dapat meminta bantuan LPSK.
ADVERTISEMENT
Kekhawatiran saksi korban mengalami malu dan trauma sebab harus bercerita di persidangan juga telah ada dalam KUHAP. Permohonan agar sidang tertutup termaktub di dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP. Pasal tersebut menyatakan untuk perkara kesusilaan dan anak maka sidang diperbolehkan tertutup.
Selanjutnya, terkait alat bukti. Alat bukti yang tertera dalam RUU PKS sudah termuat dalam Pasal 184 KUHAP yang mana kategori surat keterang psikologis, visum et repertum, dan BAP itu masuk kategori surat. Alat bukti yang bersifat elektronik pun telah ada dalam rumusan Pasal 5 ayat (1) UU ITE yang mengatur bahwa Informasi Eletkronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
Setalah membahas hukum formil, kita beranjak ke hukum materiil atau substansi perbuatan yang dapat dipidana. Pemerkosaan secara paksa dan pemerkosaan dengan keadaan tidak berdaya telah ada di dalam Pasal 285 dan Pasal 286 KUHP. Pidana mengancam, termasuk melalui dasar relasi kuasa, dianggap melanggar Pasal 368 KUHP dan Pasal 29 UU ITE. Untuk soal chat mesum secara rigit bisa kita temukan dalam Pasal 27 UU ITE. Termasuk upaya suami menjual istri maka dapat dijerat dengan UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU Pornografi (Pasal 29), dan UU KDRT.
ADVERTISEMENT
Semua persoalan hukum materiil tersebut terbukti sampai saat ini masih sah dan berlaku. Tidak sedikit pula yang berhasil dijerat hingga perkara tersebut selesai.
Sistem Hukum
Berjalannya hukum di suatu negara, menurut L. Friedman, dipengaruhi oleh tigal hal. Tiga hal itu adalah substansi hukum, struktur hukum, dan kultur hukum.
Substansi yang ada di RUU PKS nyatanya masih bisa kita temui dalam undang-undang yang masih berlaku saat ini. Meskipun mungkin belum memenuhi kriteria ideal seperti RUU PKS, pasal-pasal yang disebutkan di atas masih aktif dan bisa dipergunakan sembari menunggu RUU PKS disahkan betul.
Substansi hukum, masih merujuk pada Friedman, tidak bisa dijalankan dengan sempurna seandainya tidak didukung oleh struktur hukum yang baik dan berkomitmen. Substansi yang baik perlu kerja pro aktif struktur untuk menegakan hukum yang dicita-citakan masyarakat. Polisi, Kejaksaan, dan Pengadilan perlu memberikan bantuan maksimal kepada korban kekerasan seksual agar substansi hukum itu bisa ditempatkan pada tempatnya.
ADVERTISEMENT
Problem kurang optimalnya struktur hukum ini yang kadangkala luput dari pandangan mahasiswa dan aktivis. Penyelesaian dari persoalan itu lantas cenderung didekati dengan penilaian adanya celah dalam peraturan, yang dengan begitu solusinya adalah membuat aturan baru. Padahal tidak bekerjanya struktur ini mekanisme penyelesainnya adalah melalui laporan yang nantinya berujung pada hukuman integritas terhadap struktur hukum.
Terakhir kultur hukum. Substansi dan struktur kadangkala bisa rapuh seketika manakala budaya hukum masyarakat belum terbangun. Budaya hukum ini kurang lebih menilai sejauh mana masyarakat sadar bahwa penilaian benar dan salah itu hanya bisa dilakukan oleh hakim sehingga tidak main hukum sendiri. Kita, sebagai sama-sama subjek, dibatasi oleh asas presumption of innocent atas asas praduga tak bersalah.
ADVERTISEMENT
Penutup
Belum masuknya RUU PKS dalam prolegnas jangan sampai mengendorkan niat kita untuk terus melawan kekerasan seksual. Belum disahkannya RUU PKS juga tidak menjadi alasan kita terpecah terlalu lebar sebab munculnya kekhawatiran dan harapan. Manfaatkanlah aturan yang sudah ada, amati prosesnya, dan tinjau terus hukum materiil tadi dengan pengawalan yang ketat. Sembari di area yang lain kita terus mendorong agar RUU PKS bisa segera diketuk palu.